"Kamu kira aku beneran? Ya, gaklah! Sudah, kita dari tadi bicara terus, kapan makannya. Ayo, makan semua hidangan ini, mumpung aku baik." Aini menghela napas. Ia sudah benar-benar takut Dhuha menginginkan malam pertama dengannya, sedangkan dia... Lebih baik jangan. Batin Aini. "Mas Dhuha hobi sekali bikin jantung saya deg-degan. Untung cuma akting. Kalau beneran, pakai apa saya harus gosok daki di badan saya ini he he he ... "Keduanya pun Sama-sama tertawa. Selesai makan, keduanya berjalan-jalan menyusuri pantai. Dhuha yang membawa kamera, mengambil beberapa spot foto yang estetik untuk album fotografi kegemarannya. Ya, Dhuha sedang fotografi dan memiliki beberapa kamera canggih. Sekedar hobi, tetapi terkadang menghasilkan juga untuknya, jika hasil jepretan kecenya, ia kirim ke majalah atau sedang ikut kompetisi. "Mas, saya difoto ya. Buat kenang-kenangan," seru Aini semangat. "Oke, ambil gaya yang benar! Jangan manyun saja. Smile!" Aini pun tersenyum malu-malu. Ada beberapa gay
"Kenapa, Bos, lesu banget udah hampir dua mingguan ini? Perasaan lapak penuh terus," tanya Zaki pada Anton. Duda tanpa anak pemilik gudang pengepul barang-barang rongsokan yang sejak tadi menatap kosong pemandangan di depannya. Anton hanya menghela napas. Rokok yang ada di tangannya, ia buang ke tanah. Lalu ia injak dengan kuat. Seolah-olah rasa kesalnya sudah tidak tertahankan lagi. Zaki adalah asisten dari Anton yang selalu disuruh memantau lokasi dan para pemulung agar bekerja dengan baik dan menjaga agar pemulung di wilayahnya, berbentrokan dengan pemulung wilayah lain. "Bos! Dih, diem aja! Kenapa? Apa karena Mbak Aini gak ke sini lagi ya? Mbak Aini pindah gak bilang-bilang Bos ya? Dengar-dengar, udah nikah sama anak orang kaya loh. Bos udah tahu belom?""Eh, dapat info dari siapa Lu?" Anton begitu terkejut mendengar informasi yang baru saja keluar dari mulut Zaki. "Ibunya Eko-lah. Tadi saya kebetulan ketemu di warung dekat kuburan Yasin. Ibunya Eko cerita. Rumah Mbak Aini jug
PoV DhuhaAku begitu terkejut saat mendengar penuturan Aini yang mengatakan bahwa ia tidak apa dimadu. Ia ikhlas dan menerima jika aku menikahi wanita yang aku cintai. Tentu saja bagiku, ini bagaikan air segar di tengah gurun pasir. Mbak Aini ternyata setulus dan sebijak ini mengerti masalah yang saat ini kami jalani. Dia benar-benar tidak egois dan memanfaat kebaikan serta rasa ibaku.Aku memang ada niatan untuk membina hubungan serius kembali dengan Luna, tapi aku juga gak mau terburu-buru. Kring! KringAku tersentak saat ponselku berdering. Nomor yang tidak aku kenali menghubungiku. Aku abaikan saja. Namun, kali ini kontak Luna yang memanggil. "Halo, Cantik.""Mas, kenapa gak angkat nomor papa?""Eh, papa? Ada apa papa telepon? Aku gak tahu karena belum simpan nomor papa. Ya udah, aku telepon balik ya. Tunggu!" Tanpa menunggu lagi, aku pun menelepon kontak yang tadi. Jantung ini rasanya deh degan juga karena bertanya-tanya ada keperluan apa papanya Luna mencariku? "Halo, Om."
