Aini tersenyum di depan cermin sambil merapikan rambutnya. Wajahnya sudah tidak lagi kusam, meskipun kulitnya masih sangat coklat. Aku bersyukur karena Aini ternyata wanita yang tidak banyak drama dan sangat bisa diajak kerja sama. Mungkin ini alasan kenapa Tuhan mempertemukan aku dan Aini malam itu. Jika saja aku menyetujui dijodohkan dengan Monik, maka aku takkan pernah berada di dekat Luna seperti mimpiku yang tidak akan lama lagi terwujud. Pagi ini, jam sembilan, kami akan bertemu dengan Luna dan juga papa dari Luna. Aku sengaja memilih pagi hari karena udara di luar masih bersahabat. Siang sampai sore, aku dan Luna berencana berkeliling di sekitar sini. "Mas, ayo, nanti kita terlambat," ujar Aini yang membuyarkan lamunanku. "Oh, iya, ini sudah jam sembilan tepat." Aku melihat jam di tangan. Aku segera beranjak dari sofa, berjalan lebih dahulu untuk membuka pintu. Aini berjalan di belakangku seperti biasa. Kami berpapasan dengan bule lelaki dan wanita. Aini tersenyum begitu ra
"Saya bosan di kamar terus, Mas. Pengen keliling sekitar sini saja. Cuma sebentar," jawab Aini dengan suara setengah memohon. Aku tetap menggeleng. "Sorry, Sir, she is my wife." "Oh, yes, you should be near your wife." "Of course."Aku langsung menarik tangan Aini agar segera berbalik ke arah kamar kami. "Kamu tahu kan, Mbak, kenapa kita bisa berakhir di sini? Karena orang jahat sama kamu dan Intan. Sekarang kamu mau keluar sendirian lagi. Di sini banyak orang asing dan kamu.... ""Mas Dhuha!" Suara Luna membuatku sontak menoleh ke arah kanan. Wajah Luna cemberut dan aku sudah siap jika harus menerima sikap kesalnya. "Katanya mau ke kamar mandi, rupanya sama mbak Aini. Aku nunggu lama di depan loh!" Luna melipat kedua tangannya di dada. "Ini, Aini keliling sama bule. Nanti kalau dijahatin orang gimana? Ya aku suruh ke kamar aja! Kamu jangan cemburu, Cantik. Aini sudah menjadi bagian dari kehidupan yang aku jalani saat ini. Ketika mau siap dengan konsekuensi itu, maka kamu gak b
"Besok saya akan menikahi Luna. Mbak Aini gak papa?" tanyaku sambil menoleh ke samping. Kami berbaring di ranjang yang sama malam ini, sambil menatap langit kamar. Sebenarnya mbak Aini sudah menutup mata, tapi aku tahu, ia belum tidur. "Gak papa, Mas. Santai saja." Wanita itu masih menutup mata. "Kalau nanti saya lebih fokus ke Luna, Mbak juga aman kan?" tanyaku lagi. Aini mengangguk yakin. "Gak papa, Mas, saya baik-baik saja. Justru saya akan merasa bersalah jika menghalangi cinta Mas Dhuha dengan mbak Luna. Di jaman sekarang, cinta itu adalah kata yang mudah diucapkan, tapi prakteknya tidak. Mas Dhuha membuktikan bahwa cinta itu tulus dan masih ada untuk mbak Luna, meskipun kalian sudah lama tidak berjumpa. Mas tipe yang setia kalau gitu, he he he.... " Aini tertawa, kali ini ia membuka mata dan ikut menoleh ke kanan, ke arahku. "Iya, saya susah move on. Lalu Mbak Aini sendiri gimana? Maksudnya dengan ayah anak-anak." Wanita itu hanya tersenyum saja. "Jika diingat, maka saya ak
