Di tempat yang ratusan kilometer jauhnya, kertas-kertas pengumuman berisi foto Hana dicetak lebar mulai hilang dari pandangan. Sebagian terkelupas ditiup angin, sebagian lagi sudah tertutupi tulisan lain. Kabar hilangnya Hana menggemparkan satu kompleks perumahan tempat Pak Hartono tinggal.
Tapi itu dulu, 3 bulan yang lalu tepatnya. Sekarang semuanya lenyap begitu saja. Seperti bergantinya matahari dan bulan, siang dan malam, hilangnya Hana digantikan puluhan kabar lain yang tak kalah menggemparkan. Mulai dari isu babi ngepet, pembubaran gereja, sampai konflik politik.
Hana pelan-pelan dilupakan. Namun tidak oleh semua orang.
“Kayaknya para polisi nggak kerja dengan maksimal deh. Iya kan, Pak?
Hana masih bersikeras melupakan ingatannya saat matanya tak sengaja menatap ke sudut ruangan. Di depan sana, dua jam yang lalu ia menjamu Cindy. Obrolan yang terasa menarik Hana kembali pulang ke tempat yang sudah susah payah ia berusaha lupakan. “Aku minta maaf ya, Han. Jujur setelah semua yang terjadi sama kamu, aku nggak tega ngomong ini sebenarnya.” Suaranya masih bisa Hana dengar. Degup jantung dan emosinya masih terasa di dada Hana. Bagi Hana, Cindy adalah temen baik terakhir yang ia pertahankan. Itu pun juga karena Cindy tak sengaja berwisata di Pulau Tri dan tak sengaja juga bertemu dengan Hana. Dua sahabat lama yang sudah lama tidak bertemu akhirnya duduk satu meja. Satu frekuen
Pagi yang damai di rumah Pak Hartono mendadak jadi tegang sejak kedatangannya. Angin yang bertiup menggugurkan bunga mangga di halaman depan seakan memperintim hawa perang di antara tiga orang yang membeku di depan pintu. “Maaf karena saya datang nggak bilang-bilang dulu.” Seluruh kalimat yang suidah Pak Robert susun rapi di dalam kepala mendadak rubuh. Tak ada satu kata pun yang bisa ia pungut dari sana kecuali kata maaf. Bukan suasana ini yang sebelumnya ia bayangkan. Kaku, nyaris Bu Febri tak bergerak sedikit pun. “A-Ad… A….” Tergagap mulut Bu Febri bicara. Lidahnya terpintal, tenggorokannya mendadak kering, kedua lututnya mendadak lumpuh. Kalau bukan karena
Sampai kram rasanya kepala Hana berusaha melupakan kejadian yang sudah seminggu lewat. Masalahnya, ia masih ada di tempat yang sama, masih jadi pegawai Coffeshop di pulau yang sama. Sempat terbesit keinginan di dalam hati Hana untuk pindah kerja. Tapi alasan yang ia punya sungguh amat konyol. Hana pasti tak akan berhenti menertawan dirinya sendiri kalau sampai ia beneran pindah kerja hanya gara-gara kenangan teakhirnya bersama Cindy. Hana mulai belajar memahami kalau memang beberapa tempat menyimpan luka. Ia tidak bisa kabur lari menhindar terus-terusan. “Tapi Arghhhhhh….. kenapa sih lo pake datang segala!!!” Hana sampai kelepasan mengumpat. Rosi yang sudah mengg
