Nabila masuk ke kamar dan menghempaskan tas-nya dengan emosi yang meluap-luap. Dia kesal. Rencananya mengajak Hanif bekerja sama untuk menghancurkan rumah tangga Nazwa gagal total. Hanif sama sekali tidak tertarik. Percakapannya dengan Hanif pun seketika membayangi. "Apa-apaan?" "Ya, saya mengajak Anda bekerja sama." "Bekerja sama dalam menghancurkan rumah tangga orang?" Hanif menggeleng tidak terima. "Maaf, saya nggak berminat." Nabila terkejut mendengar penolakan itu. "Lho kenapa? Bukannya ini tawaran yang menarik? Anda berkesempatan memiliki Nazwa. Dan saya sudah membantu memudahkan jalannya." "Maaf sekali lagi. Sebelumnya kita nggak saling kenal. Lalu tiba-tiba Mbak datang mengaku sebagai pelakor, mengajak saya bekerja sama untuk menghancurkan rumah tangga orang?" Hanif menatap Nabila tak percaya. "Apa Mbak nggak tahu, jadi pelakor itu dosanya besar? Siksaannya pedih di akhirat. Lagi pula kenapa Mbak nggak cari laki-laki lain saja yang belum beristri? Kenapa harus suami orang
Tanpa terasa satu bulan sudah terlewati. Keadaan Reza makin membaik. Pun keadaan rumah tangganya. Diam-diam Reza masih sering menghubungi Nabila. Entah itu lewat chat atau bertemu langsung, tapi kali ini Reza pintar menyembunyikan perselingkuhannya. Hingga pernikahan mereka terlihat tentram saja. Tidak ada masalah yang berarti selain pertengkaran-pertengkaran kecil yang mewarnai biduk rumah tangga mereka. Hari ini hari pertama Reza mulai bekerja kembali setelah sembuh dari operasi. Pagi itu Reza memasuki rumah sakit yang agak sepi dari biasanya, hanya ada beberapa pekerja Cleaning Service yang tengah mengepel lantai menyapanya. "Pagi, Pak Reza." Reza hanya tersenyum dan mengangguk. Kaki panjangnya terus melangkah. Dia tak melihat temannya yang biasa dia lihat jika datang di pagi hari. Semuanya tampak sepi. Sesampainya di depan ruang kerjanya, Reza membuka pintu bersamaan dengan suara ledakan dan letupan balon mengagetkan. Reza seketika terperanjat mendengar suara itu. "Selamat da
Nabila tersenyum senang. "Kalau gitu kapan kamu ceraikan Nazwa?" Pertanyaan itu spontan membuat Reza tersedak-sedak. Wajah pria itu bahkan terlihat memerah. Nabila melotot. "Ya ampun, Za! Minum dulu." Nabila memberi Reza minum. "Kenapa, sih?" Nabila menatap Reza khawatir. Setelah sedaknya berhenti barulah pria itu bicara. "Kamu ngawur." Reza terbatuk-batuk kecil, kerongkongannya terasa pedas. Dia menenggak air lagi. Nabila mengernyit. "Ngawur apa sih?" "Aku nggak mungkin menceraikan Nazwa," ucapnya sambil kembali meletakkan gelas di meja. "Oh itu doang bisa bikin kamu tersedak, Za? Ya ampun. Lagian kenapa nggak mungkin? Za kan kamu udah tahu gimana kelakuan Nazwa sebenarnya. Aku juga bisa kok jadi istri yang jauh lebih baik buat kamu dibanding dia. Aku bisa kasih kamu keturunan. Kamu cinta kan sama aku? Aku lebih bisa bahagiakan dan ngertiin kamu. Kamu sadar itu kan?" "Bukan itu masalahnya, Bil." Mereka bertatapan. "Lalu apa? Za kamu tahu nggak sih orang tua aku nanyain terus k
