Hana masih bersikeras melupakan ingatannya saat matanya tak sengaja menatap ke sudut ruangan. Di depan sana, dua jam yang lalu ia menjamu Cindy. Obrolan yang terasa menarik Hana kembali pulang ke tempat yang sudah susah payah ia berusaha lupakan.
“Aku minta maaf ya, Han. Jujur setelah semua yang terjadi sama kamu, aku nggak tega ngomong ini sebenarnya.”
Suaranya masih bisa Hana dengar. Degup jantung dan emosinya masih terasa di dada Hana. Bagi Hana, Cindy adalah temen baik terakhir yang ia pertahankan. Itu pun juga karena Cindy tak sengaja berwisata di Pulau Tri dan tak sengaja juga bertemu dengan Hana.
Dua sahabat lama yang sudah lama tidak bertemu akhirnya duduk satu meja. Satu frekuen
Pagi yang damai di rumah Pak Hartono mendadak jadi tegang sejak kedatangannya. Angin yang bertiup menggugurkan bunga mangga di halaman depan seakan memperintim hawa perang di antara tiga orang yang membeku di depan pintu. “Maaf karena saya datang nggak bilang-bilang dulu.” Seluruh kalimat yang suidah Pak Robert susun rapi di dalam kepala mendadak rubuh. Tak ada satu kata pun yang bisa ia pungut dari sana kecuali kata maaf. Bukan suasana ini yang sebelumnya ia bayangkan. Kaku, nyaris Bu Febri tak bergerak sedikit pun. “A-Ad… A….” Tergagap mulut Bu Febri bicara. Lidahnya terpintal, tenggorokannya mendadak kering, kedua lututnya mendadak lumpuh. Kalau bukan karena
Sampai kram rasanya kepala Hana berusaha melupakan kejadian yang sudah seminggu lewat. Masalahnya, ia masih ada di tempat yang sama, masih jadi pegawai Coffeshop di pulau yang sama. Sempat terbesit keinginan di dalam hati Hana untuk pindah kerja. Tapi alasan yang ia punya sungguh amat konyol. Hana pasti tak akan berhenti menertawan dirinya sendiri kalau sampai ia beneran pindah kerja hanya gara-gara kenangan teakhirnya bersama Cindy. Hana mulai belajar memahami kalau memang beberapa tempat menyimpan luka. Ia tidak bisa kabur lari menhindar terus-terusan. “Tapi Arghhhhhh….. kenapa sih lo pake datang segala!!!” Hana sampai kelepasan mengumpat. Rosi yang sudah mengg
“Tidak-tidak-tidak…. Bukan ini yang harusnya aku lakukan….” Hati Hana memberontak. “Tidak… Tidak bisa….” Sesak rasanya kalau ingat bagaimana ibunya ikut menyeret tubuh Hana keluar dari apartemen Pak Robert yang berubah jadi medan perang dalam sekedip mata. “Tidak-tidak… a-akuu… aku nggak mau.” Hana tahu otaknya lah yang bersikeras menghampiri ibunya. Ia seharusnya lari. Lari sejauh mungkin menyelamatkan hatinya agar tidak terluka lagi. Hana sudah berbulan-bulan lamanya kabur dan terbukti hatinya jauh lebih lega sekarang Tidak ada lagi malam-malam mencekam di kamar yang kelam. Tak ada lagi kisah menyedihkan itu. Tidak ada luka baru di tubuhnya yang sengaja Hana buat untuk menyaingi lara di hatiny
