Posisi yang tidak menguntungkan. Pak Robert melontarkan pertanyaan di momen-momen yang sangat tidak mengenakkan. Permainan baru dimulai, jantung Hana berpacu cepat mengalahkan waktu. Birahi Hana sedang tinggi-tingginya. Mana mungkin ia bisa menjawab pertanyaan Pak Robert barusan.
Tak ayal, tangannya yang masih melingkar menarik leher pria di atas hingga lehernya tenggelam di tengkuk Hana. Dengus napas Pak Robert terasa di kulit leher Hana. Menambah sesnsai geli yang menjalar ke semua syaraf tubuh Hana.
“Ohhhhh…. Bisakah kita membahasnya nanti saja sayanggg….???”
Suara Hana terdengar mendayu. Terasa begitu erotis masuk telinga Pak Robert. Meski separuh tubuh bagian atasnya d
Kekuatan Pak Robert masih jauh lebih banyak dari Hana. Energi dan tenaganya yang fit di atas angin. Membawa game panas ini satu jam lagi juga ia masih bisa. Puncaknya masih jauh. Batang besar beruratnya masih tegak berdiri. Hana justru kebalikannya Pak Robert. Selain posisi terakhirnya yang di atas, tanda kalau ia harus yang gerak dan menggenjot batang di dalam lubang vaginanya. GElombang orgasme yang menggulung tubuhnya barusan benar-benar menguras tenaga. Tubuh bermandikan keringat terkulai lemas. Napas Hana masih memburu, detak jantungnya hampir membuat benda yang tak pernah berhenti berdetak itu keluar dari dadanya. Bukan main lelahnya, belum lagi sekarang ia harus menerima kenyataan. Permainan belum usai.&
Refleks tubuh Pak Robert menelungkup. Ia sendiri sebenarnya tak tahu apa yang barusan terjadi. Yang ia tahu, saat serpihan-serpihan pintu terbang ke arah mereka. Ia perlu melindungi Hana yang memekik keras kaget. Memasang badan untuk Hana. “Shittt…. !!!!” umpat Pak Robert tertahan. Serpihan kayu menghujani ranjang dan tubuhnya. Cukup lama ia menahan diri, menahan posisinya menutupi Hana. Tapi kulit punggung telanjangnya bisa merasakan tajam dan runcing benda-benda yang berterbngan. “TOLONG… !!! TOLONGG…. !!!’ Hana berteriak lagi. “SIAPA PUN TOLONG… !!” ‘
Rasanya seperti sekejap mata sja apartemennya lagsung berubah seperti neraka. Dalam sekejap mata waktu romantisnya dengan Hana hilang. Apartmen yang jadi saksi bisu tempat cinta mereka berdua tumbuh subur melahirkan bunga-bunga kehidupan hancur lulu lantak. Meski dengan pandangan yang kabur, sekilas Pak Robert bisa melihat Hana diseret keluar. Samar-samar ia bisa melihat Hana jatuh ke dalam pelukan ibunya. Walaupun bingung dan kelabakan Pak Robert sekarang tahu Hana sudah aman. Dirinya sendiri yang tidak aman sekarang. “MATI KAU SETAN!!!!” ‘Brakkkk…. !!!!’