Aini tersenyum di depan cermin sambil merapikan rambutnya. Wajahnya sudah tidak lagi kusam, meskipun kulitnya masih sangat coklat. Aku bersyukur karena Aini ternyata wanita yang tidak banyak drama dan sangat bisa diajak kerja sama. Mungkin ini alasan kenapa Tuhan mempertemukan aku dan Aini malam itu. Jika saja aku menyetujui dijodohkan dengan Monik, maka aku takkan pernah berada di dekat Luna seperti mimpiku yang tidak akan lama lagi terwujud. Pagi ini, jam sembilan, kami akan bertemu dengan Luna dan juga papa dari Luna. Aku sengaja memilih pagi hari karena udara di luar masih bersahabat. Siang sampai sore, aku dan Luna berencana berkeliling di sekitar sini. "Mas, ayo, nanti kita terlambat," ujar Aini yang membuyarkan lamunanku. "Oh, iya, ini sudah jam sembilan tepat." Aku melihat jam di tangan. Aku segera beranjak dari sofa, berjalan lebih dahulu untuk membuka pintu. Aini berjalan di belakangku seperti biasa. Kami berpapasan dengan bule lelaki dan wanita. Aini tersenyum begitu ra
"Saya bosan di kamar terus, Mas. Pengen keliling sekitar sini saja. Cuma sebentar," jawab Aini dengan suara setengah memohon. Aku tetap menggeleng. "Sorry, Sir, she is my wife." "Oh, yes, you should be near your wife." "Of course."Aku langsung menarik tangan Aini agar segera berbalik ke arah kamar kami. "Kamu tahu kan, Mbak, kenapa kita bisa berakhir di sini? Karena orang jahat sama kamu dan Intan. Sekarang kamu mau keluar sendirian lagi. Di sini banyak orang asing dan kamu.... ""Mas Dhuha!" Suara Luna membuatku sontak menoleh ke arah kanan. Wajah Luna cemberut dan aku sudah siap jika harus menerima sikap kesalnya. "Katanya mau ke kamar mandi, rupanya sama mbak Aini. Aku nunggu lama di depan loh!" Luna melipat kedua tangannya di dada. "Ini, Aini keliling sama bule. Nanti kalau dijahatin orang gimana? Ya aku suruh ke kamar aja! Kamu jangan cemburu, Cantik. Aini sudah menjadi bagian dari kehidupan yang aku jalani saat ini. Ketika mau siap dengan konsekuensi itu, maka kamu gak b
"Besok saya akan menikahi Luna. Mbak Aini gak papa?" tanyaku sambil menoleh ke samping. Kami berbaring di ranjang yang sama malam ini, sambil menatap langit kamar. Sebenarnya mbak Aini sudah menutup mata, tapi aku tahu, ia belum tidur. "Gak papa, Mas. Santai saja." Wanita itu masih menutup mata. "Kalau nanti saya lebih fokus ke Luna, Mbak juga aman kan?" tanyaku lagi. Aini mengangguk yakin. "Gak papa, Mas, saya baik-baik saja. Justru saya akan merasa bersalah jika menghalangi cinta Mas Dhuha dengan mbak Luna. Di jaman sekarang, cinta itu adalah kata yang mudah diucapkan, tapi prakteknya tidak. Mas Dhuha membuktikan bahwa cinta itu tulus dan masih ada untuk mbak Luna, meskipun kalian sudah lama tidak berjumpa. Mas tipe yang setia kalau gitu, he he he.... " Aini tertawa, kali ini ia membuka mata dan ikut menoleh ke kanan, ke arahku. "Iya, saya susah move on. Lalu Mbak Aini sendiri gimana? Maksudnya dengan ayah anak-anak." Wanita itu hanya tersenyum saja. "Jika diingat, maka saya ak
Suara hujan di luar seharusnya membuat suasana sahdu bagiku dan juga Luna, tapi nyatanya, aku melewati malam panas ini bersama Aini. Istri pertamaku. "Mbak, s-saya gak tahu kenapa tadi tubuh saya rasanya panas. Jadi, Luna memberikan minuman alkohol. Terus saya minum... terus.... ""Terus ke sini?" sela Aini kemudian tersenyum tipis. "Iya." Aku tidak tahu mau jawab apa. Aku hanya bisa duduk bersandar di kepala ranjang dengan sebagian tubuh yang ditutupi selimut. Rasanya sangat malu sekali dengan Aini. Mati-matian aku menghindar agar tidak menyentuhnya sama sekali, satu jam yang lalu, malah aku kayak orang kesurupan meminta hakku padanya. Sekarang aku bahkan tidak berani menoleh ke kiri. Aini juga sama-sama duduk di sebelahku. "Aw!""Kenapa?" tanyaku kaget. "S-sakit, Mas," katanya sambil menggigit bibir. "Mau ke kamar mandi?" tanyaku ragu. "Iya, mau bersih-bersih. Jadi, kalau nanti mau siaran ulang yang tadi, udah bersih he he he.... ""Dih, siapa yang mau lagi? Udah, ayo, aku ba