“Ibu tau kan?” Bak papan pintu yang sudah lama tak diolesi oli, lehernya terasa kaku menoleh. Dua pasang bola mata biru bertemu di ruangan sunyi. Ruang yang sebenarnya sudah ada jauh sebelum Hana bisa membuka mata. Mulai detik ini, suara mereka sama-sama bersumber dari lubuk hati yang terdalam. “Aku tahu apa yang terhadi, Han.” Sejenak Bu Febri menelan ludah. Rasa kaku masih ada, masih di leher tapi dari dalam kerongkongan. Dirinya seperti tidak lagi kenal dengan lawan bicaranya. Hana terasa begitu jauh dan tak tergapai.“Sejak kerja, kamu mulai tertutup sama ibu. Ibu tahu apa yang terjadi. Tapi ibu benar-benar nggak tahu apa yang kamu rasakan. Bu-bukan…&r
Hana membuka kalimat pertamanya dengan satu tarikan napas panjang. Kabut yang menyesakkan dadanya pelan-pelan menyingkir. Hana tahu, bicara soal Pak Robert taka akan bisa melewatkan bagian ibunya yang sakit parah waktu itu. Hana tak mau ibunya merasa bersalah. Tapi di satu sisi, ibunya Hana harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Hana tak punya pilihan lain, Bu.” Matanya mengawang jauh. Ada wajah ibunya yang tampak tersenyum mafhum. Ada langit-langit petak kosnya yang terlihat lebih muram dari biasanya. “Kalau saja Hana punya pilihan lain. Hana pasti tidak akan dekat-dekat dengan dia.” Raut muka ibunya menegang. Rahangnya mengeras seolah menggambarkan betapa besar penyesalan
Setengah hari satu malam waktu terlewat. Bu Febri telah sampai kenyataan mau sebanyak apa waktu yang ia punya tak akan cukup. Ia tak akan berhasil membawa Hana pulang. Bukan karena usahanya membujuk Hana kurang. Bukan karena air mata yang jatuh masih kurang banyak. Hana sudah memberikan syarat padanya. Gadis itu berjanji mau pulang kembali ke rumah di Jakarta bersama-sama mereka setelah satu syaratnya terpenuhi. “Ibu hati-hati ya sampai di Jakarta,” bisik Hana di pintu terakhir dermaga tempat pengantar dan penumpang kapal penyeberangan harus berpisah. Dalam dekapa putrinya, susah payah Bu Febri menahan air mata. Hangat tubuh Hana. Aroma shampo yang masih sama di rambutnya. Suara centil y
“APA KAMU BILANG?!!” Benar saja, bahkan Bu Febri belum sampai merampungkan kalimatnya. “AKU?” Telunjuk Pak menuding mukanya yang sudah memerah padam. “AKU DISURUH MINTA MAAF SAMA LAKI-LAKI BANGSAT SATU ITU? NGGAK!!” “Pakkk… Tapi ini demi Hana…” Bu Febri bergelayut di lengan suaminya. “Tolong sekali ini saja, Pak. Demi Hana. Demi anak kita satu-satunya, Pak.” Suara rintihan Bu Febri terdengar begitu menyakitkan. Entah apa yang sebenarnya dipikirkan Pak Hartono sampai-sampai ia tega membiarkan sang istri mengemis. “SEKALI ENGGAK YA ENGGAK!!” Pak Hartono makin melotot, menarik lepas tangannya yang digelayuti sang istr
Ada yang membuat kantor PT. Cakra siang ini terasa lebih panas dari biasanya bagi Pak Robert. Bukan karena pendingin ruangan yang di mana-mana banyak bocor. Tapi akhirnya kasus yang sudah 3 bulan lebih mengendap menemukan benang merahnya. Pak Robert tak mau urusan ini jadi arang dalam sekam. Ia mau Intan mengurus sampai akar. Sampai sang dalang dari dua puluh lima orang IT yang ingin melarikan diri diketahui. ‘Klekkkk….’ Gagang pintu ruangan Hana yang skarang difungsikan untuk Intan berputar. Lembaran kaca tebal yang buram melambai terbuka. Pak Robert muncul dengan setela kemeja biru telur asin dibalut taxedo hitam dengan celana khaki berwarna senada.&
