Dua bulan sudah Nafisa hidup dalam kesendirian. Tanpa ucapan selamat pagi, atau kecupan sebelum dan sesudah tidur. Ia hanya tinggal menunggu waktu untuk menyandang status janda, yaitu bubar idahnya jika bayi yang ada dalam kandungan dilahirkan.
Namun, seperti yang sudah-sudah, ia tak kan menyerah dengan mudah layaknya membalik telapak tangan. Gagal menghubungi Arzan lewat nomor telepon yang telah diganti, ia beralih dengan mengirim pesan lewat Messenger akun Facebook. Gagal menghubunginya lewat Messenger karena diblok langsung, ia beralih lagi dengan menitipkan sepucuk surat setiap akhir pekan lewat teman wanitanya yang hendak pergi ke pasar. Entah dibaca atau tidak, tapi setidaknya, Nafisa tahu dari temannya itu kalau Arzan benar-benar menerima surat darinya.
Sejak saat itu, walau tak pernah mendapat balasan, mengirim surat berisi perkembangan dari bayinya pun menjadi kegiatan rutin setiap minggu. Dengan semangat ia akan mencatat, menuliskan apa saja yang dikatakan bida
Hari berganti hari, minggu ke minggu bahkan terasa seperti berbulan-bulan oleh Arzan yang tak kunjung bisa melupakan Nafisa. Terlebih saat Nafisa kerap mengirimkan surat padanya. Surat tentang bagaimana perkembangan bayi mereka. Ada rindu yang kemudian menyelusup, bersemayam di dada, sampai tak jarang membuatnya susah untuk terlelap.Seperti malam ini, setelah minggu yang lalu lagi-lagi Nafisa mengirim surat. Ia berusaha pejamkan mata, seraya tidur telentang dengan kedua kaki tumpang-tindih. Sembari memegang surat yang baru saja ia baca, setelah lama hanya membiarkannya tergeletak di meja, ia melipat kedua tangan di dada.Napasnya berembus teratur. Tenang dan nyaman menikmati bayangan yang tiba-tiba berputar dalam lamunan. Nafisa terlihat cantik dengan pakaian muslim berwarna serba putih. Mantan istrinya itu tersenyum, lalu tertawa begitu mengejar seorang anak lelaki berusia dua tahunan di sebuah taman. Tidak ada siapa pun di sana. Hanya mereka berdua sampai h
"Penyesalan memang sering kali datang terlambat. Akan tetapi, menyesal jauh lebih baik daripada tidak sama sekali.”***“Jadi, gimana?” Di ruang makan, Mariam kembali menyinggung soal apa yang dikatakan Arzan. Dia melirik anaknya itu sekilas sebelum kembali menyantap nasi goreng spesial buatan Fitri, dengan resep yang dulu diajarkan Nafisa.“Gimana apanya, Bu?” Farhat yang mendengarnya langsung bertanya, penasaran dengan apa yang dimaksud oleh istrinya itu. Dia menunggu, menarik tubuh dari yang semula condong ke depan dengan sikut bertumpu di atas meja, menjadi duduk tegak dan menyandarkan diri di sandaran kursi. Setelah meletakkan sendok di piring, matanya menoleh melihat Mariam.“Ini tentang Arzan, Yah.” Mariam menjelaskan. Membuat kedua anak perempuannya yang juga ada di sana mesem-mesem.“Loh, kok jadi aku?” Arzan mengangkat wajah, menatap ibu, ayah, dan kedua adiknya bergantian. Namun, ia s
Arzan yang melihatnya tiba-tiba berdeham. Membuat Nafisa akhirnya menarik diri, lalu tersenyum dan menangkupkan kedua tangan di depan dada sebagai tanda salam untuk tamu lelakinya. Namun, belum sepat ia mengajak tamunya masuk, Laksmi muncul di ambang pintu.“Bu Mariam?” Wanita tua itu pun semringah seraya berjalan cepat, untuk menyalami kedua tamu yang sejujurnya susah lama ditunggu-tunggu. “Apa kabarnya? Mari, masuk.”“Alhamdulillah, Bu Laksmi.” Mariam menimpali, sambil melangkah masuk mengikuti si empunya rumah. “Gimana kabar sebaliknya?”Sama halnya dengan Mariam, bahkan, Laksmi terlihat jauh lebih sehat dibanding beberapa bulan yang lalu. Ibu dari Nafisa itu tampak cerah dan segar, sampai tersirat jelas aura positifnya dari setiap gerakan tubuh.“Ya, seperti ini. Alhamdulillah lagi diberi kesehatan penuh sama Allah, Bu Mariam.” Laksmi berbalik badan begitu sampai di ruang tamu. “Silakan
