“Bi-Bisa…” jawab Pak Robert terbata.
Jawabannya justru malah mengangkat kedua alis Hana. “Oh ya?” Getir di mulutnya terpaksa diusir dengan segelas koktail yang ia sesap. “Wajah Daddy bilang sebaliknya loh.” Hana mendesak. “Percuma Hana berjanji bisa cinta terus sama Daddy sampai tua kalau Daddy justru ragu.”
“Iya aku bisa, Han.” Sepang bola mata Pak Robert mendekik. Kedua alisnya terangkat tinggi-tinggi. “Aku bisa kok,” tandasnya angkuh.
Semakin angkuh Pak Robert bersikap. Hana malah semakin tahu kalau tak ada kepastian yang bisa Pak Robert janjikan. Hening akhirnya membumbung melerai mereka. Petak apartemen Pak Robert me
Setelah tiga puluh hari lamanya waktu berjalan. “Pagiiii…” Kedatangan Hana di meja makan pagi hari ini menarik pusat alam semesta rumah keluarga Hartono. Dua manusia di kanan dan kiri Hana sontak melemparkan pandangan ke arahnya. Melupakan roti lapis yang sudah habis beberapa potong. Merasa tatapannya diabaikan Hana, mereka berdua berakhir saling bertatap bingung. Untuk kurun waktu sebulan ke belakang, baru kali ini mereka melihat Hana keluar kamar lebih pagi dari biasanya. Jam 7 pagi masih tiga puluh menit lagi tapi Hana sudah keluar denga
Bangunan apartemen dua puluh lantai yang tinggi menjulang menantang langit jadi harapan terakhir Hana. Tak ada yang lebih ia inginkan sekarang selain pulang. Pulang ke tempat di mana ia lebih di hargai, lebih tenang. Dan lebih hidup. Pelarian yang terasa sungguh melelahkan. Hana tak bisa terus-terusan seperti ini. Hana tak bisa lari setiap hari. Apa yang Pak Robert mau bukan semakin dekat malah terasa semakin jauh. Semakin Hana memaksakan diri dekat dengan bapak dan ibunya, keregangan di antara mereka bertiga malah semakin terasa. Suara berdecit yang timbul dari alas sepatu Hana beradu dengan lantai terdengar sepanjang lorong. Sembari menyembunyikan wajah sayunya dari semua orang yang berpapasan dengannya, Hana terus mempercepat langkah kakinya.&
“Dua ronde??” Sepasang alias Pak Robert terangkat. Hana bisa merasakan tubuh Pak Robert berguncang menahan geli. “Hahaha…. Yakin? Emang kuat?” Tawa menyebalkannya akhirnya lepas begitu saja. “Dihhh… “ Muka Hana tertekuk. “Awas aja ya…” Lepas kalimat terakhir, bibir Hana mengatup. Bukan karena diam membisu, melainkan sekejap mata bibirnya kembali bertaut dengan bibir Pak Robert. “Umphhhhh….” Hana mulai beringsut. Badannya yang sintal mulai mencari posisi terbaik. Duduk di atas pangkuan Pak Robert. Sembari bercumbu jari-jari lentiknya bertualang di tempat lain. Telapak tangannya menarik kepala Pak Robert, jambakan-
Posisi yang tidak menguntungkan. Pak Robert melontarkan pertanyaan di momen-momen yang sangat tidak mengenakkan. Permainan baru dimulai, jantung Hana berpacu cepat mengalahkan waktu. Birahi Hana sedang tinggi-tingginya. Mana mungkin ia bisa menjawab pertanyaan Pak Robert barusan. Tak ayal, tangannya yang masih melingkar menarik leher pria di atas hingga lehernya tenggelam di tengkuk Hana. Dengus napas Pak Robert terasa di kulit leher Hana. Menambah sesnsai geli yang menjalar ke semua syaraf tubuh Hana. “Ohhhhh…. Bisakah kita membahasnya nanti saja sayanggg….???” Suara Hana terdengar mendayu. Terasa begitu erotis masuk telinga Pak Robert. Meski separuh tubuh bagian atasnya d
Kekuatan Pak Robert masih jauh lebih banyak dari Hana. Energi dan tenaganya yang fit di atas angin. Membawa game panas ini satu jam lagi juga ia masih bisa. Puncaknya masih jauh. Batang besar beruratnya masih tegak berdiri. Hana justru kebalikannya Pak Robert. Selain posisi terakhirnya yang di atas, tanda kalau ia harus yang gerak dan menggenjot batang di dalam lubang vaginanya. GElombang orgasme yang menggulung tubuhnya barusan benar-benar menguras tenaga. Tubuh bermandikan keringat terkulai lemas. Napas Hana masih memburu, detak jantungnya hampir membuat benda yang tak pernah berhenti berdetak itu keluar dari dadanya. Bukan main lelahnya, belum lagi sekarang ia harus menerima kenyataan. Permainan belum usai.&
Refleks tubuh Pak Robert menelungkup. Ia sendiri sebenarnya tak tahu apa yang barusan terjadi. Yang ia tahu, saat serpihan-serpihan pintu terbang ke arah mereka. Ia perlu melindungi Hana yang memekik keras kaget. Memasang badan untuk Hana. “Shittt…. !!!!” umpat Pak Robert tertahan. Serpihan kayu menghujani ranjang dan tubuhnya. Cukup lama ia menahan diri, menahan posisinya menutupi Hana. Tapi kulit punggung telanjangnya bisa merasakan tajam dan runcing benda-benda yang berterbngan. “TOLONG… !!! TOLONGG…. !!!’ Hana berteriak lagi. “SIAPA PUN TOLONG… !!” ‘
Rasanya seperti sekejap mata sja apartemennya lagsung berubah seperti neraka. Dalam sekejap mata waktu romantisnya dengan Hana hilang. Apartmen yang jadi saksi bisu tempat cinta mereka berdua tumbuh subur melahirkan bunga-bunga kehidupan hancur lulu lantak. Meski dengan pandangan yang kabur, sekilas Pak Robert bisa melihat Hana diseret keluar. Samar-samar ia bisa melihat Hana jatuh ke dalam pelukan ibunya. Walaupun bingung dan kelabakan Pak Robert sekarang tahu Hana sudah aman. Dirinya sendiri yang tidak aman sekarang. “MATI KAU SETAN!!!!” ‘Brakkkk…. !!!!’