Rasanya seperti satu kedipan mata. Rasanya baru sebentar Pak Robert memejamkan mata. Ia sadarkan diri saat suhu ruangan di sekitarnya terasa begitu dingin. Pandangan matanya masih kabur. Bulu matanya seolah lengket satu sama lain. Tubuhnya terasa remuk. Seperti tertindih batu besar, semua urat dan otot tubuhnya mati tak bisa digerakkan. Hanya bola mata yang masih bisa bergerak. Itu pun harus menahan rasa nyeri yang terasa seperti meneka bola matanya kuat-kuat ke dalam. “Rggghhh….” Setelah beberapa detik kesadarannya terkumpul, akhirnya ia bisa bersuara. Memanfaatkan tenggorokannya yang terasa kering, Pak Robert menggetarkan pita suara mengadunya dengan dindin
“Tapi menahan orang yang emang udah nggak ada loyalitas buat perusahaan juga akan berakhir percuma, Tan.” Setelah diam yang cukup panjang akhirnya Pak Robert bersuara lagi. “Mereka pasti akan terus merusak. Memanfaatkan ketidak berdayaanku selama dirawat di rumah sakit.” “Nggak, Pak.” Intan menggeleng. Entah keberanian dari mana yang mendadak membuat Intan jadi begitu berani. “Aku punya feeling kalau ini bukan gerakan tiba-tiba. Dari jumlah mereka yang membuat surat resign dan melihat betapa kompaknya mereka. Aku bisa tahu kalau gerakan yang mereka buat pasti ada yang mengompori.” Sontak Pak Robert mengernyit. “Maksudmu?” “Saya mau bi
Sebulan sudah lamanya sejak kejadian di apartemen Pak Robert. Artinya, sebulan juga Pak Robert sudah terbaring di atas ranjang rumah sakit. Luka-luka yang tersebar di tubuhnya memang sudah mulai pulih. Hanya tinggal luka di kepala yang kadang membawa serangan pusing tiba-tiba sampai hilang kesadaran. Tiga algojo yang bertugas menghabisi Pak Robert juga sudah diamankan. Total ada tiga puluh jahitan yang tersebar di sekujur tubuh Pak Robert. Tujuh pen terpasang, dua di tangan kanan satu rusuk, 4 di kaki. Pak Robert melewati masa kritis yang menakutkanulah mereka bertiga. “Mereka sudah ditangkap kepolisian sejak satu minggu seteah kejadian, Pak.” Roni yang saat itu ditunjuk membereskan masalah ini bercerita. Satu minggu yang lalu ia datang bersama Intan. &nbs
“LEPASINNN…. !!! LEPASIN… !!!” Baru kali ini Hana merasakan sesuatu yang beda. Suaranya terdengar lagi menggaung, merobek-robek gendang telinga sampai ingatan. “DADDYYY… !!! NO… !!! LEPASINNN…. !!!” Badan Hana selalu gemetaran setiap kali ingatan itu kembali. Suaranya berderap mirip serombongan pasukan perang yang menyergap dan menbekap tubuhnya. Menyeret Hana di tempat yang teramat gelap sendirian. Menyekap semua indranya, rasanya masih sama seperti kejadian siang hari itu di mana tubuh telanjangnya diseret keluar laki-laki bertubuh besar. Rasanya Hana ingin berteriak sekencang-kencangnya demi mengusir semua suara ramai di dalam kepalanya. Namun ia tak bisa. Matanya jelas-jelas memberi tahu kalau ia sedang
Dua puluh hari berjalan, hari demi hari, malam demi malam yang terlewat nyatanya tak pernah berhasil memperbaiki apapun. Pak Hartono dan istrinya semakin sering bertengkar. Apalagi yang mereka perdebatkan kalau bukan Hana. “YA ITU TUGAS IBUNYA LAH. MASA’ JADI TUGASKU. AKU UDAH CAPEK BESARIN DIA. CARI UANG KEPONTANG PANTING BUAT GEDEIN DIA. LIAT DIA SEKARANG!! DIA MALAH KECANTOL DUDA!”Pak Hartono berteriak dari lantai satu. Saking keras suaranya sampai terdengar hingga kamar Hana. Menyelinap lewat bawah pintu, masuk ke rongga telinga Hana yang sudah susah payah ia tutupi dengan selimut.“Ya tapi kan cara ini kamu yang ambil, Pak.” Sang istri membela diri. “Aku udah berkali-kali bilang, Hana nggak akan mempan pakai cara kasar kayak gini. Hana nggaj bis—”“TRUS MAU K