Reza kembali melanjutkan tugasnya, yaitu mengecek keadaan pasien rawat inap. Dokter mengenakan snelli putih itu memasuki ruang Anggrek 1. "Selamat siang," sapanya sambil tersenyum ramah menatap para pasien yang sebagian besar adalah bapak-bapak. Saat itu pukul satu siang, sebagian besar pasien baru menyelesaikan jatah makan siangnya. "Siang, Dok," jawab beberapa pasien. Reza mendatangi pasien di tempat tidur pertama yang terletak di dekat pintu. Dia adalah seorang bapak-bapak yang dilihat dari perawakannya berusia sekitar 50an tahun. Bapak itu lalu meletakkan piringnya yang sudah kosong, hanya menyisakan sedikit sisa nasi, di atas nakas kala melihat kedatangan dokter Reza. Dokter Reza tersenyum. "Dengan Pak Widodo?" Reza melihat nama yang terdapat pada gelang identitas pasien. Pak Widodo mengangguk dan menyandar di sandaran tempat tidurnya. "Sakit apa, Pak?" tanya Reza. "Serangan jantung ringan, Dok," jawab pria berkulit gelap dan tambun itu. "Sudah diperiksa sama dokter spes
"Sebenarnya aku mau ajak kamu jalan-jalan sih kemana gitu sebelum pulang." Akhirnya Reza memutuskan mengantar Nabila pulang ke rumahnya. Nabila senang bukan main. Namun, sesampainya dalam mobil, gadis itu meminta lebih. "Jangan aneh-aneh ya, Bil. Aku mau ngantar kamu pulang aja udah syukur harusnya." Reza fokus menyetir. "Kamu kok jadi gitu, sih? Perhitungan sama aku." Nabila berdecak, wajahnya cemberut. "Bukannya perhitungan cuman kan untuk saat ini aku nggak bisa keluar lama-lama, keadaannya belum memungkinkan. Nanti Nazwa bisa curiga. Kamu ngerti nggak, sih?" Nabila agak terkejut mendengarnya. Dari ucapannya kelihatannya Reza serius dengan ucapannya. Dia jadi makin kesal. "Iya, aku ngerti. Oke deh aku nggak akan macam-macam. Cuman kan aku tuh kangen gitu sama kita yang dulu, kangen kamu yang selalu ada buat aku." "Kamu harus sabar ...." Nabila terdiam, melempar pandang ke luar jendela, melihat gedung-gedung pencakar langit. Dia kesal mendengar jawaban Reza yang itu-itu saja.
"Risma kapan datang?" tanya Reza spontanitas. Mendengar namanya dipanggil, perempuan berambut panjang sepinggang dan pirang coklat itu menoleh. Wajah gadis itu pun tak kalah semringah melihat siapa yang datang. "Kak Reza!" Risma berdiri, memeluk kakaknya erat-erat. "Kangen banget ...." Nazwa hanya tersenyum senang melihat keakraban kakak-adik itu. Reza juga memeluk erat tubuh gadis mungil itu. "Hei, kapan datang?" tanya Reza lagi setelah keduanya melepas pelukan. Reza masih menatap adiknya tak percaya. Penampilan gadis itu sudah banyak berubah dari sebelum dia berangkat ke Paris. Badannya lebih kurus dari sebelum berangkat. Rambutnya pun panjang bahkan pirang. "Barusan tadi. Aku kangen banget sama Kak Nazwa makanya langsung ke sini." "Enggak, maksudnya kapan pulang dari Paris? Kok nggak bilang-bilang. Tahu gitu kan bisa kakak jemput dulu." Ya, pasca pernikahan Reza dan Nazwa terlaksana, Risma langsung pergi ke Paris untuk menjalani pendidikan S1 nya. Sejak itu Risma tak pernah pu
Jam makan sore bersama sudah mereka bertiga lalui. Menjelang maghrib Risma pamit pulang. "Kirim salam sama Mama dan Papa di rumah, jangan lupa." Nazwa mengingatkan lagi ketika dia berdada ria dengan Risma yang sudah masuk ke mobilnya. "Siip," sahut gadis berusia dua puluh satu tahun itu. Nazwa masih tersenyum, memperhatikan mobil yang sudah melaju meninggalkan halaman rumah yang luas bahkan ketika SUV hitam itu sudah tak terlihat lagi. Risma, adik Reza paling bungsu, sekaligus satu-satunya keluarga Reza yang paling menyukai dirinya. Anak itu begitu baik, ramah dan ceriwis. Nazwa harap sikap Risma tidak akan berubah sampai nanti apa pun yang terjadi. Karena dia sudah menganggap anak itu sebagai adik kandungnya. "Soalnya kan dulu Kak Reza banyak cewek. Eh tapi pas udah nikah ternyata udah berubah? Bisa setia juga tuh orang." Ucapan sang adik ipar kembali terngiang di telinga yang seketika mengganggu pikirannya. Dia jadi kepikiran dan khawatir lagi. "Sayang ...." Panggilan Reza me
