"Risma kapan datang?" tanya Reza spontanitas. Mendengar namanya dipanggil, perempuan berambut panjang sepinggang dan pirang coklat itu menoleh. Wajah gadis itu pun tak kalah semringah melihat siapa yang datang. "Kak Reza!" Risma berdiri, memeluk kakaknya erat-erat. "Kangen banget ...." Nazwa hanya tersenyum senang melihat keakraban kakak-adik itu. Reza juga memeluk erat tubuh gadis mungil itu. "Hei, kapan datang?" tanya Reza lagi setelah keduanya melepas pelukan. Reza masih menatap adiknya tak percaya. Penampilan gadis itu sudah banyak berubah dari sebelum dia berangkat ke Paris. Badannya lebih kurus dari sebelum berangkat. Rambutnya pun panjang bahkan pirang. "Barusan tadi. Aku kangen banget sama Kak Nazwa makanya langsung ke sini." "Enggak, maksudnya kapan pulang dari Paris? Kok nggak bilang-bilang. Tahu gitu kan bisa kakak jemput dulu." Ya, pasca pernikahan Reza dan Nazwa terlaksana, Risma langsung pergi ke Paris untuk menjalani pendidikan S1 nya. Sejak itu Risma tak pernah pu
Jam makan sore bersama sudah mereka bertiga lalui. Menjelang maghrib Risma pamit pulang. "Kirim salam sama Mama dan Papa di rumah, jangan lupa." Nazwa mengingatkan lagi ketika dia berdada ria dengan Risma yang sudah masuk ke mobilnya. "Siip," sahut gadis berusia dua puluh satu tahun itu. Nazwa masih tersenyum, memperhatikan mobil yang sudah melaju meninggalkan halaman rumah yang luas bahkan ketika SUV hitam itu sudah tak terlihat lagi. Risma, adik Reza paling bungsu, sekaligus satu-satunya keluarga Reza yang paling menyukai dirinya. Anak itu begitu baik, ramah dan ceriwis. Nazwa harap sikap Risma tidak akan berubah sampai nanti apa pun yang terjadi. Karena dia sudah menganggap anak itu sebagai adik kandungnya. "Soalnya kan dulu Kak Reza banyak cewek. Eh tapi pas udah nikah ternyata udah berubah? Bisa setia juga tuh orang." Ucapan sang adik ipar kembali terngiang di telinga yang seketika mengganggu pikirannya. Dia jadi kepikiran dan khawatir lagi. "Sayang ...." Panggilan Reza me
Nazwa lalu berdiri, menatap suaminya lekat-lekat. "Kamu mencurigakan, Mas. Aku tahu kok kamu sempat pergi ke mana?" Wajah Reza makin terlihat tegang. "Sayang aku ...." Nazwa serta-merta tertawa terbahak-bahak di depan Reza membuat Reza terkejut heran. "Kamu kenapa jadi ketawa?" "Kamu lucu banget mukanya." Sambil tertawa, Nazwa memegangi perutnya yang tersengal karena ketawa. "Aku kenapa? Kamu nertawain aku?" Reza makin heran. Jantungnya sudah berdetak dua kali lebih cepat sejak tadi. "Enggak, kok, Mas. Yang tadi itu cuman bercanda. Aku percaya kok kamu cuman kerja," jelas Nazwa akhirnya serius. Rupanya Nazwa hanya bercanda. Padahal tadi pikirannya sudah ke mana-mana. Dia takut kalau Nazwa beneran tahu dia sempat mengantar Nabila pulang. Reza menghela napas lega. "Ada-ada aja kamu. Kirain apaan?" "Maaf, ya, Mas, aku nge-prank kamu." Nazwa masih tersenyum-senyum. Tak dia sangka aksinya itu berhasil membuat suaminya terlihat takut. Tapi sebenarnya dia juga bingung kenapa Reza terl
Hari-hari terus berlalu. Rutinitas kembali seperti semula. Reza fokus dengan pekerjaannya di rumah sakit. Sedangkan Nazwa pun mulai kembali mengisi kajian. Karena kondisi rumah tangga mereka saat ini dirasa cukup baik, Nazwa merasa inilah waktu yang tepat untuknya kembali melanjutkan aktivitas. Kondisi Pak Rahman pun sudah boleh ditinggal, ditemani Bi Jum--sang asisten rumah tangga di rumah. Dalam pengajian kali ini Nazwa membawa materi tentang ilmu pernikahan. Tentang bagaimana upaya kita dalam menjalani rumah tangga agar tak mudah dihasut setan hingga tercerai-berai. Karena setiap pernikahan pasti ada ujiannya masing-masing. Lalu materi ceramah itu ditutup dengan pembacaan ayat Al-Qur'an bersama. Surah yang dibawakan adalah surah Al-Kahfi. Selesai pembacaan ayat Al-Qur'an, para ibu bersalam-salaman sebelum pulang. "Denger-denger, katanya, suaminya Bu Nazwa itu selingkuh, ya." Sebelum benar-benar pulang, para ibu pengajian masih sempat bergosip ria sambil berdiri di teras masjid.Y
