"Mama ngerasa keterlaluan pada Aini gak?" tanya Dhuha setelah mobil Hakim keluar dari pekarangan rumahnya. "Tidak, yang Mama lakukan sudah benar. " Maria mengambil napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. "Yang Mama sesalkan, kenapa harus berbohong sebesar ini hanya agar kamu gak dijodohkan dengan Monic? Apa kamu merasa sudah tidak punya orang tua dan keluarga yang dimintai restu? Ridho wanita yang melahirkan kamu ini utama dalam menjalani rumah tangga, Dhuha. Kalian beda jauh. Ditambah Aini janda. Anaknya dua pula. Hhh... sudahlah, Mama mau istirahat. Kalau kamu mau pulang, silakan. Besok pagi, bawa Luna kemari karena kaki Mama masih sakit.""Opa pasti akan terkejut dengan yang Mama lakukan. Seharusnya bisa menunggu esok pagi saja. Jangan malam ini, kasihan anak-anak," ujar Dhuha tanpa ekspresi. "Kamu anak Mama, bukan anak opa. Masa depan kamu, bukan opa kamu yang tentukan. Sudah, Mama mau tidur. Besok bicara lagi. Yang jelas, status kamu sekarang duda." Dhuha tidak mau membal
Bukan Dhuha namanya, jika ia tidak penasaran dan mencari informasi langsung. Tempat tinggal Aini yang lama sengaja datangi sebelum ia pergi ke kantor. Ia ingin bertemu dengan mantan istri kontraknya itu dan meminta maaf. Apalagi mereka baru saja kemarin masih bercumbu mesra. Lebih tepatnya, dirinya yang memaksa Aini. Jika saja tidak ada urusan ranjang, mungkin akan lain cerita. Bagaimana pun, keduanya pernah merasakan sama-sama dimabuk kepayang dalam keadaan halal di ranjang panas. Tentu saja membekas. Ditambah, saat tadi pagi ia bercermin, ia baru sadar ada tanda merah di bagian dha danya. Aini yang memberikan tanda di sana. "Permisi, Bu, apa di sini ada perempuan yang bernama Aini? Ibu dan Izzam," tanya Dhuha pada seorang lelaki yang baru saja lewat dengan gerobak barang rongsokannya. Ia sengaja memakai masker dan juga topi agar tidak ada yang mengenalinya. "Siapa, Mas?""Aini. Di mana rumahnya ya?""Oh, Mbak Aini rumahnya kebanjiran waktu itu, jadi udah dibongkar. Lagian mbak Ai
"Lihat Aini, begitu banyak lelaki yang memperebutkan kamu. Gak yang ini, gak yang ono, keduanya sama-sama mabuk kepayang. Padahal kulit kita sama hitam, badan kita sama kurus, tapi.... " Santi melirik Anton yang tersenyum. "Tapi Mbak Santi anaknya satu. Aini anak dua dan perlu dibela, sedangkan Mbak Santi anaknya baru satu, Eko doang! Bapaknya juga gak tahu siapa... " Anton ikut duduk diantara Aini dan Santi. "Ish, malah buka aib! Udah, ada apa Bos kemari?" tanya Santi masih dengan intonasi kesal. "Ini kan acara cewek-cewek ngobrol. Masa kepo terus?" "Yang bawa kamu ke sini itu aku, jadi terserah aku mau kepo atau nggak.""Sudah, sudah, kenapa Bu Santi dan Bos Anton malah bertengkar? Saya sangat berterima kasih karena masih ada teman-teman yang peduli dengan saya dan anak." Aini merangkul pundak Santi sambil tersenyum hangat. "Saya gak mau memikirkan yang lain, saat ini saya mau fokus kerja dan urus anak-anak saja.""Rumah kamu tersapu banjir, Ai. Kamu mau tidur di mana? Mau kerj