Nazwa lalu berdiri, menatap suaminya lekat-lekat. "Kamu mencurigakan, Mas. Aku tahu kok kamu sempat pergi ke mana?" Wajah Reza makin terlihat tegang. "Sayang aku ...." Nazwa serta-merta tertawa terbahak-bahak di depan Reza membuat Reza terkejut heran. "Kamu kenapa jadi ketawa?" "Kamu lucu banget mukanya." Sambil tertawa, Nazwa memegangi perutnya yang tersengal karena ketawa. "Aku kenapa? Kamu nertawain aku?" Reza makin heran. Jantungnya sudah berdetak dua kali lebih cepat sejak tadi. "Enggak, kok, Mas. Yang tadi itu cuman bercanda. Aku percaya kok kamu cuman kerja," jelas Nazwa akhirnya serius. Rupanya Nazwa hanya bercanda. Padahal tadi pikirannya sudah ke mana-mana. Dia takut kalau Nazwa beneran tahu dia sempat mengantar Nabila pulang. Reza menghela napas lega. "Ada-ada aja kamu. Kirain apaan?" "Maaf, ya, Mas, aku nge-prank kamu." Nazwa masih tersenyum-senyum. Tak dia sangka aksinya itu berhasil membuat suaminya terlihat takut. Tapi sebenarnya dia juga bingung kenapa Reza terl
Semua pasang mata yang ada di sana menatap Nazwa, tidak terkecuali Hanif. "I-iya, Nazwa, maaf kalau ini mengejutkanmu, dan mungkin juga terlalu cepat buatmu setelah apa yang barusan kamu alami. Kalau kamu memang butuh waktu buat menjawab, aku siap menunggu." Nazwa malah terdiam. Begitu pun yang lainnya. Suasana ruangan itu seketika jadi hening. Hingga tiba-tiba Bi Ifah menjawab. "Gimana kalau kita beri Nazwa dan Hanif ruang? Biarkan mereka bicara dari hati ke hati. Iya kan, Nazwa?" *** Akhirnya Nazwa dan Hanif berbicara empat mata sambil berkeliling di sekitar lingkungan rumahnya. Sesekali melihat anak-anak mengejar layangan di tanah kosong yang dipenuhi ilalang. "Aku pikir kamu syok karena ini terlalu cepat bagimu," ucap Hanif yang berjalan di sisi Nazwa sejak tadi. Nazwa yang sejak tadi hanya menunduk, menggeleng pelan. "Bukan masalah waktu. Hanya saja ada banyak hal yang tiba-tiba mengganggu pikiranku," jawabnya. "Apa itu?" Nazwa mendongak menatap Hanif. "Aku nggak nyangka k
Lima bulan kemudian.Seminggu setelah perceraian mereka, seperti yang telah direncanakan, Nazwa memutuskan pulang ke kampung halaman bibinya di Cikidang. Beberapa hari setelah itu dia mendengar kabar bahwa Reza menikah dengan Nabila.Di Cikidang, Nazwa menyibukkan diri dengan mengajar mengaji bagi anak-anak sekitar desa itu di sebuah mushola. Di samping itu, Nazwa juga melanjutkan novelnya, novel yang dulu sempat tertunda. Novel yang terinspirasi dari pernikahannya dengan Reza."Shadaqallahul-'adzim' ...." Nazwa menyudahi bacaan Al-Qur'annya seraya menutup mushafnya. Dan diikuti oleh anak-anak didiknya. "Alhamdulillah sudah selesai." Nazwa lalu menatap anak-anak didiknya yang duduk bersila di hadapannya. "Ngajinya lanjut besok lagi ya anak-anak. Jangan lupa pe-er yang Ibu kasih tadi, hapalan surah Al-Kahfi-nya, ya. Besok boleh disetor.""Baik, Bu ....""Kalau begitu kalian boleh siap-siap pulang, ya."Anak-anak itu pun mulai memasukkan mushaf ke dalam tas masing-masing, bersalaman de
