"O-opa sedang apa di sini?" tanyaku sambil menahan napas. Aini pun sama terkejutnya denganku saat ini. "Sedang jualan nasi goreng. Ya, jelas mau jemput kalian berdua! Kenapa memangnya, gak boleh?!" "B-bukan begitu, Opa. Di sini banyak orang, jadinya banyak virus. Nanti Opa sakit lagi. Ayo, Opa cepat ke mobil. Ini Aini juga udah mau ke mobil. Ayo, Opa dan Aini duluan saja ke mobil!" Aku segera mendorong Aini dengan kursi rodanya menuju mobil. "Dhuha, tunggu! Yee... malah kabur!" Aku sempat mendengar opa menggurutu, tetapi aku tak memedulikannya. Untung saja Luna tidak keluar bersama aku dan Aini, jika tidak, maka habislah aku disemprot istriku itu. Ketahuan semuanya bisa-bisa Luna minta talak. "Lo habis bikin apa, Dhu? Kenapa ketakutan lihat opa?" bisik Hakim saat ia membantu menaikkan koper ke dalam bagasi mobil. "Rahasia!" Aku mengerling pada Hakim. Aku yakin sekali ia pasti kepo. Aku masuk ke dalam mobil dan duduk di depan. Sayang sekali opa yang malah duduk di belakang di samp
PoV AiniAku duduk di depan cermin. Mematut diri yang sudah banyak sekali perubahannya. Kulit wajahku tak lagi terlalu kusam, meskipun aku bukan perawatan seperti kebanyakan wanita di luar sana. Kulit badanku yang berwarna coklat, bagi sebagian pria mungkin menyukainya. Hanya suamiku saja yang tidak. Suami? Aku sampai sekarang tidak mengerti hubungan yang terjadi antara aku dan mas Dhuha. Awalnya menikah terpaksa, lalu menjadi nikah kontrak, lalu setelah semalaman kami lalui bersama, malah terlihat seperti suami istri yang sedang berhubungan diam-diam. Selama kehidupan anak-anak terjamin, aku tidak masalah dengan statusku dan mas Dhuha. Ia pria baik, hanya saja ia punya cinta pertama yang kini sudah menjadi istrinya juga. Aku harus tahu diri dan mengerti posisi. Tok! Tok!"Ya, masuk saja." Pintu kamar terbuka. Rupanya Citra, suster opa yang membuka pintu. "Bu, maaf, ada telepon dari opa.""Oh, iya." Aku mengambil ponsel milik Citra. Opa memang belum tahu nomor ponselku karena mema
"Ma, Mama kenapa?" tanya mas Dhuha terkejut. "Mama Minta kamu ceraikan Aini! Kalian menikah karena salah masuk kamar mandi'kan? Sekarang orang di rumah ini sudah tahu semua, kamu gak perlu takut. Mama juga gak akan jodohkan kamu dengan Monic. Kamu sudah menikah dengan Luna di Bali kan? Mama tahu semua, Dhuha! Jangan kamu menganggap Mama kamu ini stupid! Sudah, sekarang kalian harus berpisah. Tenang, Aini akan mendapatkan pesangon sebagai istri kamu selama sepuluh harian ini." Aku masih mematung. Kedua kaki dan tanganku gemetar mendengar setiap kalimat yang dilontarkan ibu mertuaku. Aku tidak menyalahkannya karena yang ia lakukan benar. Bisa jadi, jika aku berada di posisinya, aku melakukan hal yang sama. Anak lelaki satu-satunya tentu harus mendapatkan yang terbaik. "Aini, ambil ini!" aku menelan ludah saat ibu mertuaku menyodorkan amplop berwarna coklat yang tebal. Kakiku tak bisa bergerak, bagaimana aku bisa menghampirinya. Ternyata hidup menjdi cinderela hanya sepuluh hari saja.
