“Ibu tau kan?”
Bak papan pintu yang sudah lama tak diolesi oli, lehernya terasa kaku menoleh. Dua pasang bola mata biru bertemu di ruangan sunyi. Ruang yang sebenarnya sudah ada jauh sebelum Hana bisa membuka mata.
Mulai detik ini, suara mereka sama-sama bersumber dari lubuk hati yang terdalam.
“Aku tahu apa yang terhadi, Han.” Sejenak Bu Febri menelan ludah. Rasa kaku masih ada, masih di leher tapi dari dalam kerongkongan. Dirinya seperti tidak lagi kenal dengan lawan bicaranya. Hana terasa begitu jauh dan tak tergapai.
“Sejak kerja, kamu mulai tertutup sama ibu. Ibu tahu apa yang terjadi. Tapi ibu benar-benar nggak tahu apa yang kamu rasakan. Bu-bukan…&r
Hana membuka kalimat pertamanya dengan satu tarikan napas panjang. Kabut yang menyesakkan dadanya pelan-pelan menyingkir. Hana tahu, bicara soal Pak Robert taka akan bisa melewatkan bagian ibunya yang sakit parah waktu itu. Hana tak mau ibunya merasa bersalah. Tapi di satu sisi, ibunya Hana harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Hana tak punya pilihan lain, Bu.” Matanya mengawang jauh. Ada wajah ibunya yang tampak tersenyum mafhum. Ada langit-langit petak kosnya yang terlihat lebih muram dari biasanya. “Kalau saja Hana punya pilihan lain. Hana pasti tidak akan dekat-dekat dengan dia.” Raut muka ibunya menegang. Rahangnya mengeras seolah menggambarkan betapa besar penyesalan
Setengah hari satu malam waktu terlewat. Bu Febri telah sampai kenyataan mau sebanyak apa waktu yang ia punya tak akan cukup. Ia tak akan berhasil membawa Hana pulang. Bukan karena usahanya membujuk Hana kurang. Bukan karena air mata yang jatuh masih kurang banyak. Hana sudah memberikan syarat padanya. Gadis itu berjanji mau pulang kembali ke rumah di Jakarta bersama-sama mereka setelah satu syaratnya terpenuhi. “Ibu hati-hati ya sampai di Jakarta,” bisik Hana di pintu terakhir dermaga tempat pengantar dan penumpang kapal penyeberangan harus berpisah. Dalam dekapa putrinya, susah payah Bu Febri menahan air mata. Hangat tubuh Hana. Aroma shampo yang masih sama di rambutnya. Suara centil y
“APA KAMU BILANG?!!” Benar saja, bahkan Bu Febri belum sampai merampungkan kalimatnya. “AKU?” Telunjuk Pak menuding mukanya yang sudah memerah padam. “AKU DISURUH MINTA MAAF SAMA LAKI-LAKI BANGSAT SATU ITU? NGGAK!!” “Pakkk… Tapi ini demi Hana…” Bu Febri bergelayut di lengan suaminya. “Tolong sekali ini saja, Pak. Demi Hana. Demi anak kita satu-satunya, Pak.” Suara rintihan Bu Febri terdengar begitu menyakitkan. Entah apa yang sebenarnya dipikirkan Pak Hartono sampai-sampai ia tega membiarkan sang istri mengemis. “SEKALI ENGGAK YA ENGGAK!!” Pak Hartono makin melotot, menarik lepas tangannya yang digelayuti sang istr
Ada yang membuat kantor PT. Cakra siang ini terasa lebih panas dari biasanya bagi Pak Robert. Bukan karena pendingin ruangan yang di mana-mana banyak bocor. Tapi akhirnya kasus yang sudah 3 bulan lebih mengendap menemukan benang merahnya. Pak Robert tak mau urusan ini jadi arang dalam sekam. Ia mau Intan mengurus sampai akar. Sampai sang dalang dari dua puluh lima orang IT yang ingin melarikan diri diketahui. ‘Klekkkk….’ Gagang pintu ruangan Hana yang skarang difungsikan untuk Intan berputar. Lembaran kaca tebal yang buram melambai terbuka. Pak Robert muncul dengan setela kemeja biru telur asin dibalut taxedo hitam dengan celana khaki berwarna senada.&
“Whatt???” Dahi Intan mengerut sampai mencetak sepasang jurang kecil di antara ujung alisnya. “Seriously?” Mulutnya terperangah tak percaya. Raut kagetnya bukan tanpa alasan, Intan adalah salah satu orang yang tahu masa lalu Pak Robeert dengan Helena. “Ja-jadi? Jadi setelah selingkuh dengan kakaknya sekarang dia?” Intan sampai tak bisa merampungkan kalimatnya. Tapi baik David maupun Pak Robert tahu apa yang ia pikirkan. Apa yang membuat ekspresi tak percaya di wajahnya masih bertahan sampai sekarang. “Oh my god…” Kepala Intan menggeleng. “Sumpah nggak habis pikir aku.” “Sudahlah, Tan.” Suara Pak Robert t
“Cie HP baru nih yee….” Usil tangan Dinda tahu-tahu menjumput ujung dagu Hana dari belakang. Tiba-tiba muncul sampai Hana melonjak kaget hampir terjatuh dari kursi kasir. Refleks menepis tangan Dinda yang justru terpingkal-pingkal melihat mimik kaget Hana yang menggemaskan. “Ishhhh…. Dinda setan… !!!” umpatnya. Telapak tangannya sudah diangkat hampir melayangkan tabokan tapi urung. Melihat Dinda terpingkal ia jadi ikut terpingkal. “Nyebelin ih….” “Lagian HP baru tuh harusnya traktiran kek. Ini anyep-anyep bae…” imbuh Dinda dengan bahasa jawanya yang medok. me “Eh, gue beli HP juga gara-gara Bos Steven ya. Enak a
“Kupikir-pikir memang sudah dari dulu aku harusnya pisah sama dia.” Suaranya layu, wajahnya tercenung kosong. Sudah setengah jam lamanya ia sama sekali tak menyinggung semangkuk bibir di depannya. Dari sejak bubur itu masih mengepulkan asap tipis dan aroma beras bercampur bumbu kacang sampai dingin. Sudah setengah jam juga Juni membiarkan kakaknya diam. Sampai lama-lama ia tidak tahan sendiri. “Sudahlah, Kak Feb.” Tak tahan, tangannya bergerak memeluk lengan kakaknya. “Dua bulan sudah Kak Febri kayak gini.” Api di matanya ikut padam. “Mau sampai kapan, Kak? Udah dong. Mending Kaka sekarang makan buburnya dulu deh. Enak kok. Nggak kayak dulu pas aku masih belajar masak.”
Gemetaran, tangan Hana tak lagi kuasa memegangnya. Ponsel barunya tergeletak begitu saja di atas meja. Hana ganti menggigiti ujung kuku jarinya. ‘Tinggg…. Tinggg…. !!!’ Mata Hana terbelalak, panggilan masuk ganti mendarat di ponselnya. Pak Robert menghubunginya balik. Jujur Hana bingung. Menoleh ke kanan kiri tapi tak ada satu pun orang. Hana menarik napas panjang mengurai sesak di dadanya. Tidak-tidak… Ia tidak boleh mengabaikannya. Orang ini yang dari tadi ia cari. Hatinya langsung bergetar begitu nama itu muncul di atas layar ponselnya. Dengan napas yang tertahan di tenggorokan, tangan Hana be