"Permisi Bu Guru, saya opanya Izzam. Siswa TK A yang baru masuk. Saya mau jemput cucu saya," kata opa Fauzi pada salah satu guru yang sedang mengantarkan siswa yang sudah dijemput orang tuanya. Ya, pria paruh baya itu sengaja memberikan kejutan pada Izzam setelah tiga hari pergi keluar kota karena ada urusan kantor. "Oh, Izzam udah gak sekolah sejak kemarin, Opa. Saya telepone ibunya, tapi gak tersambung." Wajah opa Fauzi langsung kebingungan. Apa cicitnya sakit? Meski bukan cicit kandung, tapi opa suka dengan Izzam yang pintar dan penurut. "Oh, gitu, wah, saya gak tahu. Baiklah kalau gitu, Bu Guru, saya pamit." Opa masuk ke dalam mobilnya tak bersemangat. Ia menoleh ke samping, melihat box besar terbungkus kertas kado. Hadiah yang ia belikan untuk Izzam. Ia pun membelikan hadiah untuk Aini dan Intan. "Kita ke mana lagi, Tuan?" tanya Pak Ganjar yang bertugas sebagai sopir opa Fauzi. "Ke rumah Dhuha saja langsung. Saya udah kangen cicit saya." Opa Fauzi tersenyum. Membayangkan beta
Luna masih menangis di kamarnya karena menyesali perbuatannya yang berlebihan pada lelaki yang seharusnya ia hormati dan ia sayangi. Tak ada yang bisa dilakukan oleh Dhuha karena lelaki itu pun kecewa akan sikap sang Istri yang diluar kendali. Pria itu meletakkan ponselnya di atas nakas. Ia baru saja melihat video sang Istri yang mencaci dan berteriak pada opa Fauzi. "Mas, maafin aku," kata Luna sedih. "Harusnya kamu minta maaf pada opa." Dhuha menghela napas. "Aku takut, Mas. Kita jadi bagaimana? Tadi aku terlalu berlebihan pada opa karena aku gak tahu. Coba aku tahu dia opa kamu, pasti aku akan layani dengan baik, Mas.""Tapi kamu berlebihan, Sayang dan setiap ucapan yang keluar dari bibir kamu, membuat aku syok. Aku pun kecewa. Sudahlah, bereskan lagi pakaian kamu, kita balik ke apartemen!" Dhuha berdiri dari duduknya, tetapi Luna menghentikan gerakan suaminya. "Mas, kamu marah juga sama aku?" "Bedakan marah dengan kecewa. Sudah terlanjur membuat opa kesal. Kita pergi saja du
Aini keluar dari kamar dan mendapati Izzam sedang duduk melamun di kursi tamu. Ia menghampiri putranya yang tengah bersedih. Ya, Izzam sedih karena belum sekolah, padahal ia baru saja masuk sekolah TK. "Izzam, main di depan yuk!" Ajak Aini mengalihkan perhatian Izzam. Anak lelaki kecil itu menggeleng. "Gak mau, Bu." Tiba-tiba saja matanya sudah berair. "Kalau mau sekolah, harus banyak duit ya, Bu?" tanya Izzam. "Apa Izzam ngamen aja?" "Eh, kenapa Izzam bilang gitu? Bos Anton lagi cari sekolahan untuk Izzam yang dekat dari rumah kita sekarang ini. Biar gak usah naik angkot atau ojek. Yang bisa jalan kaki ke sekolah." Wajah Izzam yang sejak awal murung, kini berubah semringah. "Beneran, Bu?" tanya Izzam antusias. Aini mengangguk sambil mengusap pucuk kepala Izzam. Takkan mungkin ia biarkan anak sekecil Izzam bertarung di jalanan demi bisa sekolah. Biar ia saja yang bekerja banting tulang untuk Izzam dan Intan, meskipun bukan buah hati yang lahir dari rahimnya. "Ibu beneran, Ibu g
POV LunaIni adalah hari kesepuluh aku menikah dengan mas Dhuha, tetapi sampai detik ini, suamiku belum menyentuhku. Aku pernah menggodanya, tetapi gagal. Yang ada, ia marah dan memilih tidur di sofa ruang tamu. Kami memang pindah ke sebuah rumah untuk sementara. Rumah salah satu teman mas Dhuha yang memang dikontrakkan. Rumah mewah di komplek perumahan elit. Ada empat kamar besar di sini karena papa, mama, dan Dion ikut tinggal bersama kami. Apakah ini yang membuat mas Dhuha uring-uringan enggan menyentuhku? Apartemen yang kemarin kami tinggali, bagi Mas Dhuha sangat privasi dan ia tidak mau ada banyak orang yang wara-wiri di sana. Apalagi Dion kerap membawa temannya belajar kelompok atau sekedar main game. Padahal aku sudah menegur Dion, tapi tetap saja adikku itu membandel. Alhasil, aku yang dapat wajah masam dan sikap kesal suamiku. "Ada apa, Nak?" aku menoleh pada ibu yang menyentuh bahuku. "Gak papa, Bu." Aku tersenyum. "Ibu perhatikan, sejak tadi bengong saja. Kenapa gak j
