Setelah tiga puluh hari lamanya waktu berjalan.
“Pagiiii…”
Kedatangan Hana di meja makan pagi hari ini menarik pusat alam semesta rumah keluarga Hartono. Dua manusia di kanan dan kiri Hana sontak melemparkan pandangan ke arahnya. Melupakan roti lapis yang sudah habis beberapa potong.
Merasa tatapannya diabaikan Hana, mereka berdua berakhir saling bertatap bingung. Untuk kurun waktu sebulan ke belakang, baru kali ini mereka melihat Hana keluar kamar lebih pagi dari biasanya. Jam 7 pagi masih tiga puluh menit lagi tapi Hana sudah keluar denga
Bangunan apartemen dua puluh lantai yang tinggi menjulang menantang langit jadi harapan terakhir Hana. Tak ada yang lebih ia inginkan sekarang selain pulang. Pulang ke tempat di mana ia lebih di hargai, lebih tenang. Dan lebih hidup. Pelarian yang terasa sungguh melelahkan. Hana tak bisa terus-terusan seperti ini. Hana tak bisa lari setiap hari. Apa yang Pak Robert mau bukan semakin dekat malah terasa semakin jauh. Semakin Hana memaksakan diri dekat dengan bapak dan ibunya, keregangan di antara mereka bertiga malah semakin terasa. Suara berdecit yang timbul dari alas sepatu Hana beradu dengan lantai terdengar sepanjang lorong. Sembari menyembunyikan wajah sayunya dari semua orang yang berpapasan dengannya, Hana terus mempercepat langkah kakinya.&
“Dua ronde??” Sepasang alias Pak Robert terangkat. Hana bisa merasakan tubuh Pak Robert berguncang menahan geli. “Hahaha…. Yakin? Emang kuat?” Tawa menyebalkannya akhirnya lepas begitu saja. “Dihhh… “ Muka Hana tertekuk. “Awas aja ya…” Lepas kalimat terakhir, bibir Hana mengatup. Bukan karena diam membisu, melainkan sekejap mata bibirnya kembali bertaut dengan bibir Pak Robert. “Umphhhhh….” Hana mulai beringsut. Badannya yang sintal mulai mencari posisi terbaik. Duduk di atas pangkuan Pak Robert. Sembari bercumbu jari-jari lentiknya bertualang di tempat lain. Telapak tangannya menarik kepala Pak Robert, jambakan-
Posisi yang tidak menguntungkan. Pak Robert melontarkan pertanyaan di momen-momen yang sangat tidak mengenakkan. Permainan baru dimulai, jantung Hana berpacu cepat mengalahkan waktu. Birahi Hana sedang tinggi-tingginya. Mana mungkin ia bisa menjawab pertanyaan Pak Robert barusan. Tak ayal, tangannya yang masih melingkar menarik leher pria di atas hingga lehernya tenggelam di tengkuk Hana. Dengus napas Pak Robert terasa di kulit leher Hana. Menambah sesnsai geli yang menjalar ke semua syaraf tubuh Hana. “Ohhhhh…. Bisakah kita membahasnya nanti saja sayanggg….???” Suara Hana terdengar mendayu. Terasa begitu erotis masuk telinga Pak Robert. Meski separuh tubuh bagian atasnya d
Kekuatan Pak Robert masih jauh lebih banyak dari Hana. Energi dan tenaganya yang fit di atas angin. Membawa game panas ini satu jam lagi juga ia masih bisa. Puncaknya masih jauh. Batang besar beruratnya masih tegak berdiri. Hana justru kebalikannya Pak Robert. Selain posisi terakhirnya yang di atas, tanda kalau ia harus yang gerak dan menggenjot batang di dalam lubang vaginanya. GElombang orgasme yang menggulung tubuhnya barusan benar-benar menguras tenaga. Tubuh bermandikan keringat terkulai lemas. Napas Hana masih memburu, detak jantungnya hampir membuat benda yang tak pernah berhenti berdetak itu keluar dari dadanya. Bukan main lelahnya, belum lagi sekarang ia harus menerima kenyataan. Permainan belum usai.&
Refleks tubuh Pak Robert menelungkup. Ia sendiri sebenarnya tak tahu apa yang barusan terjadi. Yang ia tahu, saat serpihan-serpihan pintu terbang ke arah mereka. Ia perlu melindungi Hana yang memekik keras kaget. Memasang badan untuk Hana. “Shittt…. !!!!” umpat Pak Robert tertahan. Serpihan kayu menghujani ranjang dan tubuhnya. Cukup lama ia menahan diri, menahan posisinya menutupi Hana. Tapi kulit punggung telanjangnya bisa merasakan tajam dan runcing benda-benda yang berterbngan. “TOLONG… !!! TOLONGG…. !!!’ Hana berteriak lagi. “SIAPA PUN TOLONG… !!” ‘
Rasanya seperti sekejap mata sja apartemennya lagsung berubah seperti neraka. Dalam sekejap mata waktu romantisnya dengan Hana hilang. Apartmen yang jadi saksi bisu tempat cinta mereka berdua tumbuh subur melahirkan bunga-bunga kehidupan hancur lulu lantak. Meski dengan pandangan yang kabur, sekilas Pak Robert bisa melihat Hana diseret keluar. Samar-samar ia bisa melihat Hana jatuh ke dalam pelukan ibunya. Walaupun bingung dan kelabakan Pak Robert sekarang tahu Hana sudah aman. Dirinya sendiri yang tidak aman sekarang. “MATI KAU SETAN!!!!” ‘Brakkkk…. !!!!’
Rasanya seperti satu kedipan mata. Rasanya baru sebentar Pak Robert memejamkan mata. Ia sadarkan diri saat suhu ruangan di sekitarnya terasa begitu dingin. Pandangan matanya masih kabur. Bulu matanya seolah lengket satu sama lain. Tubuhnya terasa remuk. Seperti tertindih batu besar, semua urat dan otot tubuhnya mati tak bisa digerakkan. Hanya bola mata yang masih bisa bergerak. Itu pun harus menahan rasa nyeri yang terasa seperti meneka bola matanya kuat-kuat ke dalam. “Rggghhh….” Setelah beberapa detik kesadarannya terkumpul, akhirnya ia bisa bersuara. Memanfaatkan tenggorokannya yang terasa kering, Pak Robert menggetarkan pita suara mengadunya dengan dindin
“Tapi menahan orang yang emang udah nggak ada loyalitas buat perusahaan juga akan berakhir percuma, Tan.” Setelah diam yang cukup panjang akhirnya Pak Robert bersuara lagi. “Mereka pasti akan terus merusak. Memanfaatkan ketidak berdayaanku selama dirawat di rumah sakit.” “Nggak, Pak.” Intan menggeleng. Entah keberanian dari mana yang mendadak membuat Intan jadi begitu berani. “Aku punya feeling kalau ini bukan gerakan tiba-tiba. Dari jumlah mereka yang membuat surat resign dan melihat betapa kompaknya mereka. Aku bisa tahu kalau gerakan yang mereka buat pasti ada yang mengompori.” Sontak Pak Robert mengernyit. “Maksudmu?” “Saya mau bi