Rasanya seperti satu kedipan mata. Rasanya baru sebentar Pak Robert memejamkan mata. Ia sadarkan diri saat suhu ruangan di sekitarnya terasa begitu dingin. Pandangan matanya masih kabur. Bulu matanya seolah lengket satu sama lain. Tubuhnya terasa remuk. Seperti tertindih batu besar, semua urat dan otot tubuhnya mati tak bisa digerakkan. Hanya bola mata yang masih bisa bergerak. Itu pun harus menahan rasa nyeri yang terasa seperti meneka bola matanya kuat-kuat ke dalam. “Rggghhh….” Setelah beberapa detik kesadarannya terkumpul, akhirnya ia bisa bersuara. Memanfaatkan tenggorokannya yang terasa kering, Pak Robert menggetarkan pita suara mengadunya dengan dindin
Genderang perang tak kasat mata ditabuh. Suaranya terdengar di telinga semua orang. Pintu yang digebrak paksa masih lebih sopan dari meledakkan pintu apartemen. Tapi sekarang, aroma kengeriannya tercium sama pekat. Semua orang memasang posisi siaga. “AAAAAA….. LEPASINNN… !!!” Intan lebih dulu berlari menarik dan mengevakuasi Hana. Sementara Pak Wahyu menerajang masuk, ke arah 8 orang yang sudah bersiaga. ‘Baaakkkk… Bukkk… Sraaakkk….!!!’ Satu tendangan di dada dan satu pukulan telak di belakang leher cukup menggelaprkan satu orang preman. Pak Wahyu mendarat manis, kaki memasang kuda-kuda, tangannya bersilang-silang layaknya pendekar. Tujuh orang membuka diri. Dengan cepat membentuk lingkaran dengan Pak Wakyu dan Pak Robert ada di tengah-tengahnya. ‘Plokkk… plok… plokkk…. !!!!’ Pak Hartono tersnyum licik. “Jadi ada yang mau jadi pahlawan sekarang.” Tenang ia melangkah menghampiri koper yang
Mobil Ford hitam terus melaju meski hanya berisi dua orang, Pak Robert dan seorang sopir pribadi yang juga sekaligus paman Intan. Kemacetan yang menumpuk hampir setiap lampu merah dan sengatan matahari tak mengurutkan niat mereka. “Semua harus selesai hari ini. Harus.” Sejenak Pak Robert terpejam. Dingin udara dalam mobil tak berhasil mengusir atmosfer panas dan ambisinya yang membara. Sejenak kepalanya menoleh ke belakang. Memastikan brangkas hitam berisi surat-surat penting miliknya masih di bangku tengah. Satu-satunya senjata terakhir yang Pak Robert punya hanya itu. Kalau saja negosiasi ini gagal, maka yang terakhir harus ia pertahurkan adalah PT. Cakra.Ia yakin seratus perse
Gemetaran, tangan Hana tak lagi kuasa memegangnya. Ponsel barunya tergeletak begitu saja di atas meja. Hana ganti menggigiti ujung kuku jarinya. ‘Tinggg…. Tinggg…. !!!’ Mata Hana terbelalak, panggilan masuk ganti mendarat di ponselnya. Pak Robert menghubunginya balik. Jujur Hana bingung. Menoleh ke kanan kiri tapi tak ada satu pun orang. Hana menarik napas panjang mengurai sesak di dadanya. Tidak-tidak… Ia tidak boleh mengabaikannya. Orang ini yang dari tadi ia cari. Hatinya langsung bergetar begitu nama itu muncul di atas layar ponselnya. Dengan napas yang tertahan di tenggorokan, tangan Hana be
“Kupikir-pikir memang sudah dari dulu aku harusnya pisah sama dia.” Suaranya layu, wajahnya tercenung kosong. Sudah setengah jam lamanya ia sama sekali tak menyinggung semangkuk bibir di depannya. Dari sejak bubur itu masih mengepulkan asap tipis dan aroma beras bercampur bumbu kacang sampai dingin. Sudah setengah jam juga Juni membiarkan kakaknya diam. Sampai lama-lama ia tidak tahan sendiri. “Sudahlah, Kak Feb.” Tak tahan, tangannya bergerak memeluk lengan kakaknya. “Dua bulan sudah Kak Febri kayak gini.” Api di matanya ikut padam. “Mau sampai kapan, Kak? Udah dong. Mending Kaka sekarang makan buburnya dulu deh. Enak kok. Nggak kayak dulu pas aku masih belajar masak.”