"Maaf, Lun, jika pertanyaan gue agak pribadi." Nisa terlihat tak nyaman. "Pertanyaan apa? Lu mah, kayak sama orang lain aja. Santai dong!" Nisa tertawa pelan. "Lu masih virgin atau udah.... "Aku tertawa "Mungkin kalau gue bilang, gue masih virgin. Lo pasti gak percaya, tapi kenyataannya gitu. Gue masih orisinal. Pernah punya cowok bule dua kali, tapi gue nolak saat mereka ngajak bercinta. Bukannya apa, gue belum benar-benar falling in love aja. Beda kalau Dhuha yang ajak, mungkin gue mau ha ha ha.... ""Wah, keren, lu! Ya udah, pas banget kalau lu ngasih mahkota lu sama Dhuha. Dia pasti makin cinta sama lo!"Aku mampir di apotek untuk membeli obat yang disebutkan Nisa. Maklum saja, Nisa memang awalnya perawat di rumah sakit swasta, tetapi saat suaminya memboyongnya ke Surabaya, Nisa berhenti bekerja dan mendedikasikan hidupnya untuk keluarganya. Aku percaya obat yang diresepkan olehnya adalah obat mujarab. Iseng-iseng aku pernah kasih di minuman suamiku, malah besoknya aku gak bi
Pagi-pagi sekali, bik Emi sudah sampai di apartemen Dhuha dengan membawa bahan masakan. Semalam Dhuha mengirimkan pesan pada wanita itu agar bisa datang lebih pagi dan membawa bahan masakan. Wanita itu sudah sibuk di dapur, sambil terus melihat ke arah ruang tengah, dimana bosnya sedang tidur pulas. Mendengar suara sedikit berisik di dapur, Dhuha terbangun. "Oh, udah datang, Bik," sapanya. "Sudah, Pak. Bapak tidur di luar? Lagi ada tamu ya?" Dhuha mengangguk "Iya, ada mama dan saudara saya. Makanya kamu semalam saya suruh datang cepat untuk masak. Biar Aini gak usah masak.""Baik, Pak, saya masak kwetiau kuah seafood, nasi goreng, dan ada jus buah. Apa itu cukup, Pak?""Cukup, Bik. Lanjutkan saja pekerjaan kamu." Dhuha berjalan masuk ke kamar mandi yang berada di luar. Ia tidak mau menganggu tidur mamanya dan juga Monic. Suara gemericik air dari wastafel dan aroma tumisan bawang putih memenuhi dapur apartemen Dhuha. Bik Emi sibuk mengaduk wajan sambil memotong sayuran di sampingn
Tok! Tok! Anton menoleh ke arah pintu kamar yang diketuk dua kali. Siapa lagi kalau bukan Luna. Pria itu menekan layar ponselnya untuk melihat jam. Sudah jam dua belas malam. Di luar hujan dan saat ini baru saja mati lampu. "Anton." Pria itu menghela napas. "Kenapa?""Maaf, apa kamu punya lilin lagi? Lilin di kamar udah mau habis." Anton melirik lilin yang ada di lantai kamar yang juga tinggal kurang lebih lima senti saja. Pria itu akhirnya membuka pintu kamar. "Di dapur gak ada?" Luna menggelengkan kepala. "Ya sudah, tunggu sebentar." Anton berjalan ke dapur, sedangkan Luna masuk ke kamar yang dulu pernah ia tiduri selama empat tahun lamanya. Kamarnya masih sama, ranjangnya juga. Ia bisa melihat keadaan kamar itu dari temaram cahaya lilin. Lalu ia melihat ke arah dinding yang biasanya ada foto pernikahannya, tetapi kini sudah tidak ada. Foto pernikahan di mana posenya seperti singa yang hendak menerkam mangsa. Beda dengan Anton yang tersenyum. "Ngapain kamu di sini?" tanya Anto
