Tak ada yang bisa dilakukan Pak Robert. Tubuhnya seperti dahan pohon bonsai yang dicencang tali kawat, aku, diam membisu tak bergerak. Siapa yang mengira kalau Hana akan langsung menyergap bibirnya. Sepanjang lebih dari sepuluh detik berjalan, Pak Robert cuma bisa diam tak merespon apa pun.
‘Shhhh….’
Hana yang merasa musuhnya tak merespon melepaskan ciuman panjangnya. Biru bola matanya menangkap Pak Robert yang terbelalak kosong. Bingung.
“Hahahhaa…. Pak Robert apaan sih,” protes Hana geli. “Nggak usah liat Hana kayak gitu deh. Kayak nggak pernah dicium Hana aja.”
“Iya em
Siapa yang menyangka tingkah usil Pak Robert berhasil membuat Hana tersipu malu. Pipinya memerah, mengembang ditarik dua simpul bibirnya yang melebar. Sebelum Pak Robert sempat menangkap ekspresi malu-malunya. Hana buru-buru menenggelamkan wajahnya lagi ke dalam pelukan Pak Robert. “Daddy ah…. Baru juga tadi pagi udah loh,” protes Hana. Namun mereka berdua sama-sama tahu apa yang terjadi di bawah sana. Hana tak menarik tangannya dari tempat di antara kedua paha Pak Robert. Boro-boro menarik, Hana justru membetulkan posisi tangannya. Jari-jari lentik menggenggam batang besar tak bertulang. Mengurutnya perlahan dari pangkal yang ditumbuhi buu halus hingga batas daging yang diiris sa
Gelombang yang besar merubuhka tubuh Hana. Ia jatuh bermandikan keringat di atas tubuh Paak Robert. Napasnya terengah-engah, tenggorokannya kering, tubuhnya bergetar menyesuaikan diri dengan benda besar yang sudah sepenuhnya membenam di dalam labangnya. “Ummmphhhhh….” Tak mau tempo permainan mereka surut, Pak Robert ganti menyambar bibir Hana. Memagut bibir dan melingkarkan lengannya memeluk Hana. Tubuh mereka yang bermandikan keringat membuat sedikit saja gerakan berdampak banyak. “Ammmpppphhhhh….!!!!” Hana tersentak tertahan. Bibirnya masih ditahan Pak Robert. Bukan itu yang membuat Hana
Malam menjelang di ujung permainan. Hana paling tak mengira hari berat berjejal tangis ternyata berhasil ia lewati begitu saja. Di dalam kamar apartemen mewah Pak Robert pemandangan indah tersuguh. Menahan tubuh Hana yang berbalut piyama merah muda berdiri mematung di depan jendela. Langit jingga terbakar bak lembaran tirai besar. Terhampar sekuas mata memandang langit menuju bulatan kuning memerah yang bersembunyi di antara awan dan dua pucuk gedung pencakar langit. Semburat ungu kehitaman mulai mengambil alih pelan-pelan senja yang manis. Ia seolah tak rela sinar matahari senja bertahan lebih lama menyiram cantik wajah Hana dan bola matanya yang biru nan dalam. “Sudah mandinya sayang?”
‘Tinggg… Tinggg…. !!!’ Bunyi bel pintu apartemen terdengar berbunyi setelah tiga puluh menit kurang lebih lamanya Hana membenamkan wajahnya di dalam bantal. Peduli setan, Hana tak mau tahu dan tak ingin tahu manusia jenis apa di balik pintu sana yang membunyikan bel. Dia masih marah sama Pak Robert. Titik! “Oh iya, Pak. Terima kasih ya.” Sayup-sayup terdengar suara Pak Robert berbincang. “Iya komplit kok. Saya kasih tip nanti ya, Pak.”&nb
Ada pepatah lama yang bilang kalau bukan jawaban yang penting dari sebuah impian melainkan bagaimana jalan mendapatkannya. Bagi Pak Robert, mendapatkan jawaban dari Hana lebih besar artinya dari semua project yang pernah ia kerjakan. Lebih berharga nilainya dari semua bisnis yang pernah ia bangun dan berhasil. Saking tak percayanya, Pak Robert sampai duduk diam mematung. “A-aku— aku diterima?” Suaranya terbata-bata, lirih hampir kalah dengan dengung pendingin ruangan. “Ya iyalah…. Pake ditanya lagi,” jawab Hana di pengujung ciuman, “Ta-tapi… Bola mata Pak Robert limbung m
Hana mengangguk ragu. Mimik mukanya tak berhasil menutupi keraguan yang ia rasakan. “Terserh Daddy.” Ludah Hana terasa menggumpal sebesar biji salak. Terpaksa ia telan bulat-bulat demi menyeka tenggorokannya yang mendadak tersekat. “A-aku cuma butuh alasan agar semua ini terlihat masuk akal,” tandasnya. Ada banyak alasan lain yang sebenarnya Hana punya. Hana baru sadar kalau selama ini ia terlena dengan hidup enak yang kedua orang tuanya berikan. Ia sampai tak tahu semua hal yang mereka rahasiakan. Bagus kalau tak ada dampaknya ke Hana. Sialnya, batu besar yang tengah Hana hadapi sekarang sebelum bisa benar-benar menerima cinta Pak Robert adalah bapaknya. Hana harus tahu kenyataannya.&nb
Robert yang sudah gelap mata tak bisa menahan lagi amarahnya. Napasnya memburu, berdebur cepat sampai-sampai tak sadar melempar satu-satunya ponsel yang ia punya. ‘Prakkkk…. !!!!’ Kaca digital dan body alumunium bertebaran, tercecerai, terburai berserakan di lantai. “ARRGHHHHHH…. !!!!” Teriakan keras terdengar sampai keluar rumah. Robert meraup wajahnya, menjambak rambut. “KENAPA SIH??! ARGGGHHHH… !!!! KENAPA KAMU TEGA BANGET BOONGIN AKU!!!” Tinjunya melayang, bukan cuma sekali, beberapa kali tanpa amp
Sudah sejam lebih Pak Robert bercerita dan baru kali ini Hana merasa perlu bangkit dari kursinya. Bergerak cepat menyeberang meja, memeluk tubuh Pak Robert yang sudah tak kuasa lagi menahan rasa sakit. Tubuhnya menggigil, air mata berderai jatuh bak air terjun membelah kedua pipinya. “Malam itu aku termui Helena, Han. Di-dia ada di sana.” Tangisnya makin menjadi-jadi. Napasnya tersengal, suaranya parau. Pelukan Hana tak sanggup menghentikan badai pedih yang murka mencabik-cabik Pak Robert. “Udah, Daddy… Udahh….” Hana berbisik, mengeratkan pelukannya. “Nggak, Han. Enggak…&rdquo