Home / Romansa / Malam Pertama yang Tertunda / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of Malam Pertama yang Tertunda: Chapter 1 - Chapter 10

80 Chapters

Part. 1. Diam-Diam Menaruh Rasa

 “Harta ataupun rupa tidak selalu menjadi tolak ukur manusia, pada siapa mereka akan tanamkan rasa.”*****“Gimana kalau pernikahan anak kita segera dilaksanakan, Bu Mariam?”Laksmi, ibu dari tiga anak lelaki dan satu perempuan itu mengajukan usul setelah beberapa menit duduk berdua di ruang tamu dengan Mariam, ibu dari satu anak lelaki dan dua anak perempuan.Sebenarnya, ini bukan kali pertama Laksmi mendatangi rumah mewah berlantai dua itu. Sudah sering sejak terjalinnya hubungan antara anak mereka beberapa bulan yang lalu. Namun, keluarga Mariam belum juga menyanggupi apa yang dia ingin perihal kapan dilaksanakannya pernikahan.Hening. Ruang tamu berukuran 4x4m itu seolah senyap, sampai hanya terdengar suara kipas duduk menyala yang terletak di samping lemari kaca berisi pernak-pernik berbentuk hewan dari keramik. Mariam menghela napas sambil beringsut, tapi belum juga membuka mulut setelah beberapa detik Laksmi me
Read more

Part. 2. Lamaran Datang Menyapa

 “Lelaki sejati tak kan pernah merasa takut, atau mundur saat mendapatkan ancaman. Entah itu berupa kekerasan, ataupun hanya sekadar pertanyaan yang menyudutkan pilihan.” ***  Arzan berdiri tegak di depan sebuah cermin yang memantulkan seluruh badan. Sambil menyisir rambut berantakannya ia tersenyum lebar, lalu mengatur napas agar tak terlalu tegang saat menjalani acara lamaran nanti. Aura positif kemudian terpancar, membuatnya semakin terlihat tampan dengan kemeja biru muda bertangan panjang yang ia pakai.“Nak,” panggil Mariam sambil membuka pintu. Dilihatnya anak lelaki yang ia sayangi itu menoleh sambil tersenyum. “Sudah siap?”“Ya, Bu. Insya Allah.”Arzan mengangguk antusias sebelum akhirnya berbalik badan membelakangi cermin, lalu melangkah cepat menghampiri Mariam yang masih berdiri di ambang pintu. Digandengnya tangan wanita paruh baya yang memakai
Read more

Part. 3. (Bukan) Pernikahan Impian

 “Bukan hanya cinta yang akan membuat pernikahan kian sempurna. Akan tetapi tulusnya hati, untuk menerima setiap kekurangan pasangan.” Sudah dari tiga hari lalu kediaman Mariam ramai oleh orang-orang yang tak lain adalah para tetangga juga sanak saudara. Mereka sengaja datang untuk membantu mempersiapkan segala keperluan acara syukuran sebelum pernikahan. Mulai dari membuat berbagai jenis kue, termasuk bugis dan kue ali sebagai makanan khas di Jawa Barat. Setidaknya sampai tadi malam, saat acara syukuran selesai dilaksanakan.Namun sekarang, begitu pagi menjelang, keramaian bukan lagi karena harus membuat berbagai jenis makanan. Mereka sibuk mempersiapkan diri, memakai pakaian hasil sewaan dengan warna senada: Kebaya biru muda, dipadu padankan dengan kain sinjang batik cokelat yang menyerupai rok setumit.Farhat dan Mariam saling membantu saat merapikan pakaian. Begitu juga Fitri dan Aisyah yang saling memoles wajah dengan setu
Read more