Genderang perang tak kasat mata ditabuh. Suaranya terdengar di telinga semua orang. Pintu yang digebrak paksa masih lebih sopan dari meledakkan pintu apartemen. Tapi sekarang, aroma kengeriannya tercium sama pekat. Semua orang memasang posisi siaga. “AAAAAA….. LEPASINNN… !!!” Intan lebih dulu berlari menarik dan mengevakuasi Hana. Sementara Pak Wahyu menerajang masuk, ke arah 8 orang yang sudah bersiaga. ‘Baaakkkk… Bukkk… Sraaakkk….!!!’ Satu tendangan di dada dan satu pukulan telak di belakang leher cukup menggelaprkan satu orang preman. Pak Wahyu mendarat manis, kaki memasang kuda-kuda, tangannya bersilang-silang layaknya pendekar. Tujuh orang membuka diri. Dengan cepat membentuk lingkaran dengan Pak Wakyu dan Pak Robert ada di tengah-tengahnya. ‘Plokkk… plok… plokkk…. !!!!’ Pak Hartono tersnyum licik. “Jadi ada yang mau jadi pahlawan sekarang.” Tenang ia melangkah menghampiri koper yang
Mobil Ford hitam terus melaju meski hanya berisi dua orang, Pak Robert dan seorang sopir pribadi yang juga sekaligus paman Intan. Kemacetan yang menumpuk hampir setiap lampu merah dan sengatan matahari tak mengurutkan niat mereka. “Semua harus selesai hari ini. Harus.” Sejenak Pak Robert terpejam. Dingin udara dalam mobil tak berhasil mengusir atmosfer panas dan ambisinya yang membara. Sejenak kepalanya menoleh ke belakang. Memastikan brangkas hitam berisi surat-surat penting miliknya masih di bangku tengah. Satu-satunya senjata terakhir yang Pak Robert punya hanya itu. Kalau saja negosiasi ini gagal, maka yang terakhir harus ia pertahurkan adalah PT. Cakra.Ia yakin seratus perse
Gemetaran, tangan Hana tak lagi kuasa memegangnya. Ponsel barunya tergeletak begitu saja di atas meja. Hana ganti menggigiti ujung kuku jarinya. ‘Tinggg…. Tinggg…. !!!’ Mata Hana terbelalak, panggilan masuk ganti mendarat di ponselnya. Pak Robert menghubunginya balik. Jujur Hana bingung. Menoleh ke kanan kiri tapi tak ada satu pun orang. Hana menarik napas panjang mengurai sesak di dadanya. Tidak-tidak… Ia tidak boleh mengabaikannya. Orang ini yang dari tadi ia cari. Hatinya langsung bergetar begitu nama itu muncul di atas layar ponselnya. Dengan napas yang tertahan di tenggorokan, tangan Hana be
“Kupikir-pikir memang sudah dari dulu aku harusnya pisah sama dia.” Suaranya layu, wajahnya tercenung kosong. Sudah setengah jam lamanya ia sama sekali tak menyinggung semangkuk bibir di depannya. Dari sejak bubur itu masih mengepulkan asap tipis dan aroma beras bercampur bumbu kacang sampai dingin. Sudah setengah jam juga Juni membiarkan kakaknya diam. Sampai lama-lama ia tidak tahan sendiri. “Sudahlah, Kak Feb.” Tak tahan, tangannya bergerak memeluk lengan kakaknya. “Dua bulan sudah Kak Febri kayak gini.” Api di matanya ikut padam. “Mau sampai kapan, Kak? Udah dong. Mending Kaka sekarang makan buburnya dulu deh. Enak kok. Nggak kayak dulu pas aku masih belajar masak.”
