Hening ternyata menyergap kamar apartemen lebih lama dari yang mereka berdua kira. Keduanya sama-sama membisu telentang di atas ranjang king size menghadp langit-langit yang berhias ukiran mengelilingi lampu.
Bukan karena mereka betah dengan posisi ini, berulang kali Pak Robert coba mengajak Hana bicara. Melempar gurauan atau candaan yang sekiranya bisa mencairkan suasana. Tapi respon Hana masih sama. Dari awal ia hanya menjawab ‘iya’ atau ‘tidak’. Sisanya tidak lebih dari gelengan kepala atau gestur tubuh.
“Aku bukan orang yang gampang nyerah, Han.” Suara Pak Robert limbung. Tak ada muatan emosi di dalamnya. “Baru kali ini kamu membuatku menyerah.” Kepalanya berputar, menoleh Hana di sebelahnya yang masih tak bergeming. &ld
Tak ada yang bisa dilakukan Pak Robert. Tubuhnya seperti dahan pohon bonsai yang dicencang tali kawat, aku, diam membisu tak bergerak. Siapa yang mengira kalau Hana akan langsung menyergap bibirnya. Sepanjang lebih dari sepuluh detik berjalan, Pak Robert cuma bisa diam tak merespon apa pun. ‘Shhhh….’ Hana yang merasa musuhnya tak merespon melepaskan ciuman panjangnya. Biru bola matanya menangkap Pak Robert yang terbelalak kosong. Bingung. “Hahahhaa…. Pak Robert apaan sih,” protes Hana geli. “Nggak usah liat Hana kayak gitu deh. Kayak nggak pernah dicium Hana aja.” “Iya em
Siapa yang menyangka tingkah usil Pak Robert berhasil membuat Hana tersipu malu. Pipinya memerah, mengembang ditarik dua simpul bibirnya yang melebar. Sebelum Pak Robert sempat menangkap ekspresi malu-malunya. Hana buru-buru menenggelamkan wajahnya lagi ke dalam pelukan Pak Robert. “Daddy ah…. Baru juga tadi pagi udah loh,” protes Hana. Namun mereka berdua sama-sama tahu apa yang terjadi di bawah sana. Hana tak menarik tangannya dari tempat di antara kedua paha Pak Robert. Boro-boro menarik, Hana justru membetulkan posisi tangannya. Jari-jari lentik menggenggam batang besar tak bertulang. Mengurutnya perlahan dari pangkal yang ditumbuhi buu halus hingga batas daging yang diiris sa
Gelombang yang besar merubuhka tubuh Hana. Ia jatuh bermandikan keringat di atas tubuh Paak Robert. Napasnya terengah-engah, tenggorokannya kering, tubuhnya bergetar menyesuaikan diri dengan benda besar yang sudah sepenuhnya membenam di dalam labangnya. “Ummmphhhhh….” Tak mau tempo permainan mereka surut, Pak Robert ganti menyambar bibir Hana. Memagut bibir dan melingkarkan lengannya memeluk Hana. Tubuh mereka yang bermandikan keringat membuat sedikit saja gerakan berdampak banyak. “Ammmpppphhhhh….!!!!” Hana tersentak tertahan. Bibirnya masih ditahan Pak Robert. Bukan itu yang membuat Hana
Malam menjelang di ujung permainan. Hana paling tak mengira hari berat berjejal tangis ternyata berhasil ia lewati begitu saja. Di dalam kamar apartemen mewah Pak Robert pemandangan indah tersuguh. Menahan tubuh Hana yang berbalut piyama merah muda berdiri mematung di depan jendela. Langit jingga terbakar bak lembaran tirai besar. Terhampar sekuas mata memandang langit menuju bulatan kuning memerah yang bersembunyi di antara awan dan dua pucuk gedung pencakar langit. Semburat ungu kehitaman mulai mengambil alih pelan-pelan senja yang manis. Ia seolah tak rela sinar matahari senja bertahan lebih lama menyiram cantik wajah Hana dan bola matanya yang biru nan dalam. “Sudah mandinya sayang?”