"Jadi, lo berangkat malam ini ke Surabaya?" Dhuha mengaduk latte-nya dengan malas, matanya mengamati Hakim yang tampak sibuk memeriksa pesan di ponselnya. Kedua sepupu itu ketemu di sebuah kafe dekat dengan kantor Hakim. "Iya, gue udah pesen tiket tadi pagi," jawab Hakim tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel. "Resepsi pernikahannya Kinanti kan besok pagi. Gue nggak mungkin datang telat. Mama, papa, sama Amel udah di sana dari jumat karena menyaksikan aksi nikah. Lo beneran gak datang?" "Kayaknya bakal rame, ya. Semua keluarga ngumpul," Dhuha menyesap minumannya."Iya, kalau lagi ada momen nikahan, emang selalu kumpul kan. Mami Maria juga gak datang kayaknya karena masih belum pulih ya?" tanya Hakim. Dhuha pun mengangguk. Ia yang melarang mamanya terbang ke Surabaya karena kondisi kesehatan. "Gue udah transfer langsung ke Kinanti. Dari gue sama mama. Mungkin kalau mama udah enakan, baru ke sana." Hakim pun mengangguk mafhum. "By the way, gimana kabar Amel? Udah lama gue n
“Amel, kamu yakin nggak mau mencoba mengenal Levi lebih jauh?” suara Viona terdengar lembut, tapi tetap mendesak.Amel menatap ibunya dengan alis bertaut. Ia baru saja turun ke ruang makan untuk sarapan, tapi Viona sudah memulai lagi topik yang sama. “Ma, aku sudah bilang, aku masih sama Anton. Aku nggak tertarik untuk mengenal siapa pun lagi. Mama tahu kan, aku perempuan yang jarang sekali pacaran dan baru kali ini aku senang sama lelaki dewasa yang bertanggung jawab."Viona menghela napas panjang, menahan diri agar tidak meledak. Fahri yang duduk di sebelahnya ikut menimpali. “Amel, kami hanya ingin yang terbaik buat kamu. Anton itu... ya, kamu tahu sendiri, dia punya banyak masalah. Dia duda dengan satu anak. Kami nggak yakin dia bisa membuatmu bahagia. Apalagi dia duda bercerai, bukan ditinggal meninggal istrinya. Mama dan papa harap, kamu mau memikirkan perkenalan dengan Levi. Just friends, girl!"“Papa, Mama, aku tahu kalian nggak setuju sama hubungan kami,” jawab Amel, suaranya
“Mas, Luna masih di sana?” suara Amel terdengar di ujung telepon, nadanya penuh kehati-hatian namun sarat kecurigaan.Anton menghela napas panjang sebelum menjawab, “Iya, Sayang. Luna masih di sini. Tapi, percayalah, dia cuma di sini sampai urusan perceraian kami selesai.”“Tapi kenapa dia harus tinggal di rumahmu? Bukankah itu bisa diselesaikan tanpa harus tinggal bersama?” suara Amel sedikit bergetar. “Aku ini cemburu, Mas. Aku nggak bisa bohong soal itu. Aku takut kalau kalian berdua jadi rujuk. Apalagi, aku harus di Surabaya sampai tiga hari. Ck, ingin banget aku buru-buru pulang, tapi gak bisa. Acara nikahan sodaraku rumit."“Amel, dengarkan aku.” Anton menekankan suaranya, mencoba meyakinkan Amel. “Aku dan Luna sudah selesai. Tidak ada lagi apa-apa di antara kami selain tanggung jawab sebagai orang tua untuk Aris. Dia hanya di sini demi anak kami. Aku mohon, percayalah padaku. Kamu masih gak percaya sama aku?"Namun, jawaban itu tidak sepenuhnya membuat hati Amel tenang. Ia ter
“Luna, kamu sebaiknya pergi dari sini,” ujar Anton dengan nada tegas, meski suaranya terdengar lelah. Ia berdiri di ruang tamu, menatap Luna yang sedang menyapu lantai dengan gerakan santai, seolah-olah dia adalah pemilik sah rumah itu. Dan memang saat ini statusnya masih istri Anton, tentu saja tak ada masalah dengan kegiatannya membereskan rumah. “Aku tidak akan pergi, Mas,” jawab Luna tanpa menoleh, tetap melanjutkan pekerjaannya. “Aku istrimu, dan sampai pengadilan memutuskan sebaliknya, aku akan tetap di sini.”Tumben sekali panggil, Mas! Apa dia kesambet? Batin Anton. “Kita sedang dalam proses perceraian,” balas Anton, suaranya meninggi. “Kamu tahu itu. Apa yang kamu harapkan dengan tinggal di sini? Rumah tangga ini gak ada harapan. Sejak awal rumah tangga ini berdiri tanpa cinta."Luna berhenti menyapu. Dia menatap Anton dengan mata yang tenang, seolah kata-kata pria itu tidak ada artinya. “Aku tidak di sini untuk cinta, Mas. Aku di sini untuk Aris. Untuk rumah ini. Dan untuk
