Matahari sudah beranjak naik, memberi hawa panas dari sinarnya yang semakin terik. Namun, itu tak menghentikan keluarga Laksmi yang sedari pagi sibuk mengolah bumbu untuk memasak besok. Semakin gesit agar bisa secepatnya beristirahat.
Di tengah kesibukannya, seluruh keluarga masih menghawatirkan kondisi Nafisa. Mereka takut kalau sampai adik bungsunya mengulangi hal semacam tadi. Mengamuk, atau bahkan lebih dari sekadar itu. Tak terkecuali Laksmi, wanita tua itu berulang kali masuk dan memastikan anaknya di dalam kamar.
Seperti sekarang, saat Laksmi hendak menyuapi Nafisa makan. Ia membawa sepiring nasi, semangkuk sayur lodeh, dan dua potong ayam goreng dalam nampan ke kamar. Dilihatnya Nafisa masih meringkuk menghadap jendela kamar, membelakangi pintu.
“Neng, makan dulu, ya.” Laksmi meletakan nampannya di sisi ranjang, cukup jauh dari kaki Nafisa. “Ibu bawa sayur sama goreng ayam.”
Hening. Nafisa tak menjawab atau bergerak, bergeming menatap ke luar jendela
“Mudah saja bagi mereka—menyimpulkan sesuatu tanpa tahu dan merasakan bagaimana hinaan dapat menghancurkan benteng pertahanan—untuk berkata sabar. Padahal, untuk bisa menerima hal semacam itu, tidak hanya sabar yang harus dipertebal. Dan, Arzan tidak memiliki apa pun untuk bisa mempertahankan kesabarannya.”***Tiga hari terlewat sejak acara syukuran khitanan anak dari Ridho, kakak ketiga Nafisa. Selama itu pula Nafisa diam terpuruk, menunggu Arzan yang tak kunjung datang untuk membawanya kembali pulang. Tidak ada kegiatan khusus, atau mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa, sampai malas mengisi perut kalau saja tidak ada janin di dalamnya. Tanpa ada teman bicara, karena kakak-kakaknya kembali pulang, sehari setelah syukuran selesai. Hanya sesekali menjawab telepon dari mereka yang menanyakan kabar, itu pun kalau Nafisa mau angkat bicara. Kalau tidak, kakaknya akan kembali menutup telepon.Dalam hati, wanita
“Silakan diminum,” titah Nafisa begitu sampai di ruang tamu dan meletakkan nampan di meja.“Terima kasih, Neng.” Ustaz Zaki dan Farhat menjawabnya bersamaan sambil tersenyum. “Berhubung ada yang ingin saya katakan, ada baiknya Neng duduk dan ikut mendengarkan.”Nafisa yang semula penuh dengan semangat, tiba-tiba mengernyit heran seraya duduk di kursi bersama Asep. Ia berpikir, bertanya-tanya, apa gerangan yang akan dikatakan guru dari suaminya itu sampai terlihat tegang.Hening sesaat.Arzan yang duduk di tengah-tengah Farhat dan Ustaz Zaki terlihat tegang. Kedua tangannya menangkup, menyelip di antara lutut dengan wajah sedikit menunduk, melihat kedua kakinya yang tiba-tiba terasa lemas. Dalam hati, tak henti-henti ia memohon agar Tuhan menguatkannya, terutama Nafisa yang duduk menunggu bersama Asep.“Sebelumnya saya minta maaf karena sudah mengganggu dan merepotkan.” Ustaz Zaki mulai bicara. Tatapan
“Udah sadar belum?”Begitu sampai di ruang tamu, Arzan langsung mendapati satu pertanyaan dari ayahnya. Ia menggeleng, seraya kembali duduk di kursi sambil menangkup mulut. Air mukanya tiba-tiba memanas, mana kala ingat kalau Nafisa pingsan gara-gara dirinya.Ustaz Zaki menepuk pundak Arzan, menguatkannya dengan berkata, “Sabar, Zan. Doakan saja yang terbaik untuknya.”“Ya, Ustaz,” desahnya seraya menarik dan membuang napas perlahan, lalu bersandar di sandaran kursi dengan kedua tangan terkulai di atas paha. Ia memejamkan mata sejenak.Belum lama Arzan duduk di ruang tamu, kembali Asep menyusul dan duduk di hadapannya dengan raut wajah yang sama. Ayah dari empat anak itu masih terlihat cemas, khawatir akan kesehatan Nafisa. Namun, ia merasa perlu untuk menyelesaikan urusan yang tadi sempat terjeda.“Maaf, Pak Asep.” Ustaz Zaki memulai obrolan lagi. “Gimana keadaan Naf