Suara hujan di luar seharusnya membuat suasana sahdu bagiku dan juga Luna, tapi nyatanya, aku melewati malam panas ini bersama Aini. Istri pertamaku. "Mbak, s-saya gak tahu kenapa tadi tubuh saya rasanya panas. Jadi, Luna memberikan minuman alkohol. Terus saya minum... terus.... ""Terus ke sini?" sela Aini kemudian tersenyum tipis. "Iya." Aku tidak tahu mau jawab apa. Aku hanya bisa duduk bersandar di kepala ranjang dengan sebagian tubuh yang ditutupi selimut. Rasanya sangat malu sekali dengan Aini. Mati-matian aku menghindar agar tidak menyentuhnya sama sekali, satu jam yang lalu, malah aku kayak orang kesurupan meminta hakku padanya. Sekarang aku bahkan tidak berani menoleh ke kiri. Aini juga sama-sama duduk di sebelahku. "Aw!""Kenapa?" tanyaku kaget. "S-sakit, Mas," katanya sambil menggigit bibir. "Mau ke kamar mandi?" tanyaku ragu. "Iya, mau bersih-bersih. Jadi, kalau nanti mau siaran ulang yang tadi, udah bersih he he he.... ""Dih, siapa yang mau lagi? Udah, ayo, aku ba
"Mbak, kamu utang penjelasan tentang ini. Kenapa bisa? Lalu Intan dan Izzam itu siapa kalau kamu perawan." Aku menahan lengan Aini saat wanita itu hendak keluar dari kamar mandi dengan kepayahan. Aku yang tidak tega, akhirnya menggendong Aini sampai di ranjang. Aku mendudukkan istriku itu di pinggir ranjang. "Aku ambilkan dulu bajunya!" Segera aku buka lemari pakaian dan mengambil satu stel baju santai untuk Aini, berikut pakaian dalamnya juga. "Mas, saya janji akan cerita, tapi Mas harus pergi ke kamar mbak Luna. Mbak Luna pasti marah banget sama saya ini. Saya takut, Mas," ujar Aini dengan suara bergetar. Sial, aku malah benar-benar seharusnya aku malam pertama dengan Luna! "Oke, tapi setelah urusanku dengan Luna selesai, kamu harus jujur, Mbak. Paham!" Aini mengangguk. Aku mendekat, lalu mencium rambutnya dengan cepat. "Maafin yang semalam dan yang tadi," ucapku pelan tak berani menatap wajah istri tuaku itu. Aku melangkah cepat ke kamar Luna sambil memikirkan alasan apa yang
"Padahal kemarin itu hanya satu gelas wine saja, tapi kenapa rasanya aku sangat ngantuk ya, Mas? Udah gitu, aku benar-benar gak bisa dibangunkan kata papa," kata Luna sambil menggelengkan kepalanya. "Mana aku tahu, Sayang. Kamu yang kasih minuman itu sama aku'kan? Aku pun heran, kenapa kamu tidur tiba-tiba? Pas banget opa telepon, bilang kalau mau ke kamarku. Jadilah aku langsung pindah kamar. Gawat kalau opa sampai tahu. Kamu gak papa ya, sementara ini kita backstreet dulu?" Luna mengangguk paham. "Iya, Mas, semua ada hikmahnya ya. Coba kalau kita jadi malam pengantin, lebih repot lagi pastinya!"Aku pun tersenyum penuh rasa haru. Luna benar-benar mengerti posisiku saat ini. "Mas, aku ke toilet dulu ya.""Oke, jangan lama-lama ya." Luna pun bergegas menuju toilet, sedangkan aku baru bisa bernapas lega setelah melewati pertanyaan horor Luna. Aku mengambil ponsel, lalu berkaca di sana. Aku terkejut saat baru menyadari bibir ini merah. Bisa-bisanya Aini melakukan ini padaku. Kenapa b
"Mbak, kaki kamu kenapa?" tanya Luna begitu ia sudah mendekat pada Aini. Wajah Aini langsung pucat, mungkin ia tidak menyangka akan bertemu Luna di restoran. Begitu juga aku, aku pun kaget karena ada Aini di tempat ini. Bukannya ia tidak bisa jalan? Mau apa? "Eh, Mbak Luna, i-ini, gak papa. S-saya cuma gak enak ini saya lagi gak enak badan. Mau ke klinik dekat sini.""Kamu sakit apa?" Luna dan aku bertanya bersamaan. Kami berdua pun sama-sama saling pandang. "Saya cuma gak enak badan. Mungkin gejala typus, jadi mau ke klinik. Saya sendiri saja, di depan sana ada klinik kan ya?""Sakit typus, tapi kenapa jalannya seperti orang keseleo atau salah urat, Mbak?" tanya Luna lagi. Aku menggigit bibir agar tidak terbahak. "Iya karena saya juga kesandung di kamar mandi. Jadinya mau sekalian minta minyak urut.""Kami anter aja," kata Luna menawarkan. Waduh, jangan sampai Luna mengantarkan Aini ke klinik. Bisa-bisa rahasiaku semalam bisa terbongkar. Lagian ngapain sih, Aini ke klinik segala?