Genderang perang tak kasat mata ditabuh. Suaranya terdengar di telinga semua orang. Pintu yang digebrak paksa masih lebih sopan dari meledakkan pintu apartemen. Tapi sekarang, aroma kengeriannya tercium sama pekat. Semua orang memasang posisi siaga. “AAAAAA….. LEPASINNN… !!!” Intan lebih dulu berlari menarik dan mengevakuasi Hana. Sementara Pak Wahyu menerajang masuk, ke arah 8 orang yang sudah bersiaga. ‘Baaakkkk… Bukkk… Sraaakkk….!!!’ Satu tendangan di dada dan satu pukulan telak di belakang leher cukup menggelaprkan satu orang preman. Pak Wahyu mendarat manis, kaki memasang kuda-kuda, tangannya bersilang-silang layaknya pendekar. Tujuh orang membuka diri. Dengan cepat membentuk lingkaran dengan Pak Wakyu dan Pak Robert ada di tengah-tengahnya. ‘Plokkk… plok… plokkk…. !!!!’ Pak Hartono tersnyum licik. “Jadi ada yang mau jadi pahlawan sekarang.” Tenang ia melangkah menghampiri koper yang
Mobil Ford hitam terus melaju meski hanya berisi dua orang, Pak Robert dan seorang sopir pribadi yang juga sekaligus paman Intan. Kemacetan yang menumpuk hampir setiap lampu merah dan sengatan matahari tak mengurutkan niat mereka. “Semua harus selesai hari ini. Harus.” Sejenak Pak Robert terpejam. Dingin udara dalam mobil tak berhasil mengusir atmosfer panas dan ambisinya yang membara. Sejenak kepalanya menoleh ke belakang. Memastikan brangkas hitam berisi surat-surat penting miliknya masih di bangku tengah. Satu-satunya senjata terakhir yang Pak Robert punya hanya itu. Kalau saja negosiasi ini gagal, maka yang terakhir harus ia pertahurkan adalah PT. Cakra.Ia yakin seratus perse
Gemetaran, tangan Hana tak lagi kuasa memegangnya. Ponsel barunya tergeletak begitu saja di atas meja. Hana ganti menggigiti ujung kuku jarinya. ‘Tinggg…. Tinggg…. !!!’ Mata Hana terbelalak, panggilan masuk ganti mendarat di ponselnya. Pak Robert menghubunginya balik. Jujur Hana bingung. Menoleh ke kanan kiri tapi tak ada satu pun orang. Hana menarik napas panjang mengurai sesak di dadanya. Tidak-tidak… Ia tidak boleh mengabaikannya. Orang ini yang dari tadi ia cari. Hatinya langsung bergetar begitu nama itu muncul di atas layar ponselnya. Dengan napas yang tertahan di tenggorokan, tangan Hana be
“Kupikir-pikir memang sudah dari dulu aku harusnya pisah sama dia.” Suaranya layu, wajahnya tercenung kosong. Sudah setengah jam lamanya ia sama sekali tak menyinggung semangkuk bibir di depannya. Dari sejak bubur itu masih mengepulkan asap tipis dan aroma beras bercampur bumbu kacang sampai dingin. Sudah setengah jam juga Juni membiarkan kakaknya diam. Sampai lama-lama ia tidak tahan sendiri. “Sudahlah, Kak Feb.” Tak tahan, tangannya bergerak memeluk lengan kakaknya. “Dua bulan sudah Kak Febri kayak gini.” Api di matanya ikut padam. “Mau sampai kapan, Kak? Udah dong. Mending Kaka sekarang makan buburnya dulu deh. Enak kok. Nggak kayak dulu pas aku masih belajar masak.”
