"Besok saya akan menikahi Luna. Mbak Aini gak papa?" tanyaku sambil menoleh ke samping. Kami berbaring di ranjang yang sama malam ini, sambil menatap langit kamar. Sebenarnya mbak Aini sudah menutup mata, tapi aku tahu, ia belum tidur. "Gak papa, Mas. Santai saja." Wanita itu masih menutup mata. "Kalau nanti saya lebih fokus ke Luna, Mbak juga aman kan?" tanyaku lagi. Aini mengangguk yakin. "Gak papa, Mas, saya baik-baik saja. Justru saya akan merasa bersalah jika menghalangi cinta Mas Dhuha dengan mbak Luna. Di jaman sekarang, cinta itu adalah kata yang mudah diucapkan, tapi prakteknya tidak. Mas Dhuha membuktikan bahwa cinta itu tulus dan masih ada untuk mbak Luna, meskipun kalian sudah lama tidak berjumpa. Mas tipe yang setia kalau gitu, he he he.... " Aini tertawa, kali ini ia membuka mata dan ikut menoleh ke kanan, ke arahku. "Iya, saya susah move on. Lalu Mbak Aini sendiri gimana? Maksudnya dengan ayah anak-anak." Wanita itu hanya tersenyum saja. "Jika diingat, maka saya ak
Suara hujan di luar seharusnya membuat suasana sahdu bagiku dan juga Luna, tapi nyatanya, aku melewati malam panas ini bersama Aini. Istri pertamaku. "Mbak, s-saya gak tahu kenapa tadi tubuh saya rasanya panas. Jadi, Luna memberikan minuman alkohol. Terus saya minum... terus.... ""Terus ke sini?" sela Aini kemudian tersenyum tipis. "Iya." Aku tidak tahu mau jawab apa. Aku hanya bisa duduk bersandar di kepala ranjang dengan sebagian tubuh yang ditutupi selimut. Rasanya sangat malu sekali dengan Aini. Mati-matian aku menghindar agar tidak menyentuhnya sama sekali, satu jam yang lalu, malah aku kayak orang kesurupan meminta hakku padanya. Sekarang aku bahkan tidak berani menoleh ke kiri. Aini juga sama-sama duduk di sebelahku. "Aw!""Kenapa?" tanyaku kaget. "S-sakit, Mas," katanya sambil menggigit bibir. "Mau ke kamar mandi?" tanyaku ragu. "Iya, mau bersih-bersih. Jadi, kalau nanti mau siaran ulang yang tadi, udah bersih he he he.... ""Dih, siapa yang mau lagi? Udah, ayo, aku ba
"Mbak, kamu utang penjelasan tentang ini. Kenapa bisa? Lalu Intan dan Izzam itu siapa kalau kamu perawan." Aku menahan lengan Aini saat wanita itu hendak keluar dari kamar mandi dengan kepayahan. Aku yang tidak tega, akhirnya menggendong Aini sampai di ranjang. Aku mendudukkan istriku itu di pinggir ranjang. "Aku ambilkan dulu bajunya!" Segera aku buka lemari pakaian dan mengambil satu stel baju santai untuk Aini, berikut pakaian dalamnya juga. "Mas, saya janji akan cerita, tapi Mas harus pergi ke kamar mbak Luna. Mbak Luna pasti marah banget sama saya ini. Saya takut, Mas," ujar Aini dengan suara bergetar. Sial, aku malah benar-benar seharusnya aku malam pertama dengan Luna! "Oke, tapi setelah urusanku dengan Luna selesai, kamu harus jujur, Mbak. Paham!" Aini mengangguk. Aku mendekat, lalu mencium rambutnya dengan cepat. "Maafin yang semalam dan yang tadi," ucapku pelan tak berani menatap wajah istri tuaku itu. Aku melangkah cepat ke kamar Luna sambil memikirkan alasan apa yang
"Padahal kemarin itu hanya satu gelas wine saja, tapi kenapa rasanya aku sangat ngantuk ya, Mas? Udah gitu, aku benar-benar gak bisa dibangunkan kata papa," kata Luna sambil menggelengkan kepalanya. "Mana aku tahu, Sayang. Kamu yang kasih minuman itu sama aku'kan? Aku pun heran, kenapa kamu tidur tiba-tiba? Pas banget opa telepon, bilang kalau mau ke kamarku. Jadilah aku langsung pindah kamar. Gawat kalau opa sampai tahu. Kamu gak papa ya, sementara ini kita backstreet dulu?" Luna mengangguk paham. "Iya, Mas, semua ada hikmahnya ya. Coba kalau kita jadi malam pengantin, lebih repot lagi pastinya!"Aku pun tersenyum penuh rasa haru. Luna benar-benar mengerti posisiku saat ini. "Mas, aku ke toilet dulu ya.""Oke, jangan lama-lama ya." Luna pun bergegas menuju toilet, sedangkan aku baru bisa bernapas lega setelah melewati pertanyaan horor Luna. Aku mengambil ponsel, lalu berkaca di sana. Aku terkejut saat baru menyadari bibir ini merah. Bisa-bisanya Aini melakukan ini padaku. Kenapa b
"Mbak, kaki kamu kenapa?" tanya Luna begitu ia sudah mendekat pada Aini. Wajah Aini langsung pucat, mungkin ia tidak menyangka akan bertemu Luna di restoran. Begitu juga aku, aku pun kaget karena ada Aini di tempat ini. Bukannya ia tidak bisa jalan? Mau apa? "Eh, Mbak Luna, i-ini, gak papa. S-saya cuma gak enak ini saya lagi gak enak badan. Mau ke klinik dekat sini.""Kamu sakit apa?" Luna dan aku bertanya bersamaan. Kami berdua pun sama-sama saling pandang. "Saya cuma gak enak badan. Mungkin gejala typus, jadi mau ke klinik. Saya sendiri saja, di depan sana ada klinik kan ya?""Sakit typus, tapi kenapa jalannya seperti orang keseleo atau salah urat, Mbak?" tanya Luna lagi. Aku menggigit bibir agar tidak terbahak. "Iya karena saya juga kesandung di kamar mandi. Jadinya mau sekalian minta minyak urut.""Kami anter aja," kata Luna menawarkan. Waduh, jangan sampai Luna mengantarkan Aini ke klinik. Bisa-bisa rahasiaku semalam bisa terbongkar. Lagian ngapain sih, Aini ke klinik segala?