"Bukannya kamu mau anter opa keliling? Mana opa? Kenapa malah sama Mbak Aini? Digendong pula? Aku aja belum pernah kamu gendong!" "Aa.... ""Saya keseleo, Mbak Luna. Disarankan jangan banyak berjalan. Mas Dhuha anter opa ke sini juga. Lagi periksa gigi di dalam. Karena tiba-tiba opa sakit gigi, begitu kan, Mas?" Aini memutus ucapanku sambil menatapku serius. Tatapan Luna jelas sekali tidak langsung memercayai alasan Aini. "Benar, setelah mengantar Aini ke kamar, aku akan jemput opa ke sini, terus opa akan kembali ke kamar opa juga. Kamu jangan khawatir sayang. Bukannya kamu mau belanja buat oleh-oleh mama?" tanyaku balik pada Luna. Tentu saja aku pun sama terkejutnya dengan wanita itu karena ia ijin untuk berbelanja, tetapi malah muncul di klinik. "Kalian gak bohong, kan?" tanya Luna sekali lagi. "Tidak, Mbak. Biar saya diantar Mas Dhuha dulu ya, Mbak. Kasihan kalau terlalu lama gendong saya begini, nanti suami kita turun berok!" "Sembarangan!" Aku mencebik. "Ya sudah, anter Mba
Hakim kembali memijat pelipisnya setelah pertemuannya dengan Salsabila. Dua miliar bukan jumlah yang kecil, tetapi ia tahu bahwa dengan posisi dan kekayaan keluarganya, itu bukan angka yang mustahil. Yang menjadi pertanyaannya sekarang, apakah Tania akan meminta hal yang sama?Ia meraih ponselnya dan menghubungi Amel."Halo, Mas Hakim," suara Amel terdengar ceria seperti biasa."Amel, aku baru saja bertemu dengan Salsabila dan dia setuju, tapi ada syaratnya," kata Hakim."Syarat seperti apa?" tanya Amel penasaran."Dua miliar sebagai kompensasi atas perannya. Dia ingin semuanya berjalan profesional tanpa perasaan terlibat," jawab Hakim jujur.Amel terdiam sesaat sebelum tertawa kecil. "Wah, nggak kaget sih. Salsabila memang tipe wanita yang tahu apa yang dia mau.""Nah, itu yang mau aku tanyakan ke kamu. Apakah menurutmu Tania juga akan meminta kompensasi seperti itu?" Hakim bertanya hati-hati.Amel menghela napas. "Sejujurnya, aku nggak tahu, Mas. Tania orangnya berbeda dari Salsabil
Hakim duduk di kursinya dengan perasaan campur aduk setelah mengirim pesan kepada Amel. Ia memijat pelipisnya, mencoba mencerna semua pilihan yang tiba-tiba datang dalam hidupnya. Tiga minggu bukan waktu yang lama untuk mencari pasangan hidup, meskipun hanya sekadar pernikahan pura-pura.Di satu sisi, ada Salsabila. Wanita yang direkomendasikan oleh Aini dan tampak sangat profesional. Sikapnya tegas dan penuh perhitungan. Hakim bisa melihat bahwa Salsabila bukan tipe orang yang mudah dibohongi atau dimanfaatkan. Jika ia setuju, Hakim yakin mereka bisa menyusun kesepakatan yang jelas dan tidak akan ada drama di kemudian hari. Namun, justru itulah yang sedikit membuatnya khawatir. Wanita seperti Salsabila pasti punya standar tinggi dan bisa jadi ia tidak akan mau menjalani sandiwara ini tanpa syarat yang ketat.Di sisi lain, ada Tania. Wanita yang diperkenalkan oleh Amel. Dari deskripsi Amel, Tania tampak seperti gadis sederhana yang pekerja keras dan penuh tanggung jawab. Yatim piatu,