‘Tinggg… Tinggg…. !!!’ Bunyi bel pintu apartemen terdengar berbunyi setelah tiga puluh menit kurang lebih lamanya Hana membenamkan wajahnya di dalam bantal. Peduli setan, Hana tak mau tahu dan tak ingin tahu manusia jenis apa di balik pintu sana yang membunyikan bel. Dia masih marah sama Pak Robert. Titik! “Oh iya, Pak. Terima kasih ya.” Sayup-sayup terdengar suara Pak Robert berbincang. “Iya komplit kok. Saya kasih tip nanti ya, Pak.”&nb
Ada pepatah lama yang bilang kalau bukan jawaban yang penting dari sebuah impian melainkan bagaimana jalan mendapatkannya. Bagi Pak Robert, mendapatkan jawaban dari Hana lebih besar artinya dari semua project yang pernah ia kerjakan. Lebih berharga nilainya dari semua bisnis yang pernah ia bangun dan berhasil. Saking tak percayanya, Pak Robert sampai duduk diam mematung. “A-aku— aku diterima?” Suaranya terbata-bata, lirih hampir kalah dengan dengung pendingin ruangan. “Ya iyalah…. Pake ditanya lagi,” jawab Hana di pengujung ciuman, “Ta-tapi… Bola mata Pak Robert limbung m
Hana mengangguk ragu. Mimik mukanya tak berhasil menutupi keraguan yang ia rasakan. “Terserh Daddy.” Ludah Hana terasa menggumpal sebesar biji salak. Terpaksa ia telan bulat-bulat demi menyeka tenggorokannya yang mendadak tersekat. “A-aku cuma butuh alasan agar semua ini terlihat masuk akal,” tandasnya. Ada banyak alasan lain yang sebenarnya Hana punya. Hana baru sadar kalau selama ini ia terlena dengan hidup enak yang kedua orang tuanya berikan. Ia sampai tak tahu semua hal yang mereka rahasiakan. Bagus kalau tak ada dampaknya ke Hana. Sialnya, batu besar yang tengah Hana hadapi sekarang sebelum bisa benar-benar menerima cinta Pak Robert adalah bapaknya. Hana harus tahu kenyataannya.&nb
Robert yang sudah gelap mata tak bisa menahan lagi amarahnya. Napasnya memburu, berdebur cepat sampai-sampai tak sadar melempar satu-satunya ponsel yang ia punya. ‘Prakkkk…. !!!!’ Kaca digital dan body alumunium bertebaran, tercecerai, terburai berserakan di lantai. “ARRGHHHHHH…. !!!!” Teriakan keras terdengar sampai keluar rumah. Robert meraup wajahnya, menjambak rambut. “KENAPA SIH??! ARGGGHHHH… !!!! KENAPA KAMU TEGA BANGET BOONGIN AKU!!!” Tinjunya melayang, bukan cuma sekali, beberapa kali tanpa amp
Genderang perang tak kasat mata ditabuh. Suaranya terdengar di telinga semua orang. Pintu yang digebrak paksa masih lebih sopan dari meledakkan pintu apartemen. Tapi sekarang, aroma kengeriannya tercium sama pekat. Semua orang memasang posisi siaga. “AAAAAA….. LEPASINNN… !!!” Intan lebih dulu berlari menarik dan mengevakuasi Hana. Sementara Pak Wahyu menerajang masuk, ke arah 8 orang yang sudah bersiaga. ‘Baaakkkk… Bukkk… Sraaakkk….!!!’ Satu tendangan di dada dan satu pukulan telak di belakang leher cukup menggelaprkan satu orang preman. Pak Wahyu mendarat manis, kaki memasang kuda-kuda, tangannya bersilang-silang layaknya pendekar. Tujuh orang membuka diri. Dengan cepat membentuk lingkaran dengan Pak Wakyu dan Pak Robert ada di tengah-tengahnya. ‘Plokkk… plok… plokkk…. !!!!’ Pak Hartono tersnyum licik. “Jadi ada yang mau jadi pahlawan sekarang.” Tenang ia melangkah menghampiri koper yang
Mobil Ford hitam terus melaju meski hanya berisi dua orang, Pak Robert dan seorang sopir pribadi yang juga sekaligus paman Intan. Kemacetan yang menumpuk hampir setiap lampu merah dan sengatan matahari tak mengurutkan niat mereka. “Semua harus selesai hari ini. Harus.” Sejenak Pak Robert terpejam. Dingin udara dalam mobil tak berhasil mengusir atmosfer panas dan ambisinya yang membara. Sejenak kepalanya menoleh ke belakang. Memastikan brangkas hitam berisi surat-surat penting miliknya masih di bangku tengah. Satu-satunya senjata terakhir yang Pak Robert punya hanya itu. Kalau saja negosiasi ini gagal, maka yang terakhir harus ia pertahurkan adalah PT. Cakra.Ia yakin seratus perse
Gemetaran, tangan Hana tak lagi kuasa memegangnya. Ponsel barunya tergeletak begitu saja di atas meja. Hana ganti menggigiti ujung kuku jarinya. ‘Tinggg…. Tinggg…. !!!’ Mata Hana terbelalak, panggilan masuk ganti mendarat di ponselnya. Pak Robert menghubunginya balik. Jujur Hana bingung. Menoleh ke kanan kiri tapi tak ada satu pun orang. Hana menarik napas panjang mengurai sesak di dadanya. Tidak-tidak… Ia tidak boleh mengabaikannya. Orang ini yang dari tadi ia cari. Hatinya langsung bergetar begitu nama itu muncul di atas layar ponselnya. Dengan napas yang tertahan di tenggorokan, tangan Hana be
“Kupikir-pikir memang sudah dari dulu aku harusnya pisah sama dia.” Suaranya layu, wajahnya tercenung kosong. Sudah setengah jam lamanya ia sama sekali tak menyinggung semangkuk bibir di depannya. Dari sejak bubur itu masih mengepulkan asap tipis dan aroma beras bercampur bumbu kacang sampai dingin. Sudah setengah jam juga Juni membiarkan kakaknya diam. Sampai lama-lama ia tidak tahan sendiri. “Sudahlah, Kak Feb.” Tak tahan, tangannya bergerak memeluk lengan kakaknya. “Dua bulan sudah Kak Febri kayak gini.” Api di matanya ikut padam. “Mau sampai kapan, Kak? Udah dong. Mending Kaka sekarang makan buburnya dulu deh. Enak kok. Nggak kayak dulu pas aku masih belajar masak.”
