Dua pasang bibir menyatu, seiring embusan napas yang memburu. Hana yang memulai ini semua sadar mereka berdua tak punya apa-apa lagi untuk ditanyakan. Percuma, apa yang terjadi di antara dirinya dan Pak Robert sudah macam benang kusut yang entah di mana ujung dan pangkalnya.
“Mphhhhh…. !!”
Dengung pendingin ruangan menyambut panasnya dua tubuh mereka. Hana mulai melenguh begitu Pak Robert mulai sadar apa yang terjadi. Ia menarik bibir Hana stenggelam semakin dalam. Tangannya bertualang ke belakang kepala Hana lewat leher.
“Shhhh….” Ciuman terjeda singkat, Hana dengan senyum genitnya menatap teduh mata Pak Robert. “Aku nggak bisa jawab sekarang nggak papa k
“Enam sembilan?” Lamat Hana memperhatikan Pak Robert di bawahnya. “Iya enam sembilan sayang.” Kedua tangan Pak Robert melingkari tubuh Hana dan mendekapnya. “Kamu nggak tahu enam sembilan?” Di atas dada Pak Robert Hana bingung. Entah harus mengangguk atau menggeleng. “A-aku pernah denger sih, Pak. Ta-tapi belum pernah.” ‘Muachhhh…’ Satu kecupan kecil nan mesra mendarat di kening Hana. “Kalau gitu kamu harus cobain. Semua hal di dunia ini ada kali pertamanya kan say
Tangan Pak Robert ternyata mengincar tempat lan. Sesuatu yang tak pernah Hana waspadai. Ia benar-benar tidak siap kalau ternyata jari Pak Robert mengincar biji klitorisnya. “AKHHHHHH…. DADDYYYY…. !!!” Tubuh Hana menggelinjang hebat. Rasa nikmat bertumpuk berkali-kali lipat. Batang yang keluar masuk menyesaki dinding vagina dan jari Pak Robert yang menari-nari dengan biji sensitifnya. Keringat semakin deras bercucuran, tubuh Hana bak mesin jahit yang pedalnya ada di tangan Pak Robert. Ia ingin bergenti tapi ini semua terlalu nikmat untuk dlewatkan. Alhasil, tubuhnya terus bergerak maju mundur, naik turun dengan tempo cepat.&n
Setengah jam lamanya rasa kesal Hana menggantung. Tiga puluh menit sendiri ia habiskan hanya untuk mendengarkan Pak Robert berdebat dengan manusia di seberang telepon sana. Sepertinya urusan yang serius, Pak Robert bahkan sampai turun dari ranjang. Menatap jauh ke luar jendela dengan minuman soda di tangannya. “Iya sudah oke! Fine!” nada bicara pria itu meninggi di akhir kalimat. “Aku ke kantor sekarang. Tunggu sebentar!” Telepon dimatikan, tapi Hana sedikit pun tak merasa lega. Bola matanya yang bergerak mengamati Pak Robert yang gusar bolak balik dapur dan kamar mandi. Dari gerakannuya, mustahil Pak Robert mau melanjutkan obrolan mereka berdua tadi. Apalagi permainan mereka yang belum sampai puncak.&nbs
Suara yang bisa dipastikan bukan keluar dari mulut Hana maupun Halimah. Sontak saja, sepasang kaki Hana melangkah cepat ke ranjang tidur yang diputari kain tirai warna hijau ‘Srakkkk….’ Senyumnya mengembang menyambut Hana saat tirai terbuka. Hana tak kuasa membendung haru melihat ibunya sekarang sudah bisa tersenyum.“Ibuu…. “Rasa bahagia yang tak bisa lagi diungkapkan dengan kata-kata. Tubuh Hana berhambur, dua lengannya terbuka lebar memeluk Ibunya dengan hati-hati.“Akhirnya ibu bisa ketemu kamu lagi sayang…” ucap Sang Ibu setengah berbisik. Menunjukkan tenaganya yang belum sempurna pulih, namun tak bisa mengelak dari rasa senangnya melihat Hana.“Hana di sini kok, Bu.&
“Ni—” Bahkan untuk merampungkan satu kata utuh pun Hana tak sanggup. Napasnya tersengal, lidahnya kelu. “Ni-nikah?” tandasnya terseok-seok. Seperti disambar petir di siang bolong, Hana kaget bukan kepalang. Ingin rasanya menarik kembali tawaran yang terlanjur ia berikan pada sang ibu. Rasanya ingin memutar waktu kembali. Kalau saja Hana tahu permintaan ibunya. Hana tak akan memberikan tawaran satu permintaan padanya. “Nikah, Bu?” Pandangan Hana yang tadinya kabur karena air mata mendadak jadi bening cerah seketika. Ia tidak sedang bermimpi. Inilah kenyataan yang harus ia hadapi. “Iya nikah, Han.” Ibu Hana mengangguk lemah. “Sudah ibu bilang
Suara knalpot mobil sport memekakkan telinga. Deru mesin 5000 tenaga kuda mengalahkan suara kendaran mana saja yang beredar sepanjang jalan raya. Puluhan pasang mata tersedot perhatiannya. Lebih-lebih lagi satu mobil dan penumpang dua motor di kiri kanan saat mobil merah tersebut berhenti di lampu merah. Semua mata tampak kagum sekaligus iri melihat kemilapnya body mbil 3 miliar lebih di sebelahnya. Tapi sekejap kemudian tatapan mereka berubah miris saat menangkap sang pengemudi. Seorang perempuan muda menangis sesenggukan di dalam. “Lihat deh, Pa. Buat apa naik mobil mewah kalau nangis. Mending kita ya, naik motor butut tapi bahagia,” ucap seorang ibu-ibu yang duduk di belakang pada suami di depannya. Tentu saja dengan suara bisik-bisik yang tak bisa didengar
Hening ternyata menyergap kamar apartemen lebih lama dari yang mereka berdua kira. Keduanya sama-sama membisu telentang di atas ranjang king size menghadp langit-langit yang berhias ukiran mengelilingi lampu. Bukan karena mereka betah dengan posisi ini, berulang kali Pak Robert coba mengajak Hana bicara. Melempar gurauan atau candaan yang sekiranya bisa mencairkan suasana. Tapi respon Hana masih sama. Dari awal ia hanya menjawab ‘iya’ atau ‘tidak’. Sisanya tidak lebih dari gelengan kepala atau gestur tubuh. “Aku bukan orang yang gampang nyerah, Han.” Suara Pak Robert limbung. Tak ada muatan emosi di dalamnya. “Baru kali ini kamu membuatku menyerah.” Kepalanya berputar, menoleh Hana di sebelahnya yang masih tak bergeming. &ld
Tak ada yang bisa dilakukan Pak Robert. Tubuhnya seperti dahan pohon bonsai yang dicencang tali kawat, aku, diam membisu tak bergerak. Siapa yang mengira kalau Hana akan langsung menyergap bibirnya. Sepanjang lebih dari sepuluh detik berjalan, Pak Robert cuma bisa diam tak merespon apa pun. ‘Shhhh….’ Hana yang merasa musuhnya tak merespon melepaskan ciuman panjangnya. Biru bola matanya menangkap Pak Robert yang terbelalak kosong. Bingung. “Hahahhaa…. Pak Robert apaan sih,” protes Hana geli. “Nggak usah liat Hana kayak gitu deh. Kayak nggak pernah dicium Hana aja.” “Iya em