“Tidak-tidak-tidak…. Bukan ini yang harusnya aku lakukan….” Hati Hana memberontak. “Tidak… Tidak bisa….” Sesak rasanya kalau ingat bagaimana ibunya ikut menyeret tubuh Hana keluar dari apartemen Pak Robert yang berubah jadi medan perang dalam sekedip mata. “Tidak-tidak… a-akuu… aku nggak mau.” Hana tahu otaknya lah yang bersikeras menghampiri ibunya. Ia seharusnya lari. Lari sejauh mungkin menyelamatkan hatinya agar tidak terluka lagi. Hana sudah berbulan-bulan lamanya kabur dan terbukti hatinya jauh lebih lega sekarang Tidak ada lagi malam-malam mencekam di kamar yang kelam. Tak ada lagi kisah menyedihkan itu. Tidak ada luka baru di tubuhnya yang sengaja Hana buat untuk menyaingi lara di hatiny
“Ibu tau kan?” Bak papan pintu yang sudah lama tak diolesi oli, lehernya terasa kaku menoleh. Dua pasang bola mata biru bertemu di ruangan sunyi. Ruang yang sebenarnya sudah ada jauh sebelum Hana bisa membuka mata. Mulai detik ini, suara mereka sama-sama bersumber dari lubuk hati yang terdalam. “Aku tahu apa yang terhadi, Han.” Sejenak Bu Febri menelan ludah. Rasa kaku masih ada, masih di leher tapi dari dalam kerongkongan. Dirinya seperti tidak lagi kenal dengan lawan bicaranya. Hana terasa begitu jauh dan tak tergapai.“Sejak kerja, kamu mulai tertutup sama ibu. Ibu tahu apa yang terjadi. Tapi ibu benar-benar nggak tahu apa yang kamu rasakan. Bu-bukan…&r
Hana membuka kalimat pertamanya dengan satu tarikan napas panjang. Kabut yang menyesakkan dadanya pelan-pelan menyingkir. Hana tahu, bicara soal Pak Robert taka akan bisa melewatkan bagian ibunya yang sakit parah waktu itu. Hana tak mau ibunya merasa bersalah. Tapi di satu sisi, ibunya Hana harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Hana tak punya pilihan lain, Bu.” Matanya mengawang jauh. Ada wajah ibunya yang tampak tersenyum mafhum. Ada langit-langit petak kosnya yang terlihat lebih muram dari biasanya. “Kalau saja Hana punya pilihan lain. Hana pasti tidak akan dekat-dekat dengan dia.” Raut muka ibunya menegang. Rahangnya mengeras seolah menggambarkan betapa besar penyesalan
Setengah hari satu malam waktu terlewat. Bu Febri telah sampai kenyataan mau sebanyak apa waktu yang ia punya tak akan cukup. Ia tak akan berhasil membawa Hana pulang. Bukan karena usahanya membujuk Hana kurang. Bukan karena air mata yang jatuh masih kurang banyak. Hana sudah memberikan syarat padanya. Gadis itu berjanji mau pulang kembali ke rumah di Jakarta bersama-sama mereka setelah satu syaratnya terpenuhi. “Ibu hati-hati ya sampai di Jakarta,” bisik Hana di pintu terakhir dermaga tempat pengantar dan penumpang kapal penyeberangan harus berpisah. Dalam dekapa putrinya, susah payah Bu Febri menahan air mata. Hangat tubuh Hana. Aroma shampo yang masih sama di rambutnya. Suara centil y
“APA KAMU BILANG?!!” Benar saja, bahkan Bu Febri belum sampai merampungkan kalimatnya. “AKU?” Telunjuk Pak menuding mukanya yang sudah memerah padam. “AKU DISURUH MINTA MAAF SAMA LAKI-LAKI BANGSAT SATU ITU? NGGAK!!” “Pakkk… Tapi ini demi Hana…” Bu Febri bergelayut di lengan suaminya. “Tolong sekali ini saja, Pak. Demi Hana. Demi anak kita satu-satunya, Pak.” Suara rintihan Bu Febri terdengar begitu menyakitkan. Entah apa yang sebenarnya dipikirkan Pak Hartono sampai-sampai ia tega membiarkan sang istri mengemis. “SEKALI ENGGAK YA ENGGAK!!” Pak Hartono makin melotot, menarik lepas tangannya yang digelayuti sang istr