"Mbak, kamu utang penjelasan tentang ini. Kenapa bisa? Lalu Intan dan Izzam itu siapa kalau kamu perawan." Aku menahan lengan Aini saat wanita itu hendak keluar dari kamar mandi dengan kepayahan. Aku yang tidak tega, akhirnya menggendong Aini sampai di ranjang. Aku mendudukkan istriku itu di pinggir ranjang. "Aku ambilkan dulu bajunya!" Segera aku buka lemari pakaian dan mengambil satu stel baju santai untuk Aini, berikut pakaian dalamnya juga. "Mas, saya janji akan cerita, tapi Mas harus pergi ke kamar mbak Luna. Mbak Luna pasti marah banget sama saya ini. Saya takut, Mas," ujar Aini dengan suara bergetar. Sial, aku malah benar-benar seharusnya aku malam pertama dengan Luna! "Oke, tapi setelah urusanku dengan Luna selesai, kamu harus jujur, Mbak. Paham!" Aini mengangguk. Aku mendekat, lalu mencium rambutnya dengan cepat. "Maafin yang semalam dan yang tadi," ucapku pelan tak berani menatap wajah istri tuaku itu. Aku melangkah cepat ke kamar Luna sambil memikirkan alasan apa yang
Pagi-pagi sekali, bik Emi sudah sampai di apartemen Dhuha dengan membawa bahan masakan. Semalam Dhuha mengirimkan pesan pada wanita itu agar bisa datang lebih pagi dan membawa bahan masakan. Wanita itu sudah sibuk di dapur, sambil terus melihat ke arah ruang tengah, dimana bosnya sedang tidur pulas. Mendengar suara sedikit berisik di dapur, Dhuha terbangun. "Oh, udah datang, Bik," sapanya. "Sudah, Pak. Bapak tidur di luar? Lagi ada tamu ya?" Dhuha mengangguk "Iya, ada mama dan saudara saya. Makanya kamu semalam saya suruh datang cepat untuk masak. Biar Aini gak usah masak.""Baik, Pak, saya masak kwetiau kuah seafood, nasi goreng, dan ada jus buah. Apa itu cukup, Pak?""Cukup, Bik. Lanjutkan saja pekerjaan kamu." Dhuha berjalan masuk ke kamar mandi yang berada di luar. Ia tidak mau menganggu tidur mamanya dan juga Monic. Suara gemericik air dari wastafel dan aroma tumisan bawang putih memenuhi dapur apartemen Dhuha. Bik Emi sibuk mengaduk wajan sambil memotong sayuran di sampingn
Tok! Tok! Anton menoleh ke arah pintu kamar yang diketuk dua kali. Siapa lagi kalau bukan Luna. Pria itu menekan layar ponselnya untuk melihat jam. Sudah jam dua belas malam. Di luar hujan dan saat ini baru saja mati lampu. "Anton." Pria itu menghela napas. "Kenapa?""Maaf, apa kamu punya lilin lagi? Lilin di kamar udah mau habis." Anton melirik lilin yang ada di lantai kamar yang juga tinggal kurang lebih lima senti saja. Pria itu akhirnya membuka pintu kamar. "Di dapur gak ada?" Luna menggelengkan kepala. "Ya sudah, tunggu sebentar." Anton berjalan ke dapur, sedangkan Luna masuk ke kamar yang dulu pernah ia tiduri selama empat tahun lamanya. Kamarnya masih sama, ranjangnya juga. Ia bisa melihat keadaan kamar itu dari temaram cahaya lilin. Lalu ia melihat ke arah dinding yang biasanya ada foto pernikahannya, tetapi kini sudah tidak ada. Foto pernikahan di mana posenya seperti singa yang hendak menerkam mangsa. Beda dengan Anton yang tersenyum. "Ngapain kamu di sini?" tanya Anto