Bab. 4. Gelenyar Cinta yang Hilang

“Alhamdulillah, Neng,” kata Tania, Kartika dan Kholiefah bersamaan di dalam kamar pengantin, begitu mendengar acara ijab qabul selesai dilaksanakan. Mencipta senyum dari bibir tipis Nafisa yang sedari tadi menunggu dengan jantung berdebar tak keruan. Istri dari ketiga kakak Nafisa yang datang seminggu sebelum pernikahan itu merasa lega, ikut bahagia karena sekarang status Nafisa bukan lagi seorang gadis. Melainkan istri dari seorang Arzan, pemuda tampan asal kampung Neglasari. Satu per satu dari mereka pun memeluk Nafisa bergantian dari belakang, bahkan mencium kening sebagai tanda sayang.Nafisa yang masih merasa gugup meraih sebelah tangan Tania, istri dari Alvin, kakak tertuanya yang tinggal di kota Sukabumi dengan begitu erat. Ia menoleh dengan bibir terkatup rapat.“Sudah, sekarang kalian sudah sah, toh? Jadi, jangan gugup lagi.” Tania menenangkan sambil menumpukan sebelah tangannya di atas jemari Nafisa.“Iya. Coba senyum,” goda Kartika dan Kholiefah bersamaa
Read more

Part. 5. Lelaki yang Tak Peka

“Jatuh cinta adalah sesuatu yang menyenangkan. Tetapi akan menjadi rumit, kalau masalah kecil saja dipermasalahkan." ***  Adzan Subuh berkumandang, terdengar jelas dari masjid ke masjid, terlebih yang terletak di belakang rumah Laksmi. Menggema, menggetarkan langit di kampung Jati. Nafisa yang biasa bangun pukul tiga dini hari mengerjap-ngerjapkan mata. Ia terlambat bangun sampai buru-buru menyingkap selimut tebal yang membungkus tubuhnya semalaman seraya duduk bersila.Namun, melihat tidak adanya Arzan membuat ia bergeming barang sejenak. Di mana dia? Pikirnya dalam hati. Barulah setelah itu ia menoleh dan mengedarkan pandangan sembari mengikat rambut yang terlepas saat tertidur pulas. Dilihatnya Arzan tidur di lantai, meringkuk beralaskan kasur lantai yang biasa dipakai tidur saat cuaca panas.“Aa?” gumamnya heran, “kok, tidur di lantai?”Nafisa yang merasa bingung akhirnya beranjak t
Read more

Bab. 6. Ia Pulang

"Cinta mungkin tak dapat hadir. Tapi hatinya luluh oleh rasa iba."***Pukul sembilan pagi, usai melakukan sarapan bersama keluarga di rumah Laksmi, Arzan menerima telepon dari Farhat yang menyuruhnya pulang sebentar untuk membicarakan tentang salah satu tokonya di pasar. Arzan pamit, pergi seorang diri walau Nafisa sempat meminta ikut. Ia tak mungkin membawa istrinya itu, karena ada hal lain yang akan dikatakannya pada Mariam. Dengan motor bebek butut ayah mertuanya Arzan berangkat. Ia tak cukup sabar untuk segera sampai dan mengeluhkan apa yang dirasakannya terhadap Nafisa pada Mariam, dengan harapan akan mendapatkan solusi. Ia melajukan motornya cepat, melesat tanpa mengurangi fokusnya berkendara. Namun, begitu sampai dua puluh menit kemudian, yang langsung ditanyakan Mariam adalah menantunya.“Nafisa masih beres-beres rumah, Bu. Jadi nggak bisa ikut. Ibu sehat?” Arzan mengalihkan pembicaraan, balik bertanya seraya menggiring ibunya u
Read more

Bab. 7. Kecewa yang Mendalam

"Segala upaya dilakukan, hanya demi sebuah perasaan!"*** Tiga hari menikmati masa pengantin baru di rumah mertua,  membuat Arzan merasa terpenjara. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain diam di kamar, atau menemani ayah mertuanya di teras sambil menikmati secangkir kopi. Sesekali ia pun membantu Asep memberi makan domba. Seru, karena itu adalah hal yang belum pernah ia lakukan. Namun, karena hari ini Asep  dan Laksmi pergi ke ladang, ia yang baru selesai salat hanya duduk-duduk di kursi ruang keluarga sambil menonton acara di televisi.Sesekali matanya menangkap sosok Nafisa, memperhatikan istrinya itu yang sedang melipat baju di lantai, tak jauh dari tempat di mana ia duduk. Walau warna kulit Nafisa terbilang hitam, juga tubuh yang ternyata kerempeng, istrinya itu berwajah cantik dan manis. Pipi tirus membuat hidungnya semakin mancung, kedua mata berbulu lentik itu pun sipit seperti gadis keturunan Tiongk
Read more