"Jika kamu mau bicara, bicara padaku, bukan dengan Aini. Jika tidak, sebaiknya kamu pergi! Ini unitku dan aku bisa mengusirmu kapan saja!" Alex menahan diri agar tidak emosi di depan Dhuha. Ia tahu jika ia melawan maka ia akan diusir dari apartemen. Apalagi dua security yang menemani Dhuha sudah siap sedia untuk menyeretnya. Bisa dilihat dari tatapan dua pria bertubuh tinggi besar itu. "Jika mau, kita bicara di kafe di bawah. Sebagai lelaki, bagaimana?" tawar Dhuha. Alex tidak menyahut, tapi pria itu pun pergi masuk ke dalam lift. Dhuha mengikuti dari belakang. Kini keduanya sudah duduk di kafe yang berada di lantai satu apartemen. "Lo udah sarapan? Mau pesan makan?" Alex tak menjawab. “Dhuha,” suara Alex terdengar serak, berusaha menahan gejolak di dadanya. Mereka berdua duduk di beranda rumah Dhuha, malam yang sunyi hanya ditemani suara alunan khas musik kafe pagi hari. “Aku ingin kamu jawab jujur satu hal.”Dhuha menatap Alex, ekspresinya datar namun matanya tajam. “Tanya saja,
Ruang televisi yang tadinya dipenuhi suara tawa dari film komedi romantis kini senyap, hanya menyisakan desahan napas tertahan dari dua insan yang saling berpandangan. Dhuha masih duduk di sofa, matanya membulat, sementara Aini berdiri terburu-buru. Wajahnya memerah hingga ke telinga. Ia tidak menunggu lama untuk berlari masuk ke kamarnya, meninggalkan Dhuha yang masih membeku di tempat. Detak jantungnya masih tak beraturan. Di kamar, Aini menjatuhkan dirinya ke ranjang. Jantungnya berdetak terlalu cepat, tangannya gemetar saat menyentuh bibirnya sendiri. "Apa yang aku lakukan?!" bisiknya. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya, berharap rasa malu itu bisa mereda. Tapi semakin ia mengingat kejadian tadi, semakin panas wajahnya."Kenapa aku nekat cium Dhuha? Ya ampun, malunya!"Ia telah mencium Dhuha. Bukan kecupan iseng, melainkan ciuman yang terasa nyata, penuh emosi. Dan yang membuatnya semakin sulit menerima adalah kenyataan bahwa ia yang memulai. Ia yang duduk di pangkuan Dhuha,
Telepon genggam Aini kembali berdering dan kali ini tak kunjung berhenti. Alex menghentikan gerakan mencium Aini dengan membabi-buta. "Sialan!" Alex mengumpat kesal. Tok! Tok! Suara pintu apartemen digedor dengan keras. Wajah Alex berubah tegang. Dia melepaskan cengkeramannya pada Aini, lalu melangkah mundur."Aini, aku tahu kamu di dalam. Kalau kamu nggak buka, aku dobrak pintunya!" seru Hakim lagi.Bugh! Disaat Alex lengah, Aini berhasil mendorong suaminya itu hingga jatuh duduk. Lalu Aini mengumpulkan keberanian untuk berlari ke pintu dan membukanya. Begitu pintu terbuka, Hakim langsung masuk dan melihat Alex yang berdiri di tengah ruangan dengan wajah marah. Melihat pakaian Aini kocar-kacir, Hakim langsung mengambil taplak meja berbahan kain, lalu ia berikan pada Aini sambil memalingkan wajahnya. "Kamu lagi?!" Hakim mendengus, berjalan mendekati Alex. "Nggak cukup kemarin kamu bikin masalah?""Ini bukan urusanmu, Hakim," balas Alex dengan nada dingin."Tapi ini urusan sepupu