“Cie HP baru nih yee….” Usil tangan Dinda tahu-tahu menjumput ujung dagu Hana dari belakang. Tiba-tiba muncul sampai Hana melonjak kaget hampir terjatuh dari kursi kasir. Refleks menepis tangan Dinda yang justru terpingkal-pingkal melihat mimik kaget Hana yang menggemaskan. “Ishhhh…. Dinda setan… !!!” umpatnya. Telapak tangannya sudah diangkat hampir melayangkan tabokan tapi urung. Melihat Dinda terpingkal ia jadi ikut terpingkal. “Nyebelin ih….” “Lagian HP baru tuh harusnya traktiran kek. Ini anyep-anyep bae…” imbuh Dinda dengan bahasa jawanya yang medok. me “Eh, gue beli HP juga gara-gara Bos Steven ya. Enak a
“Whatt???” Dahi Intan mengerut sampai mencetak sepasang jurang kecil di antara ujung alisnya. “Seriously?” Mulutnya terperangah tak percaya. Raut kagetnya bukan tanpa alasan, Intan adalah salah satu orang yang tahu masa lalu Pak Robeert dengan Helena. “Ja-jadi? Jadi setelah selingkuh dengan kakaknya sekarang dia?” Intan sampai tak bisa merampungkan kalimatnya. Tapi baik David maupun Pak Robert tahu apa yang ia pikirkan. Apa yang membuat ekspresi tak percaya di wajahnya masih bertahan sampai sekarang. “Oh my god…” Kepala Intan menggeleng. “Sumpah nggak habis pikir aku.” “Sudahlah, Tan.” Suara Pak Robert t
Ada yang membuat kantor PT. Cakra siang ini terasa lebih panas dari biasanya bagi Pak Robert. Bukan karena pendingin ruangan yang di mana-mana banyak bocor. Tapi akhirnya kasus yang sudah 3 bulan lebih mengendap menemukan benang merahnya. Pak Robert tak mau urusan ini jadi arang dalam sekam. Ia mau Intan mengurus sampai akar. Sampai sang dalang dari dua puluh lima orang IT yang ingin melarikan diri diketahui. ‘Klekkkk….’ Gagang pintu ruangan Hana yang skarang difungsikan untuk Intan berputar. Lembaran kaca tebal yang buram melambai terbuka. Pak Robert muncul dengan setela kemeja biru telur asin dibalut taxedo hitam dengan celana khaki berwarna senada.&
“APA KAMU BILANG?!!” Benar saja, bahkan Bu Febri belum sampai merampungkan kalimatnya. “AKU?” Telunjuk Pak menuding mukanya yang sudah memerah padam. “AKU DISURUH MINTA MAAF SAMA LAKI-LAKI BANGSAT SATU ITU? NGGAK!!” “Pakkk… Tapi ini demi Hana…” Bu Febri bergelayut di lengan suaminya. “Tolong sekali ini saja, Pak. Demi Hana. Demi anak kita satu-satunya, Pak.” Suara rintihan Bu Febri terdengar begitu menyakitkan. Entah apa yang sebenarnya dipikirkan Pak Hartono sampai-sampai ia tega membiarkan sang istri mengemis. “SEKALI ENGGAK YA ENGGAK!!” Pak Hartono makin melotot, menarik lepas tangannya yang digelayuti sang istr
Setengah hari satu malam waktu terlewat. Bu Febri telah sampai kenyataan mau sebanyak apa waktu yang ia punya tak akan cukup. Ia tak akan berhasil membawa Hana pulang. Bukan karena usahanya membujuk Hana kurang. Bukan karena air mata yang jatuh masih kurang banyak. Hana sudah memberikan syarat padanya. Gadis itu berjanji mau pulang kembali ke rumah di Jakarta bersama-sama mereka setelah satu syaratnya terpenuhi. “Ibu hati-hati ya sampai di Jakarta,” bisik Hana di pintu terakhir dermaga tempat pengantar dan penumpang kapal penyeberangan harus berpisah. Dalam dekapa putrinya, susah payah Bu Febri menahan air mata. Hangat tubuh Hana. Aroma shampo yang masih sama di rambutnya. Suara centil y