Sudah sejam lebih Pak Robert bercerita dan baru kali ini Hana merasa perlu bangkit dari kursinya. Bergerak cepat menyeberang meja, memeluk tubuh Pak Robert yang sudah tak kuasa lagi menahan rasa sakit. Tubuhnya menggigil, air mata berderai jatuh bak air terjun membelah kedua pipinya.
“Malam itu aku termui Helena, Han. Di-dia ada di sana.”
Tangisnya makin menjadi-jadi. Napasnya tersengal, suaranya parau. Pelukan Hana tak sanggup menghentikan badai pedih yang murka mencabik-cabik Pak Robert.
“Udah, Daddy… Udahh….” Hana berbisik, mengeratkan pelukannya.
“Nggak, Han. Enggak…&rdquo
Kenapa luar biasa karena ini tidak mudah mengalahkan diri sendiri. Pak Robert berhasil melakukannya. Cerita masa lalu yang terjadi antara Pak Robert dan Bapak Hana bukan melumpuhkan justru menguatkan. Bukti kalau memang Pak Robert punya hati yang selembut kapas. Hana tak pernah tahu kalau bapaknya pernah punya sejarah busuk dengan perempuan yang bukan ibunya. Sekalinya tahu, semua sudah tidak ada gunanya. Mau protes apa lagi? Hubungan Hana dengan pria itu terlanjur merenggang. Rasanya mustahil, biarlah mereka memilih jalannya sendiri-sendiri. “Itu yang jadi pikiranku, Dad.” Malam semakin matang, emosi yang tadinya meluap-luap sudah sempurna lega. Sekarang hanya ada Hana, Pak Robert dan s
“Bi-Bisa…” jawab Pak Robert terbata. Jawabannya justru malah mengangkat kedua alis Hana. “Oh ya?” Getir di mulutnya terpaksa diusir dengan segelas koktail yang ia sesap. “Wajah Daddy bilang sebaliknya loh.” Hana mendesak. “Percuma Hana berjanji bisa cinta terus sama Daddy sampai tua kalau Daddy justru ragu.” “Iya aku bisa, Han.” Sepang bola mata Pak Robert mendekik. Kedua alisnya terangkat tinggi-tinggi. “Aku bisa kok,” tandasnya angkuh. Semakin angkuh Pak Robert bersikap. Hana malah semakin tahu kalau tak ada kepastian yang bisa Pak Robert janjikan. Hening akhirnya membumbung melerai mereka. Petak apartemen Pak Robert me
Setelah tiga puluh hari lamanya waktu berjalan. “Pagiiii…” Kedatangan Hana di meja makan pagi hari ini menarik pusat alam semesta rumah keluarga Hartono. Dua manusia di kanan dan kiri Hana sontak melemparkan pandangan ke arahnya. Melupakan roti lapis yang sudah habis beberapa potong. Merasa tatapannya diabaikan Hana, mereka berdua berakhir saling bertatap bingung. Untuk kurun waktu sebulan ke belakang, baru kali ini mereka melihat Hana keluar kamar lebih pagi dari biasanya. Jam 7 pagi masih tiga puluh menit lagi tapi Hana sudah keluar denga
Bangunan apartemen dua puluh lantai yang tinggi menjulang menantang langit jadi harapan terakhir Hana. Tak ada yang lebih ia inginkan sekarang selain pulang. Pulang ke tempat di mana ia lebih di hargai, lebih tenang. Dan lebih hidup. Pelarian yang terasa sungguh melelahkan. Hana tak bisa terus-terusan seperti ini. Hana tak bisa lari setiap hari. Apa yang Pak Robert mau bukan semakin dekat malah terasa semakin jauh. Semakin Hana memaksakan diri dekat dengan bapak dan ibunya, keregangan di antara mereka bertiga malah semakin terasa. Suara berdecit yang timbul dari alas sepatu Hana beradu dengan lantai terdengar sepanjang lorong. Sembari menyembunyikan wajah sayunya dari semua orang yang berpapasan dengannya, Hana terus mempercepat langkah kakinya.&
“Dua ronde??” Sepasang alias Pak Robert terangkat. Hana bisa merasakan tubuh Pak Robert berguncang menahan geli. “Hahaha…. Yakin? Emang kuat?” Tawa menyebalkannya akhirnya lepas begitu saja. “Dihhh… “ Muka Hana tertekuk. “Awas aja ya…” Lepas kalimat terakhir, bibir Hana mengatup. Bukan karena diam membisu, melainkan sekejap mata bibirnya kembali bertaut dengan bibir Pak Robert. “Umphhhhh….” Hana mulai beringsut. Badannya yang sintal mulai mencari posisi terbaik. Duduk di atas pangkuan Pak Robert. Sembari bercumbu jari-jari lentiknya bertualang di tempat lain. Telapak tangannya menarik kepala Pak Robert, jambakan-
Posisi yang tidak menguntungkan. Pak Robert melontarkan pertanyaan di momen-momen yang sangat tidak mengenakkan. Permainan baru dimulai, jantung Hana berpacu cepat mengalahkan waktu. Birahi Hana sedang tinggi-tingginya. Mana mungkin ia bisa menjawab pertanyaan Pak Robert barusan. Tak ayal, tangannya yang masih melingkar menarik leher pria di atas hingga lehernya tenggelam di tengkuk Hana. Dengus napas Pak Robert terasa di kulit leher Hana. Menambah sesnsai geli yang menjalar ke semua syaraf tubuh Hana. “Ohhhhh…. Bisakah kita membahasnya nanti saja sayanggg….???” Suara Hana terdengar mendayu. Terasa begitu erotis masuk telinga Pak Robert. Meski separuh tubuh bagian atasnya d
Kekuatan Pak Robert masih jauh lebih banyak dari Hana. Energi dan tenaganya yang fit di atas angin. Membawa game panas ini satu jam lagi juga ia masih bisa. Puncaknya masih jauh. Batang besar beruratnya masih tegak berdiri. Hana justru kebalikannya Pak Robert. Selain posisi terakhirnya yang di atas, tanda kalau ia harus yang gerak dan menggenjot batang di dalam lubang vaginanya. GElombang orgasme yang menggulung tubuhnya barusan benar-benar menguras tenaga. Tubuh bermandikan keringat terkulai lemas. Napas Hana masih memburu, detak jantungnya hampir membuat benda yang tak pernah berhenti berdetak itu keluar dari dadanya. Bukan main lelahnya, belum lagi sekarang ia harus menerima kenyataan. Permainan belum usai.&
Refleks tubuh Pak Robert menelungkup. Ia sendiri sebenarnya tak tahu apa yang barusan terjadi. Yang ia tahu, saat serpihan-serpihan pintu terbang ke arah mereka. Ia perlu melindungi Hana yang memekik keras kaget. Memasang badan untuk Hana. “Shittt…. !!!!” umpat Pak Robert tertahan. Serpihan kayu menghujani ranjang dan tubuhnya. Cukup lama ia menahan diri, menahan posisinya menutupi Hana. Tapi kulit punggung telanjangnya bisa merasakan tajam dan runcing benda-benda yang berterbngan. “TOLONG… !!! TOLONGG…. !!!’ Hana berteriak lagi. “SIAPA PUN TOLONG… !!” ‘