“Cie HP baru nih yee….” Usil tangan Dinda tahu-tahu menjumput ujung dagu Hana dari belakang. Tiba-tiba muncul sampai Hana melonjak kaget hampir terjatuh dari kursi kasir. Refleks menepis tangan Dinda yang justru terpingkal-pingkal melihat mimik kaget Hana yang menggemaskan. “Ishhhh…. Dinda setan… !!!” umpatnya. Telapak tangannya sudah diangkat hampir melayangkan tabokan tapi urung. Melihat Dinda terpingkal ia jadi ikut terpingkal. “Nyebelin ih….” “Lagian HP baru tuh harusnya traktiran kek. Ini anyep-anyep bae…” imbuh Dinda dengan bahasa jawanya yang medok. me “Eh, gue beli HP juga gara-gara Bos Steven ya. Enak a
“Whatt???” Dahi Intan mengerut sampai mencetak sepasang jurang kecil di antara ujung alisnya. “Seriously?” Mulutnya terperangah tak percaya. Raut kagetnya bukan tanpa alasan, Intan adalah salah satu orang yang tahu masa lalu Pak Robeert dengan Helena. “Ja-jadi? Jadi setelah selingkuh dengan kakaknya sekarang dia?” Intan sampai tak bisa merampungkan kalimatnya. Tapi baik David maupun Pak Robert tahu apa yang ia pikirkan. Apa yang membuat ekspresi tak percaya di wajahnya masih bertahan sampai sekarang. “Oh my god…” Kepala Intan menggeleng. “Sumpah nggak habis pikir aku.” “Sudahlah, Tan.” Suara Pak Robert t
Ada yang membuat kantor PT. Cakra siang ini terasa lebih panas dari biasanya bagi Pak Robert. Bukan karena pendingin ruangan yang di mana-mana banyak bocor. Tapi akhirnya kasus yang sudah 3 bulan lebih mengendap menemukan benang merahnya. Pak Robert tak mau urusan ini jadi arang dalam sekam. Ia mau Intan mengurus sampai akar. Sampai sang dalang dari dua puluh lima orang IT yang ingin melarikan diri diketahui. ‘Klekkkk….’ Gagang pintu ruangan Hana yang skarang difungsikan untuk Intan berputar. Lembaran kaca tebal yang buram melambai terbuka. Pak Robert muncul dengan setela kemeja biru telur asin dibalut taxedo hitam dengan celana khaki berwarna senada.&
“APA KAMU BILANG?!!” Benar saja, bahkan Bu Febri belum sampai merampungkan kalimatnya. “AKU?” Telunjuk Pak menuding mukanya yang sudah memerah padam. “AKU DISURUH MINTA MAAF SAMA LAKI-LAKI BANGSAT SATU ITU? NGGAK!!” “Pakkk… Tapi ini demi Hana…” Bu Febri bergelayut di lengan suaminya. “Tolong sekali ini saja, Pak. Demi Hana. Demi anak kita satu-satunya, Pak.” Suara rintihan Bu Febri terdengar begitu menyakitkan. Entah apa yang sebenarnya dipikirkan Pak Hartono sampai-sampai ia tega membiarkan sang istri mengemis. “SEKALI ENGGAK YA ENGGAK!!” Pak Hartono makin melotot, menarik lepas tangannya yang digelayuti sang istr
Setengah hari satu malam waktu terlewat. Bu Febri telah sampai kenyataan mau sebanyak apa waktu yang ia punya tak akan cukup. Ia tak akan berhasil membawa Hana pulang. Bukan karena usahanya membujuk Hana kurang. Bukan karena air mata yang jatuh masih kurang banyak. Hana sudah memberikan syarat padanya. Gadis itu berjanji mau pulang kembali ke rumah di Jakarta bersama-sama mereka setelah satu syaratnya terpenuhi. “Ibu hati-hati ya sampai di Jakarta,” bisik Hana di pintu terakhir dermaga tempat pengantar dan penumpang kapal penyeberangan harus berpisah. Dalam dekapa putrinya, susah payah Bu Febri menahan air mata. Hangat tubuh Hana. Aroma shampo yang masih sama di rambutnya. Suara centil y