Bab. 8. Masa Nyosor Duluan

"Cinta tak kan bisa dipaksa. Tapi, usaha untuk mendapatkannya akan mengubah segala."*** ‘Malah ikut.’ Arzan mengusap hidung begitu Nafisa masuk. ‘Eh, tapi kan ini kamarnya,' lanjutnya lagi sambil menahan tawa.Nafisa yang baru masuk langsung membuka lemari, menyimpan pakaiannya di sana sebelum kembali untuk mengambil pakaian lain. Tak lupa, sesekali ia mencuri pandang, melihat Arzan duduk di sisi ranjang sambil membaca kitab yang ia bawa sewaktu acara pernikahannya kemarin.Barulah saat untuk ketiga kalinya Nafisa menyimpan baju dalam lemari, ia menutup pintu dan menghampiri Arzan yang masih duduk di sisi ranjang. “Maafin ibu, ya, A. Ibu mah emang suka gitu, suka ngagetin.”“Iya, nggak apa-apa. Lagian salah kita juga nggak nyahut saat dipanggil, 'kan?” tanya Adzan sambil menoleh dan menutup kitab yang baru saja ia baca. Bibirnya yang seksi tersenyum tipis.“Iya, sih. Tapi, kan
Read more

Bab. 9. Kiss

“Apa yang terlihat di depan mata, tidak selalu mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi.”Matahari kian meninggi, tapi panasnya tak membuat niat Laksmi melemah untuk menemui seorang wanita tua yang terkenal dengan jampi-jampinya. Ia terlalu semangat, tepatnya tak cukup sabar untuk menanyakan perihal ketahanan parfum juga jampi yang ia beli beberapa bulan lalu.Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam lebih, Laksmi pun sampai di kampung Bojong. Bersama tukang ojek, ia melewati gang demi gang sebelum akhirnya tiba di depan sebuah rumah tua bercat kuning kusam.“Tunggu sebentar bisa, Mang?” Laksmi bertanya begitu turun dari motor yang ditumpanginya. “Paling cuma setengah jam.”“Boleh, Bu. Tapi saya minta ongkos yang barusan dulu. Mau beli rokok sama kopi,” tutur lelaki usia tiga puluh tahunan itu sambil menyengir.Laksmi mengangguk, lalu merogoh tas selendang kecil yang menggelayut di tubuhnya yang tambun. “Jangan lupa,
Read more

Bab. 10. Parfum Pemikat

Azan Isya sudah lama berlalu setelah seharian penuh Arzan hanya diam di rumah. Sesekali dia hanya pergi ke kandang, memberi makan domba dengan rumput yang dikumpulkan Asep setiap pagi. Juga duduk-duduk di teras, menemani Asep dan Nafisa mengobrol sembari menikmati secangkir kopi sore tadi.Perkampungan yang cukup jauh dari perkotaan itu sudah sepi dari lalu-lalang warga, apalagi kendaraan. Hanya terdapat beberapa orang yang masih di luar, itu pun karena adanya tugas meronda setiap malam. Kasus pencurian yang kerap terjadi menjelang bulan Ramadan, membuat mereka kompak membagi jadwal jaga. Sebagai warga baru, nama Arzan pun sudah tercatat di papan yang menggantung di pos ronda. Malam ini, dia bersiap-siap keluar seusai salat bersama Asep.“Hati-hati, ya, A. Kalau ada malingnya, Aa jangan ikut ngejar. Mending pulang aja. Kan, Neng juga takut di rumah.” Di dalam kamar, sambil menyodorkan kain sarung dan jaket, supaya Arzan tak kedinginan sepanjang malam, Nafisa b
Read more
PREV
123456
...
8
DMCA.com Protection Status