"Jadi, lo berangkat malam ini ke Surabaya?" Dhuha mengaduk latte-nya dengan malas, matanya mengamati Hakim yang tampak sibuk memeriksa pesan di ponselnya. Kedua sepupu itu ketemu di sebuah kafe dekat dengan kantor Hakim. "Iya, gue udah pesen tiket tadi pagi," jawab Hakim tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel. "Resepsi pernikahannya Kinanti kan besok pagi. Gue nggak mungkin datang telat. Mama, papa, sama Amel udah di sana dari jumat karena menyaksikan aksi nikah. Lo beneran gak datang?" "Kayaknya bakal rame, ya. Semua keluarga ngumpul," Dhuha menyesap minumannya."Iya, kalau lagi ada momen nikahan, emang selalu kumpul kan. Mami Maria juga gak datang kayaknya karena masih belum pulih ya?" tanya Hakim. Dhuha pun mengangguk. Ia yang melarang mamanya terbang ke Surabaya karena kondisi kesehatan. "Gue udah transfer langsung ke Kinanti. Dari gue sama mama. Mungkin kalau mama udah enakan, baru ke sana." Hakim pun mengangguk mafhum. "By the way, gimana kabar Amel? Udah lama gue n
“Amel, kamu yakin nggak mau mencoba mengenal Levi lebih jauh?” suara Viona terdengar lembut, tapi tetap mendesak.Amel menatap ibunya dengan alis bertaut. Ia baru saja turun ke ruang makan untuk sarapan, tapi Viona sudah memulai lagi topik yang sama. “Ma, aku sudah bilang, aku masih sama Anton. Aku nggak tertarik untuk mengenal siapa pun lagi. Mama tahu kan, aku perempuan yang jarang sekali pacaran dan baru kali ini aku senang sama lelaki dewasa yang bertanggung jawab."Viona menghela napas panjang, menahan diri agar tidak meledak. Fahri yang duduk di sebelahnya ikut menimpali. “Amel, kami hanya ingin yang terbaik buat kamu. Anton itu... ya, kamu tahu sendiri, dia punya banyak masalah. Dia duda dengan satu anak. Kami nggak yakin dia bisa membuatmu bahagia. Apalagi dia duda bercerai, bukan ditinggal meninggal istrinya. Mama dan papa harap, kamu mau memikirkan perkenalan dengan Levi. Just friends, girl!"“Papa, Mama, aku tahu kalian nggak setuju sama hubungan kami,” jawab Amel, suaranya
“Mas, Luna masih di sana?” suara Amel terdengar di ujung telepon, nadanya penuh kehati-hatian namun sarat kecurigaan.Anton menghela napas panjang sebelum menjawab, “Iya, Sayang. Luna masih di sini. Tapi, percayalah, dia cuma di sini sampai urusan perceraian kami selesai.”“Tapi kenapa dia harus tinggal di rumahmu? Bukankah itu bisa diselesaikan tanpa harus tinggal bersama?” suara Amel sedikit bergetar. “Aku ini cemburu, Mas. Aku nggak bisa bohong soal itu. Aku takut kalau kalian berdua jadi rujuk. Apalagi, aku harus di Surabaya sampai tiga hari. Ck, ingin banget aku buru-buru pulang, tapi gak bisa. Acara nikahan sodaraku rumit."“Amel, dengarkan aku.” Anton menekankan suaranya, mencoba meyakinkan Amel. “Aku dan Luna sudah selesai. Tidak ada lagi apa-apa di antara kami selain tanggung jawab sebagai orang tua untuk Aris. Dia hanya di sini demi anak kami. Aku mohon, percayalah padaku. Kamu masih gak percaya sama aku?"Namun, jawaban itu tidak sepenuhnya membuat hati Amel tenang. Ia ter
“Luna, kamu sebaiknya pergi dari sini,” ujar Anton dengan nada tegas, meski suaranya terdengar lelah. Ia berdiri di ruang tamu, menatap Luna yang sedang menyapu lantai dengan gerakan santai, seolah-olah dia adalah pemilik sah rumah itu. Dan memang saat ini statusnya masih istri Anton, tentu saja tak ada masalah dengan kegiatannya membereskan rumah. “Aku tidak akan pergi, Mas,” jawab Luna tanpa menoleh, tetap melanjutkan pekerjaannya. “Aku istrimu, dan sampai pengadilan memutuskan sebaliknya, aku akan tetap di sini.”Tumben sekali panggil, Mas! Apa dia kesambet? Batin Anton. “Kita sedang dalam proses perceraian,” balas Anton, suaranya meninggi. “Kamu tahu itu. Apa yang kamu harapkan dengan tinggal di sini? Rumah tangga ini gak ada harapan. Sejak awal rumah tangga ini berdiri tanpa cinta."Luna berhenti menyapu. Dia menatap Anton dengan mata yang tenang, seolah kata-kata pria itu tidak ada artinya. “Aku tidak di sini untuk cinta, Mas. Aku di sini untuk Aris. Untuk rumah ini. Dan untuk