“Melupakan bukanlah hal yang mudah dilakukan. Semakin kuat kita berusaha menghindar, semakin melekat pula kenangan dalam ingatan.”***Suara detak jarum jam terdengar berirama. Bergerak tanpa henti, menggiring waktu ke waktu yang terasa semakin lambat, saat ingatan tiba-tiba saja memutarkan kejadian tempo kemarin, waktu Arzan datang membawa talak, lalu meninggalkanku dalam keadaan rapuh dan tak berdaya.Mengingat semua itu membuat emosinya terhadap Laksmi kian meradang. Ia sering kali menolak untuk bertemu, atau bahkan bicara dengan ibunya. Membuat Aseplah yang kerap membujuk makan, sampai mengantarnya memeriksa kandungan ke bidan desa. Kadang, ia pun memilih pergi dengan menaiki angkutan umum, saat Asep tak bisa mengantarkannya dengan motor. Seperti saat ini.Namun, beruntung, beban pikiran yang ditanggungnya selama beberapa bulan tidak mempengaruhi perkembangan janin dalam kandungan. Bayinya itu berk
Dua bulan sudah Nafisa hidup dalam kesendirian. Tanpa ucapan selamat pagi, atau kecupan sebelum dan sesudah tidur. Ia hanya tinggal menunggu waktu untuk menyandang status janda, yaitu bubar idahnya jika bayi yang ada dalam kandungan dilahirkan.Namun, seperti yang sudah-sudah, ia tak kan menyerah dengan mudah layaknya membalik telapak tangan. Gagal menghubungi Arzan lewat nomor telepon yang telah diganti, ia beralih dengan mengirim pesan lewat Messenger akun Facebook. Gagal menghubunginya lewat Messenger karena diblok langsung, ia beralih lagi dengan menitipkan sepucuk surat setiap akhir pekan lewat teman wanitanya yang hendak pergi ke pasar. Entah dibaca atau tidak, tapi setidaknya, Nafisa tahu dari temannya itu kalau Arzan benar-benar menerima surat darinya.Sejak saat itu, walau tak pernah mendapat balasan, mengirim surat berisi perkembangan dari bayinya pun menjadi kegiatan rutin setiap minggu. Dengan semangat ia akan mencatat, menuliskan apa saja yang dikatakan bida
Hari berganti hari, minggu ke minggu bahkan terasa seperti berbulan-bulan oleh Arzan yang tak kunjung bisa melupakan Nafisa. Terlebih saat Nafisa kerap mengirimkan surat padanya. Surat tentang bagaimana perkembangan bayi mereka. Ada rindu yang kemudian menyelusup, bersemayam di dada, sampai tak jarang membuatnya susah untuk terlelap.Seperti malam ini, setelah minggu yang lalu lagi-lagi Nafisa mengirim surat. Ia berusaha pejamkan mata, seraya tidur telentang dengan kedua kaki tumpang-tindih. Sembari memegang surat yang baru saja ia baca, setelah lama hanya membiarkannya tergeletak di meja, ia melipat kedua tangan di dada.Napasnya berembus teratur. Tenang dan nyaman menikmati bayangan yang tiba-tiba berputar dalam lamunan. Nafisa terlihat cantik dengan pakaian muslim berwarna serba putih. Mantan istrinya itu tersenyum, lalu tertawa begitu mengejar seorang anak lelaki berusia dua tahunan di sebuah taman. Tidak ada siapa pun di sana. Hanya mereka berdua sampai h