Seminggu kemudian. "Jadi apa yang mau kamu bicarakan?" Reza datang ke rumah orang tuanya dan mengabarkan bahwa dia ingin membicarakan sesuatu yang penting pada orang tuanya. Kini mereka berkumpul di ruang tamu. Kini kedua orang tuanya menatapnya penuh rasa penasaran. "Aku tahu mungkin Papa dan Mama nggak akan setuju dengan keputusan ini. Mama terutama Papa mungkin marah besar, tapi ini keputusanku. Dan aku udah bulat dengan keputusanku. Jadi aku harap Mama dan Papa harus setuju dan merestuiku." "Langsung saja katakan," potong Galih. "Aku ... bakal ngelamar Nabila, Pa, Ma." Reza menatap kedua orang tuanya bergantian. "Nabila?" Mama Rissa tampak terkejut. "Selingkuhanmu itu?" Sementara Galih tampak tenang saja. "Iya, Ma ...." Rissa menoleh menatap suaminya. "Bagaimana, Pa? Papa setuju?" Rissa berbisik, tapi Reza bisa mendengar. Wajah mamanya juga terlihat tidak senang. "Kenapa kamu harus menikahi dia?" tanya Galih setelah lama dia terdiam. "Ya iyalah, Pa. Aku sekarang juga uda
Proses sidang perceraian itu berjalan lancar. Nazwa dan Reza datang menghadirinya. Kedua orang tua Reza dan adiknya, Risma, ikut hadir di sana. Keduanya tidak menginginkan perdamaian dan mediasi. Keduanya mendukung perceraian itu diputuskan secepatnya. Bahkan ketika sang hakim menanyakan kasus perselingkuhan yang Reza lakukan, Reza pun mengakuinya, sama sekali tidak membantah tuduhan tersebut meskipun Nazwa tidak ada membawa bukti apa pun mengenai perselingkuhan suaminya. Semua yang hakim tanyakan diiyakan saja oleh kedua belah pihak seolah sidang perceraian itu hanyalah sebuah formalitas. Hingga akhirnya sang hakim memutuskan mereka resmi bercerai dengan mengetuk palu tiga kali. Dan semuanya selesai begitu saja dengan mudah secepat kedipan mata, tanpa sanggahan, tanpa penolakan, tanpa pertengkaran. Nazwa keluar dari ruangan itu dengan kesedihan meliputi hati. Dia sungguh tak percaya, pernikahannya benar-benar berakhir. Padahal rasanya baru kemarin dia menikah dengan pria pilihan ora
Mobil yang dikendarai Reza memasuki halaman rumahnya yang luas. Dia baru saja pulang dari rumah sakit. Begitu dia memasuki rumah, Bi Juminten muncul, mendatanginya tergesa-gesa. "Ada apa, Bi?" tanya Reza heran. "Eng ini, Pak." Bi Juminten merogoh saku dasternya. "Tadi ada surat panggilan buat Pak Reza." Bi Juminten menyodorkan amplop di hadapan Reza. "Surat panggilan buat saya?" Reza mengernyit sambil menerima surat itu. "Iya. Dari Pengadilan Agama." Seketika jantung Reza berdebar lebih kencang. Bergegas dia membuka amplop tersebut seiring dengan rasa penasaran yang membesar. Bi Jum pamit mundur dari hadapannya, kembali ke dapur. Reza mulai membentang dan membaca surat itu pelan-pelan. Benar, surat itu adalah surat gugatan cerai dari pengadilan agama untuknya. Reza lalu meremas surat itu dengan perasaan kesal yang tak dapat didiskripsikan. Percakapannya dengan Nazwa tempo hari pun terngiang. " .... Aku mantap untuk bercerai dari kamu." "Kamu nggak akan bisa melakukannya, Nazw
"Eh, gosip Dokter Nabila selingkuh sama Dokter Reza itu bener nggak sih?" "Ya benar lah. Itu bukan gosip lagi, tapi fakta. Bahkan katanya Dokter Reza terancam bercerai dari istrinya." "Dokter Reza cerai karena Dokter Nabila?" "Ya iyalah." "Kita tahu sih mereka dari dulu emang deket, kirain teman ternyata mereka ada udang di balik batu." "Dokter Nabila kan mantannya Dokter Reza dulu." "Ehem." Kedua koas manggang yang sedang menjaga IGD itu seketika terdiam mendengar suara dehaman yang amat familier itu. Mereka menoleh menemukan gadis yang baru saja mereka bicarakan. Gadis itu menatap mereka tak suka. Mungkin dia sudah mendengar bisik-bisik itu. "Eh, ada Bu Dokter Nabila," lirih salah satunya cengengesan. Sedangkan yang satunya lagi pura-pura sibuk merapikan lembar kertas di tangannya. "Selamat pagi, Bu. Pagi-pagi udah cantik aj--" "Ngomongin apa kalian barusan?" tanya Nabila menatap kedua cewek itu tajam. "Eng enggak, Bu ...." "Ingat, ya, kalian itu anak magang di sini! Saya