"Aku tuh nggak bisa lepasin kamu, Bil. Serius. Nggak tahu kenapa?" Nabila hanya tersenyum simpul mendengarnya. Sama seperti hari-hari sebelumnya, Nabila selalu pulang bersama Reza setiap habis kerja. Awalnya Reza menolak ketika Nabila minta diantar pulang, tapi Nabila selalu berhasil membujuk pria itu. Nabila ingat bagaimana percakapannya tadi. "Aku cuman minta pulang bareng lho, Za. Nggak yang aneh-aneh. Nurutin kemauan aku untuk hal yang sepele gitu kok ribet banget, sih?" "Kamu ngertiin aku, dong, Bil." "Aku selalu dituntut buat ngertiin kamu, tapi kamu nggak pernah mau ngertiin aku." "Kamu jangan kekanakkan gini, lah, Bil." "Kekanakkan? Udahlah, Za, aku capek. Kalau kamu begini terus mending kita udahan aja." "Nggak bisa seenaknya gitu, dong, Bil." "Ya, terus kamu maunya apa? Selama ini kamu udah nggak peduli sama aku, kurang perhatian sama aku. Mending kita putus aja." "Bil." Reza langsung menahan pergelangan tangan Nabila ketika gadis itu hendak pergi. "Apa?" "Oke, a
"Assalamu'alaikum. Hai, Sayang." Reza memasuki ruang tengah dan mendapati sang istri sedang menghadap laptop. Melihat itu, Reza tahu istrinya itu pasti sedang menulis. Nazwa spontan menoleh. "Wa'alaikumussalam, Mas." Dia pun tersenyum dan berdiri menyambut suaminya. Ketika jarak mereka telah sangat dekat, Reza memeluk pinggang ramping Nazwa dan mencium keningnya. "Tumben pulangnya agak telat dari biasanya," tegur Nazwa kemudian. "Iya, tadi di jalan ada macet sedikit, makanya agak telat," jawab Reza yang lantas melepas dasinya. "Oh, kirain ada masalah pekerjaan. Sini aku bantu." Nazwa membantu melepas ikatan dasi di kerah kemeja suaminya membuat mereka berdiri berhadap-hadapan. "Kamu lagi apa?" tanya Reza melirik laptop yang terletak di atas meja lalu menatap wajah istrinya. "Lagi nulis." Nazwa tersenyum. "Nulis ... cerita yang kemarin ...." Reza menatap Nazwa penuh selidik. Nazwa membalas tatapan suaminya. "Bukan. Cuma nulis quotes, kok." Reza hanya mengangguk-angguk, tapi di
"I-itu ... Ba-Bapak." Bi Jum malah tergugup. "Sakit jantungnya Bapak kumat." "Apa?!" Nazwa melotot. Spontan saja dia dan suami bergegas menuju kamar Pak Rahman. Begitu Nazwa membuka pintu, dilihatnya bapaknya yang tengah mengenakan pakaian koko sambil memegang Al- Qur'an terduduk di lantai. Orang tua itu terlihat kesakitan. Tangan sebelahnya mencengkram dada kirinya. "Bapak!" Nazwa menghampiri sang Bapak dengan linangan air mata. "Dada Bapak sakit," lirih orang tua itu seiring dengan dadanya yang terasa nyeri luar biasa seolah dadanya ditimpa batu besar. Nazwa mendongak menatap Reza yang berdiri. "Mas, tolongin Bapak. Bawa ke rumah sakit!" "Iya, Nazwa." *** Pak Rahman dibawa ke rumah sakit Medika Permata Hijau tempat di mana Reza bekerja. Pak Rahman langsung di bawa ke IGD terlebih dulu untuk di periksa. Selagi Pak Rahman di periksa, Nazwa dan Reza menunggu di depan ruang tersebut. Sejak tadi Reza menenangkan istrinya yang menangis. Nazwa jadi makin kepikiran dengan ucapan bapa
"Kamu kok di sini?" Reza malah balik bertanya setelah dia berhasil menetralkan wajahnya. "Bukannya tunggu di sana. Takutnya ada dokter atau suster yang mau ngomong gimana?" Reza mengalihkan perhatian istrinya. "Aku tadi cek hp bentar, ini juga baru mau ke toilet," alibinya. Nazwa masih menatap suaminya curiga sebelum akhirnya menurut. "Ya udah kalau gitu. Aku balik dulu." Sepeninggal Nazwa, Reza menghela napas lega sambil mengurut keningnya. "Rumit ... rumit." *** Berdasarkan laporan dokter yang menanganinya, Pak Rahman harus diopname di rumah sakit karena keadaan jantungnya yang belum stabil. Hingga beliau butuh penanganan lebih. Dan itu membuat Nazwa juga harus menginap di rumah sakit, menemani bapaknya seperti sebelum-sebelumnya. Karena itu Reza berinisiatif menawarkan diri pulang ke rumah untuk mengambil pakaian Nazwa. Namun, sesampainya di rumah, Reza terkejut dengan keberadaan Nabila yang tiba-tiba. Gadis itu berdiri di terasnya, tersenyum menyambutnya. "Hai, Za." Reza me