“Cie HP baru nih yee….” Usil tangan Dinda tahu-tahu menjumput ujung dagu Hana dari belakang. Tiba-tiba muncul sampai Hana melonjak kaget hampir terjatuh dari kursi kasir. Refleks menepis tangan Dinda yang justru terpingkal-pingkal melihat mimik kaget Hana yang menggemaskan. “Ishhhh…. Dinda setan… !!!” umpatnya. Telapak tangannya sudah diangkat hampir melayangkan tabokan tapi urung. Melihat Dinda terpingkal ia jadi ikut terpingkal. “Nyebelin ih….” “Lagian HP baru tuh harusnya traktiran kek. Ini anyep-anyep bae…” imbuh Dinda dengan bahasa jawanya yang medok. me “Eh, gue beli HP juga gara-gara Bos Steven ya. Enak a
“Whatt???” Dahi Intan mengerut sampai mencetak sepasang jurang kecil di antara ujung alisnya. “Seriously?” Mulutnya terperangah tak percaya. Raut kagetnya bukan tanpa alasan, Intan adalah salah satu orang yang tahu masa lalu Pak Robeert dengan Helena. “Ja-jadi? Jadi setelah selingkuh dengan kakaknya sekarang dia?” Intan sampai tak bisa merampungkan kalimatnya. Tapi baik David maupun Pak Robert tahu apa yang ia pikirkan. Apa yang membuat ekspresi tak percaya di wajahnya masih bertahan sampai sekarang. “Oh my god…” Kepala Intan menggeleng. “Sumpah nggak habis pikir aku.” “Sudahlah, Tan.” Suara Pak Robert t
Ada yang membuat kantor PT. Cakra siang ini terasa lebih panas dari biasanya bagi Pak Robert. Bukan karena pendingin ruangan yang di mana-mana banyak bocor. Tapi akhirnya kasus yang sudah 3 bulan lebih mengendap menemukan benang merahnya. Pak Robert tak mau urusan ini jadi arang dalam sekam. Ia mau Intan mengurus sampai akar. Sampai sang dalang dari dua puluh lima orang IT yang ingin melarikan diri diketahui. ‘Klekkkk….’ Gagang pintu ruangan Hana yang skarang difungsikan untuk Intan berputar. Lembaran kaca tebal yang buram melambai terbuka. Pak Robert muncul dengan setela kemeja biru telur asin dibalut taxedo hitam dengan celana khaki berwarna senada.&
“APA KAMU BILANG?!!” Benar saja, bahkan Bu Febri belum sampai merampungkan kalimatnya. “AKU?” Telunjuk Pak menuding mukanya yang sudah memerah padam. “AKU DISURUH MINTA MAAF SAMA LAKI-LAKI BANGSAT SATU ITU? NGGAK!!” “Pakkk… Tapi ini demi Hana…” Bu Febri bergelayut di lengan suaminya. “Tolong sekali ini saja, Pak. Demi Hana. Demi anak kita satu-satunya, Pak.” Suara rintihan Bu Febri terdengar begitu menyakitkan. Entah apa yang sebenarnya dipikirkan Pak Hartono sampai-sampai ia tega membiarkan sang istri mengemis. “SEKALI ENGGAK YA ENGGAK!!” Pak Hartono makin melotot, menarik lepas tangannya yang digelayuti sang istr
Setengah hari satu malam waktu terlewat. Bu Febri telah sampai kenyataan mau sebanyak apa waktu yang ia punya tak akan cukup. Ia tak akan berhasil membawa Hana pulang. Bukan karena usahanya membujuk Hana kurang. Bukan karena air mata yang jatuh masih kurang banyak. Hana sudah memberikan syarat padanya. Gadis itu berjanji mau pulang kembali ke rumah di Jakarta bersama-sama mereka setelah satu syaratnya terpenuhi. “Ibu hati-hati ya sampai di Jakarta,” bisik Hana di pintu terakhir dermaga tempat pengantar dan penumpang kapal penyeberangan harus berpisah. Dalam dekapa putrinya, susah payah Bu Febri menahan air mata. Hangat tubuh Hana. Aroma shampo yang masih sama di rambutnya. Suara centil y