"Penyesalan memang sering kali datang terlambat. Akan tetapi, menyesal jauh lebih baik daripada tidak sama sekali.”***“Jadi, gimana?” Di ruang makan, Mariam kembali menyinggung soal apa yang dikatakan Arzan. Dia melirik anaknya itu sekilas sebelum kembali menyantap nasi goreng spesial buatan Fitri, dengan resep yang dulu diajarkan Nafisa.“Gimana apanya, Bu?” Farhat yang mendengarnya langsung bertanya, penasaran dengan apa yang dimaksud oleh istrinya itu. Dia menunggu, menarik tubuh dari yang semula condong ke depan dengan sikut bertumpu di atas meja, menjadi duduk tegak dan menyandarkan diri di sandaran kursi. Setelah meletakkan sendok di piring, matanya menoleh melihat Mariam.“Ini tentang Arzan, Yah.” Mariam menjelaskan. Membuat kedua anak perempuannya yang juga ada di sana mesem-mesem.“Loh, kok jadi aku?” Arzan mengangkat wajah, menatap ibu, ayah, dan kedua adiknya bergantian. Namun, ia s
Arzan yang melihatnya tiba-tiba berdeham. Membuat Nafisa akhirnya menarik diri, lalu tersenyum dan menangkupkan kedua tangan di depan dada sebagai tanda salam untuk tamu lelakinya. Namun, belum sepat ia mengajak tamunya masuk, Laksmi muncul di ambang pintu.“Bu Mariam?” Wanita tua itu pun semringah seraya berjalan cepat, untuk menyalami kedua tamu yang sejujurnya susah lama ditunggu-tunggu. “Apa kabarnya? Mari, masuk.”“Alhamdulillah, Bu Laksmi.” Mariam menimpali, sambil melangkah masuk mengikuti si empunya rumah. “Gimana kabar sebaliknya?”Sama halnya dengan Mariam, bahkan, Laksmi terlihat jauh lebih sehat dibanding beberapa bulan yang lalu. Ibu dari Nafisa itu tampak cerah dan segar, sampai tersirat jelas aura positifnya dari setiap gerakan tubuh.“Ya, seperti ini. Alhamdulillah lagi diberi kesehatan penuh sama Allah, Bu Mariam.” Laksmi berbalik badan begitu sampai di ruang tamu. “Silakan
Setelah beberapa waktu tak sempat pergi ke pemakaman karena sibuk bekerja, Arzan pun akhirnya berangkat hari itu juga tanpa ditemani siapa pun. Dia memang sengaja ingin pergi seorang diri, setelah terakhir kali pergi bersama keluarga juga anaknya. Selain karena ingin khusuk saat mengirim doa, lelaki berambut cepak itu pun ingin mencurahkan seluruh kerinduannya dalam setiap untaian kata.Dinyalakannya mesin motor yang biasa Arzan pakai untuk membonceng Nafisa ke mana pun. Lantas, ia lajukan motornya itu sehingga keluar dari halaman rumah sang Ibu. Ya, setelah sebelumnya mengontrak rumah sederhana dengan Nafisa, Arzan pun memilih untuk kembali tinggal dengan orang tuanya untuk bisa menitipkan Razan saat ia pergi ke pasar. Lagi pula, keluarga Nafisa benar-benar menyerahkan anaknya itu sebagai pengganti Nafisa.Di sepanjang jalan, isi pikiran Arzan dipenuhi oleh kenangan-kenangan bersama Nafisa. Mulai dari bagaimana dirinya bisa be
“Di mana ada pertemuan, kita pun akan menjumpai sebuah perpisahan. Dan rasa sakit karena kehilangan, seharusnya menjadi cambuk untuk melanjutkan perjuangan.”***Malam semakin larut, tapi Nafisa belum juga melahirkan bayi yang diharapkannya. Bayi yang menjadi satu-satunya alasan untuk tetap bertahan hidup saat tenggelam dalam tekanan batin. Ia hanya terus mengerang kesakitan, mengejan setiap kali terjadi kontraksi yang mengencangkan perut serta otot-ototnya. Membuat kaki yang semula menekuk seperti orang tengah berjongkok lurus seketika, menegang seiring jempol dan telunjuk bertaut. Barulah setelah hilang rasa sakit di perut, otot-ototnya melerai lagi. Ia tergolek lemah di tengah-tengah isak tangisnya.“Aa bangga padamu, Neng. Semangatlah.”Arzan berbisik seraya mengusap kening. Suasana di dalam ruang persalinan tersebut membuatnya kepanasan, semakin berkeringat karena perasaan cemas yang sedari tadi kem
