Nazwa dan Reza akhirnya tiba di rumah. Mobil Reza sudah terparkir di garasi rumahnya. Tapi Reza tak langsung turun setelah mematikan mesin mobil. Dia menoleh memandangi Nazwa yang sejak tadi duduk di sampingnya. "Kenapa, Mas?" Nazwa tersenyum. "Aku lega sekarang. Aku tenang." Reza juga tersenyum. "Lega kenapa memangnya?" "Aku udah nggak khawatir lagi karena udah bisa memastikan kalau aku bisa jagain kamu." "Aku selalu terjaga untukmu kok, Mas." Reza membelai kepalanya istrinya. "Sekarang aku udah yakin. Maafin aku ya Nazwa kemarin udah kasar dan nggak percayaan sama kamu." "Asal nggak diulangi lagi." "Aku akan berusaha." Lalu Reza mencondongkan tubuhnya ke istrinya, berbisik. "Kamu sendiri gimana? Udah percaya kan sama aku? Nggak curiga-curigaan lagi?" Nazwa sempat terdiam sebelum akhirnya mengangguk. Jujur, sebenarnya pun dia masih ragu. Tapi dia berharap semoga suaminya benar-benar berubah. Hanya waktu yang bisa menjelaskan semuanya. "Percaya nggak?" tanya Reza lagi. "Per
Nabila masuk ke kamar dan menghempaskan tas-nya dengan emosi yang meluap-luap. Dia kesal. Rencananya mengajak Hanif bekerja sama untuk menghancurkan rumah tangga Nazwa gagal total. Hanif sama sekali tidak tertarik. Percakapannya dengan Hanif pun seketika membayangi. "Apa-apaan?" "Ya, saya mengajak Anda bekerja sama." "Bekerja sama dalam menghancurkan rumah tangga orang?" Hanif menggeleng tidak terima. "Maaf, saya nggak berminat." Nabila terkejut mendengar penolakan itu. "Lho kenapa? Bukannya ini tawaran yang menarik? Anda berkesempatan memiliki Nazwa. Dan saya sudah membantu memudahkan jalannya." "Maaf sekali lagi. Sebelumnya kita nggak saling kenal. Lalu tiba-tiba Mbak datang mengaku sebagai pelakor, mengajak saya bekerja sama untuk menghancurkan rumah tangga orang?" Hanif menatap Nabila tak percaya. "Apa Mbak nggak tahu, jadi pelakor itu dosanya besar? Siksaannya pedih di akhirat. Lagi pula kenapa Mbak nggak cari laki-laki lain saja yang belum beristri? Kenapa harus suami orang
Tanpa terasa satu bulan sudah terlewati. Keadaan Reza makin membaik. Pun keadaan rumah tangganya. Diam-diam Reza masih sering menghubungi Nabila. Entah itu lewat chat atau bertemu langsung, tapi kali ini Reza pintar menyembunyikan perselingkuhannya. Hingga pernikahan mereka terlihat tentram saja. Tidak ada masalah yang berarti selain pertengkaran-pertengkaran kecil yang mewarnai biduk rumah tangga mereka. Hari ini hari pertama Reza mulai bekerja kembali setelah sembuh dari operasi. Pagi itu Reza memasuki rumah sakit yang agak sepi dari biasanya, hanya ada beberapa pekerja Cleaning Service yang tengah mengepel lantai menyapanya. "Pagi, Pak Reza." Reza hanya tersenyum dan mengangguk. Kaki panjangnya terus melangkah. Dia tak melihat temannya yang biasa dia lihat jika datang di pagi hari. Semuanya tampak sepi. Sesampainya di depan ruang kerjanya, Reza membuka pintu bersamaan dengan suara ledakan dan letupan balon mengagetkan. Reza seketika terperanjat mendengar suara itu. "Selamat da
Nabila tersenyum senang. "Kalau gitu kapan kamu ceraikan Nazwa?" Pertanyaan itu spontan membuat Reza tersedak-sedak. Wajah pria itu bahkan terlihat memerah. Nabila melotot. "Ya ampun, Za! Minum dulu." Nabila memberi Reza minum. "Kenapa, sih?" Nabila menatap Reza khawatir. Setelah sedaknya berhenti barulah pria itu bicara. "Kamu ngawur." Reza terbatuk-batuk kecil, kerongkongannya terasa pedas. Dia menenggak air lagi. Nabila mengernyit. "Ngawur apa sih?" "Aku nggak mungkin menceraikan Nazwa," ucapnya sambil kembali meletakkan gelas di meja. "Oh itu doang bisa bikin kamu tersedak, Za? Ya ampun. Lagian kenapa nggak mungkin? Za kan kamu udah tahu gimana kelakuan Nazwa sebenarnya. Aku juga bisa kok jadi istri yang jauh lebih baik buat kamu dibanding dia. Aku bisa kasih kamu keturunan. Kamu cinta kan sama aku? Aku lebih bisa bahagiakan dan ngertiin kamu. Kamu sadar itu kan?" "Bukan itu masalahnya, Bil." Mereka bertatapan. "Lalu apa? Za kamu tahu nggak sih orang tua aku nanyain terus k