"Pak, saya bisa jelaskan ini. Ini semua salah paham. Saya gak kenal wanita ini dan.... ""Kalau gak kenal, kenapa bisa ada di sini? Kamar mandi masjid pula. Kamu gak punya duit buat sewa hotel apa?! Gak kenal tapi udah pelorotin celana!""Benar, bikin maksiat di rumah Allah. Udahlah, kita arak aja lelaki ini! Buka bajunya! Kalau perlu arak sampai kantor polisi!" Seru yang lain saling sahut menyahut. Semua orang sudah mengelilingiku. Mereka semua marah dan bersiap menghajarku karena kepergok berada di kamar mandi masjid bersama wanita yang aku pun gak tahu siapa. Bisa mati konyol aku jika terus memaksa membela diri. Masyarakat yang tengah gaduh tak mungkin aku lawan seorang diri saja. Di dalam kamar mandi, emangnya orang biasanya ngapain? Kalau udah buka celana tandanya emang kebelet. Gak mungkin aku buka warung di kamar mandi, apa lagi buka endors. Ampun, benar-benar warga di sini! "Heh, malah bengong! Cepet!""Oke, oke, saya akan nikahi wanita ini!" Aku merasa tidak punya pilihan
"Dhuha, bangun! Opa kamu datang tuh!" "Ya ampun, Ma, Du baru aja tidur. Masa udah harus bangun lagi. Du ada meeting siang, jadi.... ""Bangun, Opa perlu bicara!" Aku pun langsung melompat begitu mendengar suara ayah dari pihak papaku yang aku panggil opa. Mata ini langsung segar, apalagi Opa Fauzi sudah duduk di depanku. "Maria, bawakan Papa pisang rebus di bawah.""Baik, Pa." Mama pun keluar dari kamar. Tinggal aku berdua opa saja. Tumben sekali opaku masih jam tujuh pagi sudah ada di rumahku. "Kamu ada masalah apa sama Monic?" aku mengernyit. "Oh, Monic, terlalu lebay, Pa. Jajannya banyak. Baru sekali jalan, udah minta dibelikan emas. Memangnya saya juragan?""Baru sekali, coba lagi. Siapa tahu dia berubah." Opaku masih berusaha membujuk. "Kesan pertama itu sangat membekas, Pa. Baru satu kali ketemu udah kapok.""Tapi Opa udah janji mau jodohkan kamu dengan Monic. Begini, perusahaan akan bisa berkembang jika kamu menikahi Monic. Papa Monic dan almarhum papa kamu udah menjodohka
"Lu kenapa gak belain gue tadi?" tanyaku kesal pada Hakim yang sejak kami keluar dari kamar perawatan opa, terus saja tertawa cekikan. "Gue gak mau kena omel opa. Mana berani gue ikut campur." Aku menghela napas kesal mendengar alasannya. "Gue aja berasa kayak mimpi kalau lu udah nikah beneran." "Itu bukan nikah beneran namanya. Buset, gue gak tahu kayak apa nanti opa, mama, dan yang lainnya kalau tahu wanita itu gelandangan dan janda! Anaknya dua pula. Duh, nasibku.... " Hakim menyalakan mesin mobil. "Pikirkan nanti saja yang penting sekarang, kita jemput dulu istri lu ha ha ha.... " aku meninju lengan Hakim yang sudah siap memutar stir. Sepanjang jalan, aku gak tahu mau bicara apa karena aku pun bingung. Alasan apa nanti yang aku ucapkan pada mama, opa, dan yang lainnya. Keluargaku adalah keluarga terpandang. Bahkan opa sudah menyiapkan simpanan warisan yang bisa digunakan sampai anak dan cucu tujuh turunan. Asalkan, semua anak cucunya bisa mengelola usaha dengan baik. "Bil
"Ibu, bajunya bagus sekali. Ibu jadi cantik dan wangi. Hhuumm.... " Anak lelaki kecil itu terus memeluk ibunya dengan erat sambil tersenyum begitu lama. Nampak sekali ia bahagia dan terpesona dengan bentukan ibunya yang baru. Kuakui dengan berganti pakaian dan menumpang sholat di masjid, wajahnya tidak sekucel seperti awal. "Izzam, ikut Om beli mainan yuk! Ibu mau bicara dulu sama Ayah Dhuha." Hakim yang sudah aku beritahu apa tugasnya, langsung bergerak cepat. "Iya, Om." "Adik Izzam siapa namanya, Mbak?" tanyaku. "Intan, Mas.""Umur?" "Setahun setengah." Aku memandangi wajah kecilnya yang tengah terlelap beralaskan kain gendongan. "Mbak mulung, Anak-anak ditinggal berdua saja?" ia mengangguk. "Kasihan kalau dibawa dua-dua. Tapi memang saya mulung gak jauh-jauh, Mas. Saya dua kali pulang kalau pergi mulung dari jam tujuh pagi sampai jam dua belas." Aku mengangguk paham. "Ayahnya anak-anak ke mana?" "Udah gak ada.""Meninggal?" ia mengangguk. "Usia kamu berapa?" tanyaku lagi.
Benar seperti tebakanku bahwa mamaku terdiam sepanjang jalan pulang ke rumah. Wajahnya nampak tidak senang dengan kenyataan bahwa aku menikahi janda anak dua. Aku pun bingung mau mengatakan apa karena ini semua serba tiba-tiba dan aku belum menyiapkan plan A ataupun plan B. "Tante mau mampir ke mana, biar Hakim anter," kata Hakim mencaurkan suasana. "Pulang saja. Tante mau bicara sama sepupu kamu ini!" Jawab mama ketus. Aku menelan ludah. Aku perhatikan Aini pun sama. Ia tertunduk malu sambil memilih ujung bajunya. "Masih lama gak sih, mobil kamu bau banget ini, Dhu. Apa nggak dicuci?" tanya mamaku sebal. "Dikit lagi Tante. Sabar ya. Iya, ini Dhuha belum sempat cuci mobil semalam, cucian mobilnya udah keburu tutup." "Ck, ya sudah, cepat, cepat!" Lima belas menit berlalu dan kami pun tiba di rumahku. Lebih tepatnya rumah mamaku. Untung saja Izzam dan adiknya masih tidur sampai aku dan Hakim membawa keduanya masuk ke kamarku yang ada di lantai dua. "Kamu di sini dulu, Aini. Jangan