"Bukannya kamu mau anter opa keliling? Mana opa? Kenapa malah sama Mbak Aini? Digendong pula? Aku aja belum pernah kamu gendong!" "Aa.... ""Saya keseleo, Mbak Luna. Disarankan jangan banyak berjalan. Mas Dhuha anter opa ke sini juga. Lagi periksa gigi di dalam. Karena tiba-tiba opa sakit gigi, begitu kan, Mas?" Aini memutus ucapanku sambil menatapku serius. Tatapan Luna jelas sekali tidak langsung memercayai alasan Aini. "Benar, setelah mengantar Aini ke kamar, aku akan jemput opa ke sini, terus opa akan kembali ke kamar opa juga. Kamu jangan khawatir sayang. Bukannya kamu mau belanja buat oleh-oleh mama?" tanyaku balik pada Luna. Tentu saja aku pun sama terkejutnya dengan wanita itu karena ia ijin untuk berbelanja, tetapi malah muncul di klinik. "Kalian gak bohong, kan?" tanya Luna sekali lagi. "Tidak, Mbak. Biar saya diantar Mas Dhuha dulu ya, Mbak. Kasihan kalau terlalu lama gendong saya begini, nanti suami kita turun berok!" "Sembarangan!" Aku mencebik. "Ya sudah, anter Mba
"O-opa sedang apa di sini?" tanyaku sambil menahan napas. Aini pun sama terkejutnya denganku saat ini. "Sedang jualan nasi goreng. Ya, jelas mau jemput kalian berdua! Kenapa memangnya, gak boleh?!" "B-bukan begitu, Opa. Di sini banyak orang, jadinya banyak virus. Nanti Opa sakit lagi. Ayo, Opa cepat ke mobil. Ini Aini juga udah mau ke mobil. Ayo, Opa dan Aini duluan saja ke mobil!" Aku segera mendorong Aini dengan kursi rodanya menuju mobil. "Dhuha, tunggu! Yee... malah kabur!" Aku sempat mendengar opa menggurutu, tetapi aku tak memedulikannya. Untung saja Luna tidak keluar bersama aku dan Aini, jika tidak, maka habislah aku disemprot istriku itu. Ketahuan semuanya bisa-bisa Luna minta talak. "Lo habis bikin apa, Dhu? Kenapa ketakutan lihat opa?" bisik Hakim saat ia membantu menaikkan koper ke dalam bagasi mobil. "Rahasia!" Aku mengerling pada Hakim. Aku yakin sekali ia pasti kepo. Aku masuk ke dalam mobil dan duduk di depan. Sayang sekali opa yang malah duduk di belakang di samp
PoV AiniAku duduk di depan cermin. Mematut diri yang sudah banyak sekali perubahannya. Kulit wajahku tak lagi terlalu kusam, meskipun aku bukan perawatan seperti kebanyakan wanita di luar sana. Kulit badanku yang berwarna coklat, bagi sebagian pria mungkin menyukainya. Hanya suamiku saja yang tidak. Suami? Aku sampai sekarang tidak mengerti hubungan yang terjadi antara aku dan mas Dhuha. Awalnya menikah terpaksa, lalu menjadi nikah kontrak, lalu setelah semalaman kami lalui bersama, malah terlihat seperti suami istri yang sedang berhubungan diam-diam. Selama kehidupan anak-anak terjamin, aku tidak masalah dengan statusku dan mas Dhuha. Ia pria baik, hanya saja ia punya cinta pertama yang kini sudah menjadi istrinya juga. Aku harus tahu diri dan mengerti posisi. Tok! Tok!"Ya, masuk saja." Pintu kamar terbuka. Rupanya Citra, suster opa yang membuka pintu. "Bu, maaf, ada telepon dari opa.""Oh, iya." Aku mengambil ponsel milik Citra. Opa memang belum tahu nomor ponselku karena mema