Reza kembali melanjutkan tugasnya, yaitu mengecek keadaan pasien rawat inap. Dokter mengenakan snelli putih itu memasuki ruang Anggrek 1. "Selamat siang," sapanya sambil tersenyum ramah menatap para pasien yang sebagian besar adalah bapak-bapak. Saat itu pukul satu siang, sebagian besar pasien baru menyelesaikan jatah makan siangnya. "Siang, Dok," jawab beberapa pasien. Reza mendatangi pasien di tempat tidur pertama yang terletak di dekat pintu. Dia adalah seorang bapak-bapak yang dilihat dari perawakannya berusia sekitar 50an tahun. Bapak itu lalu meletakkan piringnya yang sudah kosong, hanya menyisakan sedikit sisa nasi, di atas nakas kala melihat kedatangan dokter Reza. Dokter Reza tersenyum. "Dengan Pak Widodo?" Reza melihat nama yang terdapat pada gelang identitas pasien. Pak Widodo mengangguk dan menyandar di sandaran tempat tidurnya. "Sakit apa, Pak?" tanya Reza. "Serangan jantung ringan, Dok," jawab pria berkulit gelap dan tambun itu. "Sudah diperiksa sama dokter spes
"Sebenarnya aku mau ajak kamu jalan-jalan sih kemana gitu sebelum pulang." Akhirnya Reza memutuskan mengantar Nabila pulang ke rumahnya. Nabila senang bukan main. Namun, sesampainya dalam mobil, gadis itu meminta lebih. "Jangan aneh-aneh ya, Bil. Aku mau ngantar kamu pulang aja udah syukur harusnya." Reza fokus menyetir. "Kamu kok jadi gitu, sih? Perhitungan sama aku." Nabila berdecak, wajahnya cemberut. "Bukannya perhitungan cuman kan untuk saat ini aku nggak bisa keluar lama-lama, keadaannya belum memungkinkan. Nanti Nazwa bisa curiga. Kamu ngerti nggak, sih?" Nabila agak terkejut mendengarnya. Dari ucapannya kelihatannya Reza serius dengan ucapannya. Dia jadi makin kesal. "Iya, aku ngerti. Oke deh aku nggak akan macam-macam. Cuman kan aku tuh kangen gitu sama kita yang dulu, kangen kamu yang selalu ada buat aku." "Kamu harus sabar ...." Nabila terdiam, melempar pandang ke luar jendela, melihat gedung-gedung pencakar langit. Dia kesal mendengar jawaban Reza yang itu-itu saja.
"Risma kapan datang?" tanya Reza spontanitas. Mendengar namanya dipanggil, perempuan berambut panjang sepinggang dan pirang coklat itu menoleh. Wajah gadis itu pun tak kalah semringah melihat siapa yang datang. "Kak Reza!" Risma berdiri, memeluk kakaknya erat-erat. "Kangen banget ...." Nazwa hanya tersenyum senang melihat keakraban kakak-adik itu. Reza juga memeluk erat tubuh gadis mungil itu. "Hei, kapan datang?" tanya Reza lagi setelah keduanya melepas pelukan. Reza masih menatap adiknya tak percaya. Penampilan gadis itu sudah banyak berubah dari sebelum dia berangkat ke Paris. Badannya lebih kurus dari sebelum berangkat. Rambutnya pun panjang bahkan pirang. "Barusan tadi. Aku kangen banget sama Kak Nazwa makanya langsung ke sini." "Enggak, maksudnya kapan pulang dari Paris? Kok nggak bilang-bilang. Tahu gitu kan bisa kakak jemput dulu." Ya, pasca pernikahan Reza dan Nazwa terlaksana, Risma langsung pergi ke Paris untuk menjalani pendidikan S1 nya. Sejak itu Risma tak pernah pu
Jam makan sore bersama sudah mereka bertiga lalui. Menjelang maghrib Risma pamit pulang. "Kirim salam sama Mama dan Papa di rumah, jangan lupa." Nazwa mengingatkan lagi ketika dia berdada ria dengan Risma yang sudah masuk ke mobilnya. "Siip," sahut gadis berusia dua puluh satu tahun itu. Nazwa masih tersenyum, memperhatikan mobil yang sudah melaju meninggalkan halaman rumah yang luas bahkan ketika SUV hitam itu sudah tak terlihat lagi. Risma, adik Reza paling bungsu, sekaligus satu-satunya keluarga Reza yang paling menyukai dirinya. Anak itu begitu baik, ramah dan ceriwis. Nazwa harap sikap Risma tidak akan berubah sampai nanti apa pun yang terjadi. Karena dia sudah menganggap anak itu sebagai adik kandungnya. "Soalnya kan dulu Kak Reza banyak cewek. Eh tapi pas udah nikah ternyata udah berubah? Bisa setia juga tuh orang." Ucapan sang adik ipar kembali terngiang di telinga yang seketika mengganggu pikirannya. Dia jadi kepikiran dan khawatir lagi. "Sayang ...." Panggilan Reza me