"Kalau Nazwa nggak mau, Papa nggak akan anggap kamu anak!" Kalimat itu terus bertalu-talu di kepala Reza. Reza berharap papanya tidak serius dengan ucapannya. Tapi waktu itu Reza bisa melihat wajah papanya serius saat mengatakan hal itu. Reza takut bagaimana seandainya papanya benar-benar serius membuangnya dari keluarga? Sial! "Ini semua gara-gara Nazwa. Seandainya dia nggak ngomong di depan Mama semuanya nggak akan jadi begini." Reza menggebrak meja di hadapannya. "Nggak ada cara lain. Aku harus bisa bujuk Nazwa buat berbaikan denganku dan membatalkan rencana perceraiannya." Sejak saat itu hampir setiap hari Reza berulang ke rumah orang tuanya, menemui Nazwa dan membujuk istrinya untuk pulang. Namun, percakapan mereka selalu berakhir dengan penolakan Nazwa atau pertengkaran. "Buat apa kamu ngelakuin semua ini, Mas?" tanya Nazwa. "Buat apa lagi kamu memperjuangkan aku setelah apa yang udah kamu lakuin. Kamu tuh sadar nggak? Kamu itu udah nggak waras, ya?! Sakit kamu?!" "Aku mi
"Dulu waktu Mama sedang hamil kamu dan hendak melahirkan, kami pergi ke rumah sakit terdekat, tapi tiba-tiba mobil kami mengalami kecelakaan. Papa berusaha keluar dari mobil dan menggendong Mama yang tengah kesakitan. Waktu itu tengah malam dan sepi. Sama sekali tidak ada orang lewat yang bisa dimintai tolong. Tapi Papa terus berteriak minta tolong. Sampai akhirnya ada orang yang menemui kami. Dialah Pak Rahman. Papa bercerita panjang lebar dengannya bahwa Papa ingin mengantar Mama ke rumah sakit, tapi kami mengalami kecelakaan. Dia yang katanya hendak pulang ke rumah majikan untuk mengantarkan mobil nggak keberatan membawa kami ke rumah sakit sebentar. Singkat cerita kami pergi ke rumah sakit menggunakan mobil majikannya. Satu detik setelah kami pergi, mobil kami di belakang meledak. Waktu itu terjadi Papa terkejut sekaligus bersyukur. Sedikit saja kalau kami nggak pergi dari tempat itu kami bisa-bisa ikut terbakar. Di dalam mobil Mama terus berteriak kesakitan. Air ketubannya bahkan
"Maaf, Mas, aku nggak bisa tinggal sama kamu lagi. Aku mohon kamu hargai keputusanku buat tinggal di rumah Mama. Jadi jangan tahan-tahan aku ...." Kalimat terakhir yang Nazwa ucapkan terngiang-ngiang di telinga Reza seakan membekas dan bertalu-talu. Sakit dan benci hatinya tiap kali mengingatnya. Harga dirinya seakan jatuh di hadapan keluarganya sendiri. Apalagi mengingat wajah Mama dan Risma terakhir kali menatapnya penuh kekecewaan. Dia tak menyangka kesalahan yang dia lakukan kini berdampak parah. Tidak hanya menyakiti perasaan Nazwa, perempuan itu bahkan minta cerai. Bahkan ikut mengecewakan perasaan keluarganya. Lagi pula kenapa Nazwa tega membongkar perselingkuhannya yang sudah tertutup rapat selama ini? Pernikahannya dengan Nazwa benar-benar di ujung tanduk. Apakah pernikahan ini masih bisa dipertahankan? Apakah masih ada harapan? Dering ponsel tiba-tiba berbunyi yang seketika membuyarkan lamunan Reza yang tengah duduk merenung di ruang keluarga. Tatapan Reza lalu mengarah ke