“Kebahagiaan yang sesungguhnya memanglah kebersamaan dengan keluarga. Namun, akan jauh lebih sempurna jika kita dapat menerima rasa manis, asin, dan pahit kehidupan di dalamnya.”***Tidak ada kebahagiaan yang jauh lebih sempurna, selain kebersamaan dalam sebuah keluarga. Walau telah terjadi perselisihan memicu ketegangan, justru itulah yang sekarang mempererat ikatan kekeluargaan. Oleh karenanya, saat Arzan dan Nafisa memutuskan untuk kembali rujuk, antusias keluarga kedua belah pihak begitu menggebu-gebu. Mereka terlihat penuh semangat.Keluarga lelaki dengan senang hati memaafkan kesalahan Laksmi yang telah dengan sengaja menghina Arzan. Pun dengan keluarga perempuan yang memaklumi keputusan Arzan, saat ia memutuskan sebuah hubungan dengan Nafisa. Mereka tersenyum lega setelah acara rujuk anak-anaknya selesai dilaksanakan.Sebelum pamit, Ustaz Zaki pun memberi satu petuah penting terlebih dulu. Ia menyarankan aga
“Bu,” lirih Nafisa. Keringat sudah tak lagi hanya basahi kening, tetapi juga rambut dan bagian-bagian tubuh lainnya. Ia meringis, mengerang sampai mengejan saat sakit yang dirasanya muncul semakin sering.“Sabar, Neng. Istigfar.” Laksmi menenangkan anaknya itu dengan berulang kali mengusap perut, mengusap puncak kepala, juga membisikkan doa-doa agar persalinan Nafisa berjalan lancar. “Sebentar. Kalau ke rumah bidan, berarti ibu harus bawa pakaian salin untukmu, Neng. Baju ini juga basah oleh darah. Ibu bantu ganti pakai kain sarung, ya?”Nafisa mengangguk pelan seraya meremas seprei yang sudah tak keruan bentuknya, acak-acakan karena reaksi Nafisa begitu perutnya kram karena kontraksi. Ia berguling ke sana-kemari bergantian, sampai meregangkan kedua kaki dengan begitu tegang. Laksmi langsung beranjak turun, mengambil sehelai baju gamis dan perlengkapan lain untuk bayi Nafisa nanti. Ia masukkan semua barang bawaan ke dalam satu tas. Setelah usai, buru-
“Di mana ada pertemuan, kita pun akan menjumpai sebuah perpisahan. Dan rasa sakit karena kehilangan, seharusnya menjadi cambuk untuk melanjutkan perjuangan.”***Malam semakin larut, tapi Nafisa belum juga melahirkan bayi yang diharapkannya. Bayi yang menjadi satu-satunya alasan untuk tetap bertahan hidup saat tenggelam dalam tekanan batin. Ia hanya terus mengerang kesakitan, mengejan setiap kali terjadi kontraksi yang mengencangkan perut serta otot-ototnya. Membuat kaki yang semula menekuk seperti orang tengah berjongkok lurus seketika, menegang seiring jempol dan telunjuk bertaut. Barulah setelah hilang rasa sakit di perut, otot-ototnya melerai lagi. Ia tergolek lemah di tengah-tengah isak tangisnya.“Aa bangga padamu, Neng. Semangatlah.”Arzan berbisik seraya mengusap kening. Suasana di dalam ruang persalinan tersebut membuatnya kepanasan, semakin berkeringat karena perasaan cemas ya
Setelah beberapa waktu tak sempat pergi ke pemakaman karena sibuk bekerja, Arzan pun akhirnya berangkat hari itu juga tanpa ditemani siapa pun. Dia memang sengaja ingin pergi seorang diri, setelah terakhir kali pergi bersama keluarga juga anaknya. Selain karena ingin khusuk saat mengirim doa, lelaki berambut cepak itu pun ingin mencurahkan seluruh kerinduannya dalam setiap untaian kata.Dinyalakannya mesin motor yang biasa Arzan pakai untuk membonceng Nafisa ke mana pun. Lantas, ia lajukan motornya itu sehingga keluar dari halaman rumah sang Ibu. Ya, setelah sebelumnya mengontrak rumah sederhana dengan Nafisa, Arzan pun memilih untuk kembali tinggal dengan orang tuanya untuk bisa menitipkan Razan saat ia pergi ke pasar. Lagi pula, keluarga Nafisa benar-benar menyerahkan anaknya itu sebagai pengganti Nafisa.Di sepanjang jalan, isi pikiran Arzan dipenuhi oleh kenangan-kenangan bersama Nafisa. Mulai dari bagaimana dirinya bisa bertemu, sampai
“Ibu paham, Nak. Karena jangankan kamu, Ibu saja sering inget sama Nafisa kalau lagi momong anakmu ini,” timpal Mariam yang seketika tersenyum. Sebagai ibu juga nenek sari cucu pertamanya itu, ia harus bisa menghibur diri dan Arzan. Karena hari sebentar lagi akan memasuki waktu Maghrib, Mariam pun menyuruh anaknya untuk segera masuk. Terlebih, Razan mulai kembali rewel.“Razan kenapa, Bu? Tumben rewel gitu?”Di belakang Mariam, Arzan pun berkomentar perihal anak lelakinya itu. Biasanya, Razan selalu anteng. Apalagi di jam-jam seperti ini, karena suasana sudah mulai kembali sejuk. Namun, setibanya ia di sana, suara tangis Razan membuatnya merasa khawatir.“Ibu juga nggak tau, Nak. Mungkin ngantuk. Tadi mau Ibu tidurin, tapi kamu keburu datang. Jadi nantilah ibu tidurin kalau udah lewat magrib. Tanggung,” timpal wanita yang sekarang ada di hadapan Arzan itu. Ia melihat raut wajah cemas Arzan sebentar. Sebelum kemudian kembali me