SELEPAS ISYA, setelah Ibnu memberi tahu rencananya pada Said, ia pamit pergi pada ibunya. Walau dilarang dan dihalang-halangi, Ibnu justru menerobos dengan mata menyorot tajam pada ibunya sendiri.Wanita itu tak bisa apa-apa selain melepas buah hatinya pergiIbnu berjalan keluar, menghentikan angkot kemudian menaikinya cepat-cepat. Ia begitu tidak sabar ingin segera memukul bagian kemaluan Zein, seperti yang dilakukan orang suruhannya.Setengah jam ia sampai di perempatan jalan. Menengok ke sisi kiri dan kanan, kemudian ia turun dari angkot dan memberi selembar uang.Gelap. Di daerah itu memang jarang ada lampu penerang jalan. Ibnu melangkah hendak menyebrang. Tapi ...BRUKKK ... Seseorang memakai helm menubruknya kencang-kencang dengan motor. Ibnu terpental beberapa meter dari lokasi. Tubuhnya menggelinding di jalan aspal.“I-ibu ....”Gamer’s king itu terengah-engah, sekarat. Wajahnya berlumuran darah tak berupa. C
Seseorang datang, terperangah dengan kaki membeku. Mulutnya ternganga dengan kedua tangan menangkupnya. Ia berdiri tepat di kaki Ibnu yang masih tidak sadarkan diri.“Tttttt-tolonggg ...!” Wanita sekitar dua puluh tahunan itu berteriak. “T-tolong!”Menit kemudian keadaan masih sepi tanpa seorang pun yang datang. Setelah menetralkan keterkejutannya, wanita itu berlari menuju ke rumah Pak Rt setempat.Lalu sepuluh menit kemudian, Ibnu sudah sadarkan diri dan meringis kesakitan. Perlahan, ia menggeser tubuhnya ke tepi jalan. Menyenderkan pundaknya di tembok rumah kosong, sepertinya.“I-itu, Pak!” kata seorang perempuan yang menemukan Ibnu, menunjuk. “Dia sudah sadar, sepertinya.”Pak Rt yang melihat Ibnu langsung mendekat melihat kondisi Ibnu. “Adek, kenapa?”Tak mendapat jawaban, Pak Rt dan satu warga lainnya membopoh Ibnu, membawanya ke rumah Pak Rt untuk penanganan pertama.Di dalam rumah yang tidak terlalu besar, Ibnu berbaring di at
BEGITU TIBA DI RUMAH, Ibnu mendapati ibunya tertidur di ruang tengah dengan televisi menyala. Itu adalah sebuah kebiasaan. Katanya, Nuri tidak bisa tidur tanpa ditemani suara dari televisi, ponsel, atau radio. Karena ia memiliki mimpi yang sama setiap kali tertidur.Ibnu berjinjit menuju ke lantai atas. Sesampainya di kamar, ia segera mengganti baju dan membuka ponsel. Tapi kali ini bukan untuk berman game, dia membuka kontak dengan nama Zein, kemudian mengirim pesan panjang lebar dan sok akrab.“Sore ... kamu Zein, temannya Aurel tukang mereview sebuah game? Kenalin, gue Ibnu temannya Aurel. Singkat kata, maaf gue ganggu dan sok kenal. Tapi gue mau sebuah game yang menantang dan berdarah-darah. Bisa?”Pesan terkirim.Sembari menunggu sebuah balasan, Ibnu membuka laptop dan bermain-main di dalam akun facebooknya. Membalas sebuah chat, komentar, dan lain-lain.Dia berjengkit meraih ponsel yang bergetar. Satu pesan telah masuk dari Zein.