"Jika kamu mau bicara, bicara padaku, bukan dengan Aini. Jika tidak, sebaiknya kamu pergi! Ini unitku dan aku bisa mengusirmu kapan saja!" Alex menahan diri agar tidak emosi di depan Dhuha. Ia tahu jika ia melawan maka ia akan diusir dari apartemen. Apalagi dua security yang menemani Dhuha sudah siap sedia untuk menyeretnya. Bisa dilihat dari tatapan dua pria bertubuh tinggi besar itu. "Jika mau, kita bicara di kafe di bawah. Sebagai lelaki, bagaimana?" tawar Dhuha. Alex tidak menyahut, tapi pria itu pun pergi masuk ke dalam lift. Dhuha mengikuti dari belakang. Kini keduanya sudah duduk di kafe yang berada di lantai satu apartemen. "Lo udah sarapan? Mau pesan makan?" Alex tak menjawab. “Dhuha,” suara Alex terdengar serak, berusaha menahan gejolak di dadanya. Mereka berdua duduk di beranda rumah Dhuha, malam yang sunyi hanya ditemani suara alunan khas musik kafe pagi hari. “Aku ingin kamu jawab jujur satu hal.”Dhuha menatap Alex, ekspresinya datar namun matanya tajam. “Tanya saja,
Ruang televisi yang tadinya dipenuhi suara tawa dari film komedi romantis kini senyap, hanya menyisakan desahan napas tertahan dari dua insan yang saling berpandangan. Dhuha masih duduk di sofa, matanya membulat, sementara Aini berdiri terburu-buru. Wajahnya memerah hingga ke telinga. Ia tidak menunggu lama untuk berlari masuk ke kamarnya, meninggalkan Dhuha yang masih membeku di tempat. Detak jantungnya masih tak beraturan. Di kamar, Aini menjatuhkan dirinya ke ranjang. Jantungnya berdetak terlalu cepat, tangannya gemetar saat menyentuh bibirnya sendiri. "Apa yang aku lakukan?!" bisiknya. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya, berharap rasa malu itu bisa mereda. Tapi semakin ia mengingat kejadian tadi, semakin panas wajahnya."Kenapa aku nekat cium Dhuha? Ya ampun, malunya!"Ia telah mencium Dhuha. Bukan kecupan iseng, melainkan ciuman yang terasa nyata, penuh emosi. Dan yang membuatnya semakin sulit menerima adalah kenyataan bahwa ia yang memulai. Ia yang duduk di pangkuan Dhuha,
Telepon genggam Aini kembali berdering dan kali ini tak kunjung berhenti. Alex menghentikan gerakan mencium Aini dengan membabi-buta. "Sialan!" Alex mengumpat kesal. Tok! Tok! Suara pintu apartemen digedor dengan keras. Wajah Alex berubah tegang. Dia melepaskan cengkeramannya pada Aini, lalu melangkah mundur."Aini, aku tahu kamu di dalam. Kalau kamu nggak buka, aku dobrak pintunya!" seru Hakim lagi.Bugh! Disaat Alex lengah, Aini berhasil mendorong suaminya itu hingga jatuh duduk. Lalu Aini mengumpulkan keberanian untuk berlari ke pintu dan membukanya. Begitu pintu terbuka, Hakim langsung masuk dan melihat Alex yang berdiri di tengah ruangan dengan wajah marah. Melihat pakaian Aini kocar-kacir, Hakim langsung mengambil taplak meja berbahan kain, lalu ia berikan pada Aini sambil memalingkan wajahnya. "Kamu lagi?!" Hakim mendengus, berjalan mendekati Alex. "Nggak cukup kemarin kamu bikin masalah?""Ini bukan urusanmu, Hakim," balas Alex dengan nada dingin."Tapi ini urusan sepupu