Hakim menatap layar ponselnya dengan ekspresi serius. Setelah menelepon Dhuha, ia merasa sedikit lebih tenang, tetapi tetap saja, waktu yang diberikan orang tuanya sangatlah singkat. Ia bukan tipe pria yang terbiasa terburu-buru dalam mengambil keputusan besar, apalagi soal pernikahan. Namun, kali ini ia tidak punya banyak pilihan.Di sisi lain, Dhuha masih mencerna ucapan Hakim barusan. Ini bukan permintaan yang biasa. Mencari calon istri dalam waktu tiga minggu saja sudah sulit, apalagi jika syaratnya adalah pernikahan pura-pura. Ia merebahkan diri di sofa sambil menatap langit-langit. Aini, yang baru saja selesai mandi, keluar dari kamar dan melihat ekspresi suaminya yang sedang berpikir keras."Kenapa bengong begitu?" tanya Aini sambil mengeringkan rambutnya.Dhuha menoleh dan tersenyum kecil. "Barusan Hakim nelepon. Dia butuh istri dalam tiga minggu."Aini mengernyit. "Istri? Maksud Mas, dia mau menikah? Emang Hakim punya ayang? ""Iya. Tapi bukan pernikahan yang sebenarnya. Dia
Hotel Mulia Sahabat sudah beroperasi sejak subuh. Para staf dengan cekatan mempersiapkan segala sesuatu untuk memastikan tamu mendapatkan pelayanan terbaik. Dari lobi yang dipenuhi dengan aroma kopi segar hingga restoran yang mulai menyajikan sarapan prasmanan, semuanya berjalan dengan rapi dan efisien. Hakim duduk di ruang rapat utama, menatap layar presentasi yang menunjukkan proyek ekspansi terbaru hotel mereka di Kota Malang."Baik, untuk grand opening di Malang, saya ingin semua berjalan sesuai jadwal. Pak Irwan, bagaimana progres renovasi gedungnya?" tanya Hakim dengan suara tegas namun tetap tenang."Alhamdulillah, Pak Hakim. Progresnya sudah mencapai 85 persen. Kami hanya tinggal menyelesaikan beberapa bagian interior dan pelatihan staf baru."Hakim mengangguk puas. "Bagus. Saya ingin kita pastikan bahwa pelayanannya tetap setara dengan standar hotel kita di kota lain. Bu Siska, bagaimana dengan marketingnya?""Sudah berjalan sesuai rencana, Pak. Kami sudah melakukan kampanye
Dhuha menatap ibunya dengan perasaan terluka. "Mama, jangan bicara seperti itu. Aku memilih Aini bukan karena sihir atau apapun yang Mama pikirkan. Aku memilihnya karena aku mencintainya. Mama, aku mohon, berhentilah mencurigainya tanpa bukti yang jelas. Aini tulus mencintaiku, Ma. Dulu kami berpisah karena aku yang tidak dewasa. Sekarang aku sudah dewasa dan paham. Aku gak mau sampai pernikahanku gagal lagi.""Kamu tidak pernah tahu kan, kenapa bisa cinta berat sama Aini? Kamu saja jarang solat. Orang yang jarang solat itu, mudah dimasukin jin." Dhuha menggelengkan kepala. Mamanya selalu saja keras kepala dan pasti tidak akan menerima pembelaan darinya. Maria menghela napas panjang. Ia ingin membantah, tetapi dalam hatinya, ia pun ragu. Foto-foto itu memang tampak mencurigakan, tetapi apakah itu cukup sebagai bukti bahwa Aini tidak layak untuk Dhuha? Apalagi setelah mendengar bahwa foto tersebut adalah foto lama."Mama akan mencari tahu lebih lanjut. Tapi untuk sekarang, Mama tidak
Setelah membaca pesan itu, Aini merasa hatinya mulai tidak tenang. Meskipun Dhuha sudah meyakinkannya bahwa ia akan selalu melindunginya, tetap saja perasaan gelisah itu tidak bisa hilang begitu saja. Ia mencoba mengabaikan rasa takutnya dan melanjutkan aktivitasnya, tetapi firasat buruk itu terus menghantuinya.Keesokan harinya, Aini dan Dhuha pergi ke Sentul seperti yang mereka rencanakan. Udara pagi yang sejuk dan pemandangan hijau pegunungan sedikit mengurangi kegelisahan yang masih tersisa dalam hati Aini. Mereka mengunjungi rumah yang akan segera menjadi milik mereka, sebuah hunian minimalis dengan halaman luas dan suasana yang tenang."Masya Allah, indah sekali," gumam Aini takjub.Dhuha tersenyum melihat ekspresi bahagia istrinya. "Aku ingin kamu bahagia di sini. Aku ingin kita membangun rumah tangga yang penuh ketenangan dan cinta."Aini menggenggam tangan suaminya erat. "Terima kasih, Mas. Aku tidak butuh rumah besar atau barang mewah, yang penting kita selalu bersama." Mesk