“Cie HP baru nih yee….” Usil tangan Dinda tahu-tahu menjumput ujung dagu Hana dari belakang. Tiba-tiba muncul sampai Hana melonjak kaget hampir terjatuh dari kursi kasir. Refleks menepis tangan Dinda yang justru terpingkal-pingkal melihat mimik kaget Hana yang menggemaskan. “Ishhhh…. Dinda setan… !!!” umpatnya. Telapak tangannya sudah diangkat hampir melayangkan tabokan tapi urung. Melihat Dinda terpingkal ia jadi ikut terpingkal. “Nyebelin ih….” “Lagian HP baru tuh harusnya traktiran kek. Ini anyep-anyep bae…” imbuh Dinda dengan bahasa jawanya yang medok. me “Eh, gue beli HP juga gara-gara Bos Steven ya. Enak a
“Whatt???” Dahi Intan mengerut sampai mencetak sepasang jurang kecil di antara ujung alisnya. “Seriously?” Mulutnya terperangah tak percaya. Raut kagetnya bukan tanpa alasan, Intan adalah salah satu orang yang tahu masa lalu Pak Robeert dengan Helena. “Ja-jadi? Jadi setelah selingkuh dengan kakaknya sekarang dia?” Intan sampai tak bisa merampungkan kalimatnya. Tapi baik David maupun Pak Robert tahu apa yang ia pikirkan. Apa yang membuat ekspresi tak percaya di wajahnya masih bertahan sampai sekarang. “Oh my god…” Kepala Intan menggeleng. “Sumpah nggak habis pikir aku.” “Sudahlah, Tan.” Suara Pak Robert t
Ada yang membuat kantor PT. Cakra siang ini terasa lebih panas dari biasanya bagi Pak Robert. Bukan karena pendingin ruangan yang di mana-mana banyak bocor. Tapi akhirnya kasus yang sudah 3 bulan lebih mengendap menemukan benang merahnya. Pak Robert tak mau urusan ini jadi arang dalam sekam. Ia mau Intan mengurus sampai akar. Sampai sang dalang dari dua puluh lima orang IT yang ingin melarikan diri diketahui. ‘Klekkkk….’ Gagang pintu ruangan Hana yang skarang difungsikan untuk Intan berputar. Lembaran kaca tebal yang buram melambai terbuka. Pak Robert muncul dengan setela kemeja biru telur asin dibalut taxedo hitam dengan celana khaki berwarna senada.&
“APA KAMU BILANG?!!” Benar saja, bahkan Bu Febri belum sampai merampungkan kalimatnya. “AKU?” Telunjuk Pak menuding mukanya yang sudah memerah padam. “AKU DISURUH MINTA MAAF SAMA LAKI-LAKI BANGSAT SATU ITU? NGGAK!!” “Pakkk… Tapi ini demi Hana…” Bu Febri bergelayut di lengan suaminya. “Tolong sekali ini saja, Pak. Demi Hana. Demi anak kita satu-satunya, Pak.” Suara rintihan Bu Febri terdengar begitu menyakitkan. Entah apa yang sebenarnya dipikirkan Pak Hartono sampai-sampai ia tega membiarkan sang istri mengemis. “SEKALI ENGGAK YA ENGGAK!!” Pak Hartono makin melotot, menarik lepas tangannya yang digelayuti sang istr
Setengah hari satu malam waktu terlewat. Bu Febri telah sampai kenyataan mau sebanyak apa waktu yang ia punya tak akan cukup. Ia tak akan berhasil membawa Hana pulang. Bukan karena usahanya membujuk Hana kurang. Bukan karena air mata yang jatuh masih kurang banyak. Hana sudah memberikan syarat padanya. Gadis itu berjanji mau pulang kembali ke rumah di Jakarta bersama-sama mereka setelah satu syaratnya terpenuhi. “Ibu hati-hati ya sampai di Jakarta,” bisik Hana di pintu terakhir dermaga tempat pengantar dan penumpang kapal penyeberangan harus berpisah. Dalam dekapa putrinya, susah payah Bu Febri menahan air mata. Hangat tubuh Hana. Aroma shampo yang masih sama di rambutnya. Suara centil y