Malam menjelang di ujung permainan. Hana paling tak mengira hari berat berjejal tangis ternyata berhasil ia lewati begitu saja. Di dalam kamar apartemen mewah Pak Robert pemandangan indah tersuguh. Menahan tubuh Hana yang berbalut piyama merah muda berdiri mematung di depan jendela.
Langit jingga terbakar bak lembaran tirai besar. Terhampar sekuas mata memandang langit menuju bulatan kuning memerah yang bersembunyi di antara awan dan dua pucuk gedung pencakar langit. Semburat ungu kehitaman mulai mengambil alih pelan-pelan senja yang manis.
Ia seolah tak rela sinar matahari senja bertahan lebih lama menyiram cantik wajah Hana dan bola matanya yang biru nan dalam.
“Sudah mandinya sayang?”
‘Tinggg… Tinggg…. !!!’ Bunyi bel pintu apartemen terdengar berbunyi setelah tiga puluh menit kurang lebih lamanya Hana membenamkan wajahnya di dalam bantal. Peduli setan, Hana tak mau tahu dan tak ingin tahu manusia jenis apa di balik pintu sana yang membunyikan bel. Dia masih marah sama Pak Robert. Titik! “Oh iya, Pak. Terima kasih ya.” Sayup-sayup terdengar suara Pak Robert berbincang. “Iya komplit kok. Saya kasih tip nanti ya, Pak.”&nb
Ada pepatah lama yang bilang kalau bukan jawaban yang penting dari sebuah impian melainkan bagaimana jalan mendapatkannya. Bagi Pak Robert, mendapatkan jawaban dari Hana lebih besar artinya dari semua project yang pernah ia kerjakan. Lebih berharga nilainya dari semua bisnis yang pernah ia bangun dan berhasil. Saking tak percayanya, Pak Robert sampai duduk diam mematung. “A-aku— aku diterima?” Suaranya terbata-bata, lirih hampir kalah dengan dengung pendingin ruangan. “Ya iyalah…. Pake ditanya lagi,” jawab Hana di pengujung ciuman, “Ta-tapi… Bola mata Pak Robert limbung m
Hana mengangguk ragu. Mimik mukanya tak berhasil menutupi keraguan yang ia rasakan. “Terserh Daddy.” Ludah Hana terasa menggumpal sebesar biji salak. Terpaksa ia telan bulat-bulat demi menyeka tenggorokannya yang mendadak tersekat. “A-aku cuma butuh alasan agar semua ini terlihat masuk akal,” tandasnya. Ada banyak alasan lain yang sebenarnya Hana punya. Hana baru sadar kalau selama ini ia terlena dengan hidup enak yang kedua orang tuanya berikan. Ia sampai tak tahu semua hal yang mereka rahasiakan. Bagus kalau tak ada dampaknya ke Hana. Sialnya, batu besar yang tengah Hana hadapi sekarang sebelum bisa benar-benar menerima cinta Pak Robert adalah bapaknya. Hana harus tahu kenyataannya.&nb
Robert yang sudah gelap mata tak bisa menahan lagi amarahnya. Napasnya memburu, berdebur cepat sampai-sampai tak sadar melempar satu-satunya ponsel yang ia punya. ‘Prakkkk…. !!!!’ Kaca digital dan body alumunium bertebaran, tercecerai, terburai berserakan di lantai. “ARRGHHHHHH…. !!!!” Teriakan keras terdengar sampai keluar rumah. Robert meraup wajahnya, menjambak rambut. “KENAPA SIH??! ARGGGHHHH… !!!! KENAPA KAMU TEGA BANGET BOONGIN AKU!!!” Tinjunya melayang, bukan cuma sekali, beberapa kali tanpa amp
Sudah sejam lebih Pak Robert bercerita dan baru kali ini Hana merasa perlu bangkit dari kursinya. Bergerak cepat menyeberang meja, memeluk tubuh Pak Robert yang sudah tak kuasa lagi menahan rasa sakit. Tubuhnya menggigil, air mata berderai jatuh bak air terjun membelah kedua pipinya. “Malam itu aku termui Helena, Han. Di-dia ada di sana.” Tangisnya makin menjadi-jadi. Napasnya tersengal, suaranya parau. Pelukan Hana tak sanggup menghentikan badai pedih yang murka mencabik-cabik Pak Robert. “Udah, Daddy… Udahh….” Hana berbisik, mengeratkan pelukannya. “Nggak, Han. Enggak…&rdquo
Kenapa luar biasa karena ini tidak mudah mengalahkan diri sendiri. Pak Robert berhasil melakukannya. Cerita masa lalu yang terjadi antara Pak Robert dan Bapak Hana bukan melumpuhkan justru menguatkan. Bukti kalau memang Pak Robert punya hati yang selembut kapas. Hana tak pernah tahu kalau bapaknya pernah punya sejarah busuk dengan perempuan yang bukan ibunya. Sekalinya tahu, semua sudah tidak ada gunanya. Mau protes apa lagi? Hubungan Hana dengan pria itu terlanjur merenggang. Rasanya mustahil, biarlah mereka memilih jalannya sendiri-sendiri. “Itu yang jadi pikiranku, Dad.” Malam semakin matang, emosi yang tadinya meluap-luap sudah sempurna lega. Sekarang hanya ada Hana, Pak Robert dan s
“Bi-Bisa…” jawab Pak Robert terbata. Jawabannya justru malah mengangkat kedua alis Hana. “Oh ya?” Getir di mulutnya terpaksa diusir dengan segelas koktail yang ia sesap. “Wajah Daddy bilang sebaliknya loh.” Hana mendesak. “Percuma Hana berjanji bisa cinta terus sama Daddy sampai tua kalau Daddy justru ragu.” “Iya aku bisa, Han.” Sepang bola mata Pak Robert mendekik. Kedua alisnya terangkat tinggi-tinggi. “Aku bisa kok,” tandasnya angkuh. Semakin angkuh Pak Robert bersikap. Hana malah semakin tahu kalau tak ada kepastian yang bisa Pak Robert janjikan. Hening akhirnya membumbung melerai mereka. Petak apartemen Pak Robert me
Setelah tiga puluh hari lamanya waktu berjalan. “Pagiiii…” Kedatangan Hana di meja makan pagi hari ini menarik pusat alam semesta rumah keluarga Hartono. Dua manusia di kanan dan kiri Hana sontak melemparkan pandangan ke arahnya. Melupakan roti lapis yang sudah habis beberapa potong. Merasa tatapannya diabaikan Hana, mereka berdua berakhir saling bertatap bingung. Untuk kurun waktu sebulan ke belakang, baru kali ini mereka melihat Hana keluar kamar lebih pagi dari biasanya. Jam 7 pagi masih tiga puluh menit lagi tapi Hana sudah keluar denga