Dhuha menggeleng-geleng sambil tertawa, menarik Aini kembali ke dalam pelukannya. "Adek benar-benar bikin abang kalah terus ya?"Aini terkikik. "Bukannya kalah, tapi harusnya bangga punya istri cerdas."Dhuha mengecup kening istrinya lembut. "Iya, iya, abang bangga sekali."Mereka duduk berdua di ranjang, menikmati momen tenang setelah kejadian barusan. Aini bersandar di bahu Dhuha, memainkan jari-jarinya di telapak tangan suaminya. "Mas, menurutmu, Mama akan terus begini?"Dhuha menghela napas panjang. "Entahlah. Aku tahu Mama butuh waktu. Tapi aku yakin lama-lama beliau akan menerima kamu sepenuhnya."Aini mengangguk. "Aku tidak ingin buru-buru. Yang penting kita berdua tetap satu hati."Dhuha tersenyum. "Selalu."Sementara itu, di kamar Maria, wanita paruh baya itu duduk di depan cermin riasnya, memandangi wajahnya dengan ekspresi penuh pertimbangan. Ia memegang dompet pemberian Monic, mengelus permukaannya pelan. Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan.Monic adalah kandidat
Aini tertawa kecil melihat ekspresi terkejut Dhuha. "Sudah, sekarang kita diam saja di dalam kamar, biarkan Mama dan Monic di luar."Dhuha menggelengkan kepala, tetapi akhirnya hanya bisa tersenyum pasrah. Ia menarik Aini ke dalam pelukannya, membiarkan istrinya bersandar di dadanya. "Kamu benar-benar tidak ada takutnya, ya?""Kenapa harus takut? Aku istrimu, sah di mata agama dan negara. Mau Mama undang Monic, Silvi, atau siapa pun, yang terpenting hatimu hanya untukku, kan?" goda Aini.Dhuha tertawa pelan. "Iya, iya. Kamu memang satu-satunya buatku.""Ada yang bilang, selama suami berpihak pada istri, jangankan pelakor, set an pun gak berani menggoda." Dhuha kembali tertawa. "Jadi, apa kita ada momen untuk bikin bayi siang-siang begini?" goda Dhuha. "Of, course, Sayang. Kali ini, aku di atas ya." Dhuha terbahak sambil menekan hidung istrinya karena gemas. Sementara itu, di ruang tamu, Maria menyambut Monic dengan senyuman ramah. Wanita itu terlihat anggun dengan gaun merah marunn
Setelah kunjungan mereka ke panti asuhan Cahaya Kasih, Dhuha dan Aini kembali ke rumah mereka yang nyaman. Hari itu terasa begitu indah bagi Aini, berbagi kebahagiaan dengan anak-anak di panti asuhan yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama.Sore itu, ketika mereka baru saja tiba di rumah, ponsel Dhuha bergetar. Nama yang tertera di layar membuatnya menghela napas panjang sebelum mengangkat panggilan itu. "Mama," sapanya pelan."Dhuha, Mama ingin bicara. Bisa Mama datang sekarang?" suara Maria terdengar lebih lembut dari biasanya.Dhuha melirik Aini yang sedang menata beberapa barang di ruang tamu. Ia mengangguk kecil seolah mengizinkan, meski tak tahu apa yang akan dibahas mamanya kali ini. "Baik, Ma. Mama ke sini sekarang?""Ya, tunggu Mama sebentar.""Kenapa, Mas?" tanya Aini sambil menatap suaminya. "Mama mau berkunjung ke sinu." Aini mengangguk. "Terus kenapa?""Kamu gak papa?" tanya Dhuha khawatir. "Ish, Mama itu juga mamaku sekarang