“Ni—” Bahkan untuk merampungkan satu kata utuh pun Hana tak sanggup. Napasnya tersengal, lidahnya kelu. “Ni-nikah?” tandasnya terseok-seok.
Seperti disambar petir di siang bolong, Hana kaget bukan kepalang. Ingin rasanya menarik kembali tawaran yang terlanjur ia berikan pada sang ibu. Rasanya ingin memutar waktu kembali. Kalau saja Hana tahu permintaan ibunya. Hana tak akan memberikan tawaran satu permintaan padanya.
“Nikah, Bu?” Pandangan Hana yang tadinya kabur karena air mata mendadak jadi bening cerah seketika. Ia tidak sedang bermimpi. Inilah kenyataan yang harus ia hadapi.
“Iya nikah, Han.” Ibu Hana mengangguk lemah. “Sudah ibu bilang
Suara knalpot mobil sport memekakkan telinga. Deru mesin 5000 tenaga kuda mengalahkan suara kendaran mana saja yang beredar sepanjang jalan raya. Puluhan pasang mata tersedot perhatiannya. Lebih-lebih lagi satu mobil dan penumpang dua motor di kiri kanan saat mobil merah tersebut berhenti di lampu merah. Semua mata tampak kagum sekaligus iri melihat kemilapnya body mbil 3 miliar lebih di sebelahnya. Tapi sekejap kemudian tatapan mereka berubah miris saat menangkap sang pengemudi. Seorang perempuan muda menangis sesenggukan di dalam. “Lihat deh, Pa. Buat apa naik mobil mewah kalau nangis. Mending kita ya, naik motor butut tapi bahagia,” ucap seorang ibu-ibu yang duduk di belakang pada suami di depannya. Tentu saja dengan suara bisik-bisik yang tak bisa didengar
Hening ternyata menyergap kamar apartemen lebih lama dari yang mereka berdua kira. Keduanya sama-sama membisu telentang di atas ranjang king size menghadp langit-langit yang berhias ukiran mengelilingi lampu. Bukan karena mereka betah dengan posisi ini, berulang kali Pak Robert coba mengajak Hana bicara. Melempar gurauan atau candaan yang sekiranya bisa mencairkan suasana. Tapi respon Hana masih sama. Dari awal ia hanya menjawab ‘iya’ atau ‘tidak’. Sisanya tidak lebih dari gelengan kepala atau gestur tubuh. “Aku bukan orang yang gampang nyerah, Han.” Suara Pak Robert limbung. Tak ada muatan emosi di dalamnya. “Baru kali ini kamu membuatku menyerah.” Kepalanya berputar, menoleh Hana di sebelahnya yang masih tak bergeming. &ld
Tak ada yang bisa dilakukan Pak Robert. Tubuhnya seperti dahan pohon bonsai yang dicencang tali kawat, aku, diam membisu tak bergerak. Siapa yang mengira kalau Hana akan langsung menyergap bibirnya. Sepanjang lebih dari sepuluh detik berjalan, Pak Robert cuma bisa diam tak merespon apa pun. ‘Shhhh….’ Hana yang merasa musuhnya tak merespon melepaskan ciuman panjangnya. Biru bola matanya menangkap Pak Robert yang terbelalak kosong. Bingung. “Hahahhaa…. Pak Robert apaan sih,” protes Hana geli. “Nggak usah liat Hana kayak gitu deh. Kayak nggak pernah dicium Hana aja.” “Iya em
Siapa yang menyangka tingkah usil Pak Robert berhasil membuat Hana tersipu malu. Pipinya memerah, mengembang ditarik dua simpul bibirnya yang melebar. Sebelum Pak Robert sempat menangkap ekspresi malu-malunya. Hana buru-buru menenggelamkan wajahnya lagi ke dalam pelukan Pak Robert. “Daddy ah…. Baru juga tadi pagi udah loh,” protes Hana. Namun mereka berdua sama-sama tahu apa yang terjadi di bawah sana. Hana tak menarik tangannya dari tempat di antara kedua paha Pak Robert. Boro-boro menarik, Hana justru membetulkan posisi tangannya. Jari-jari lentik menggenggam batang besar tak bertulang. Mengurutnya perlahan dari pangkal yang ditumbuhi buu halus hingga batas daging yang diiris sa
Gelombang yang besar merubuhka tubuh Hana. Ia jatuh bermandikan keringat di atas tubuh Paak Robert. Napasnya terengah-engah, tenggorokannya kering, tubuhnya bergetar menyesuaikan diri dengan benda besar yang sudah sepenuhnya membenam di dalam labangnya. “Ummmphhhhh….” Tak mau tempo permainan mereka surut, Pak Robert ganti menyambar bibir Hana. Memagut bibir dan melingkarkan lengannya memeluk Hana. Tubuh mereka yang bermandikan keringat membuat sedikit saja gerakan berdampak banyak. “Ammmpppphhhhh….!!!!” Hana tersentak tertahan. Bibirnya masih ditahan Pak Robert. Bukan itu yang membuat Hana
Malam menjelang di ujung permainan. Hana paling tak mengira hari berat berjejal tangis ternyata berhasil ia lewati begitu saja. Di dalam kamar apartemen mewah Pak Robert pemandangan indah tersuguh. Menahan tubuh Hana yang berbalut piyama merah muda berdiri mematung di depan jendela. Langit jingga terbakar bak lembaran tirai besar. Terhampar sekuas mata memandang langit menuju bulatan kuning memerah yang bersembunyi di antara awan dan dua pucuk gedung pencakar langit. Semburat ungu kehitaman mulai mengambil alih pelan-pelan senja yang manis. Ia seolah tak rela sinar matahari senja bertahan lebih lama menyiram cantik wajah Hana dan bola matanya yang biru nan dalam. “Sudah mandinya sayang?”
‘Tinggg… Tinggg…. !!!’ Bunyi bel pintu apartemen terdengar berbunyi setelah tiga puluh menit kurang lebih lamanya Hana membenamkan wajahnya di dalam bantal. Peduli setan, Hana tak mau tahu dan tak ingin tahu manusia jenis apa di balik pintu sana yang membunyikan bel. Dia masih marah sama Pak Robert. Titik! “Oh iya, Pak. Terima kasih ya.” Sayup-sayup terdengar suara Pak Robert berbincang. “Iya komplit kok. Saya kasih tip nanti ya, Pak.”&nb
Ada pepatah lama yang bilang kalau bukan jawaban yang penting dari sebuah impian melainkan bagaimana jalan mendapatkannya. Bagi Pak Robert, mendapatkan jawaban dari Hana lebih besar artinya dari semua project yang pernah ia kerjakan. Lebih berharga nilainya dari semua bisnis yang pernah ia bangun dan berhasil. Saking tak percayanya, Pak Robert sampai duduk diam mematung. “A-aku— aku diterima?” Suaranya terbata-bata, lirih hampir kalah dengan dengung pendingin ruangan. “Ya iyalah…. Pake ditanya lagi,” jawab Hana di pengujung ciuman, “Ta-tapi… Bola mata Pak Robert limbung m