Di KANTIN, Said menunjukkan review sebuah game android berbayar. Alih-alih menyimak setiap penjelasan permainan itu, Ibnu menatap fokus pada Zein, remaja seusianya yang mereview sebuah game balapan mobil.Ibnu menyenderkan pundaknya di kursi. “Lu tahu dari mana kalau dia teman Aurel?”Said meletakkan ponselnya di meja, memutar tubuhnya mengubah posisi duduk, menghadap Ibnu. “Dari Aurel?”Ibnu tersentak dari posisinya, mendekatkan wajahnya pada Said. “Sejak kapan Lu mulai dekat dengan Aurel? Perasaan dulu Lu nggak suka sama dia!”Said tergelak, tawanya sangat keras membuat banyak mata menatapnya. Kemudian ia berbisik, “tenang, Bro. Gue nggsk nikung.”Ibnu menghela napas lega. “Katakan! Gue tahu Lu mau ngomong sesuatu.”“Goog boy. “Said kembali berbisik-bisik, “Saat Lu masuk rumah sakit, gue sering ketemu dia buat ngasih tahu keadaan, Lu. Dan gue sudah bilang tentang perasaan, Lu, Bro.”“What?” Ibnu terperangah. “Gila, Lu?”“Kaga
DI WARNET, di dalam bilik pembatas Ibnu tengah asik bermain game kesukaannya. Ia merasa kesal karena tiga minggu penuh tidak memegang ponsel. Akibatnya, ia tertinggal beberapa level dan kalah saingan dengan beberapa teman onlinenya.Setelah puas bermain game, Ibnu membuka akun facebook, twitter, dan instagram. Ia tercengang dengan notiv yang memenuhi pemberitahuannya. Pun dengan pesan yang menumpuk di mesenger.Ia membukanya, kemudian membalas satu-persatu. Memberi tahu mereka, bahawa sang gamer’s king telah kembali. Remaja sembilan belas tahun itu tidak peduli, walau sang Ibu telah melarangnya bermain gadged, bahkan Nuri tidak memberikan ponsel anaknya sendiri demi kesehatan. Tapi, Ibnu justri bermain game di warnet hingga beberapa jam. Sementara di rumah, ibunya menghawatirkan Ibnu yang tak kunjung pulang.Tiga jam kemudian, waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Ibnu merentangkan tangannya, menggeliat. Ia menguap lebar-lebar tanpa menutup mulut, ten
MUTIA, Said dan Aurel baru saja sampai di rumah sakit. Ini adalah yang kedua kalinya mereka datang menjenguk. Dan tahukah? Kedatangan Aurellah yang sedikit membuat Ibnu membaik.Mutia membuka pintu ruangan, kemudian masuk diikuti Said dan Aurel. Mendapati Ibnu yang tengah tertidur, mereka saling berbisik menyapa ibunya Ibnu.“Gimana keadaannya sekarang, Bu?” tanya Aurel. Sebelah tangannya meraih tangan Ibnu, menggenggam.“Dokter bilang, Ibnu akan segera pulang.”“Syukurlah.” Mutia menjawab singkat mendahului Aurel yang hendak bercakap. “Kira-kira kapan?”“Katanya nunggu kondisi sore ini. Kalau benar-benar tidak ada keluhan lagi, Ibnu boleh pulang sore ini juga.” Nuri menatap manik Mutia dan Aurel bergantian.Sebagai seorang Ibu yang pastinya sedikit lebih banyak memiliki pengalaman, ia tahu betul arti tatapan dua remaja itu.“Baguslah,” timpal Said yang berada di samping Ibnu.Mendengar suara-suara bisikkan, Ibnu terbangun. Ia
DI DALAM KAMAR, Ibnu duduk pokus pada laptopnya. Jari-jari tangannya begitu cepat menjelajahi setiap situs diinternet. Kali ini, ia akan mengapload sebuah video yang ia buat sepulang dari sekolah.Ia merekam beberapa siswa yang berhamburan, kendaraan yang berlalu-lalang, pejalan kaki dan dirinya sendiri yang berjalan menyusuri trotoar seorang diri. kemudian diedit sedemikian rupa dengan iringan musik.Selesai mengapload video, Ibnu menjelajahi youtube untuk mencari sebuah review game android terbaru. Ia pikir, benar menurut Said tentang permainan lamanya. Membosankan.Klik, Ibnu menekan tombol play dan menonton sebuah ulasan tentang permainan berdarah di dalamnya. Seorang remaja menjelaskan tentang beberapa aturan dan keseruan game tersebut.Tak berhenti di situ, Ibnu kembali mencari review game yang lain. Alhasil, ia mengunduh empat permainan berdarah sekaligus. Kemudian mencobanya satu persatu.Ketergantungannya pada sebuah game online semakin me