***“Ndin,” geramku memberinya peringatan. Namun, wanita itu tersenyum senang dibalik mata yang terus saja meneteskan airnya. Apa sekarang aku salah jika ingin menyiksa Andin dengan foto-foto yang Sabrina berikan? Dia jahat sekali karena memfitnahku di depan orang banyak seperti ini.“Kenapa, Mbak? Apa nggak ada lelaki lain selain suamiku? Rumah tangga kami hancur gara-gara kehadiranmu. Tolong jangan ganggu suamiku, Mbak,” Wanita itu semakin gila saja.“Wahhh! Percuma si mbaknya pakai jilbab gitu kalau jadi simpanan suami orang. Sadar mbak, jangan jadi perusak!” komentar wanita yang mejanya tepat berada di sebelah kami. Kafe memang cukup ramai sebab orang-orang kantor sedang sarapan di sini.Aku menggigit bibirku. Bagaimana ini? Rasanya percuma saja meksipun aku membela diri. Semua orang telah teracuni oleh mulut kotor Andin.“Iya, Mbak. Kasihan bini orang. Mana lagi hamil gitu!” ujar yang lainnya. Aku terpojok. Rupanya pelajaran seperti ini yang ingin Andin berikan. Kupandangi sekali
***“Mas Arlan nggak apa-apa kan kalau kami pindah?” tanyaku melanjutkan obrolan.“Kalau niatmu sudah bulat aku bisa apa? Tapi tolong kabari aku kapan kalian ingin pindah. Aku akan membantu,”“Tolong jangan menolak bantuanku, Ra!” ujar lelaki itu cepat, seolah tahu aku akan menolaknya.“Baiklah Mas, terima kasih kalau begitu,” ucapku setuju.“Sama-sama. Oya, madumu itu orang kantorku, kan?” tanya Mas Arlan tiba-tiba. Ahh, aku memang belum menceritakan secara keseluruhan seperti apa kehidupan seorang Andin. Aku pun mengangguk sebagai jawaban. “Dia yang Sabrina buntuti selama ini, Mas,” ucapku. Sabrina memang sempat izin keluar masuk ke kantor mas Arlan selama ini untuk menyelidiki Andin dan selingkuhannya itu.Mas Arlan mengizinkan dengan syarat jangan sampai mengganggu pekerjaan karyawannya.“Mas nggak kenal kan sama dia?” tanyaku.“Nggak Ra,”Itu wajar sebab mas Arlan dan Andin tidak bekerja di lantai yang sama. Bahkan menurut Sabrina lelaki ini jarang menampakan wajahnya di kantor s
***“Jadi benar apa yang Andin katakan? Kamu sedang bersama lelaki yang bukan mahram,” ucap mas Rafa sambil menudingku dengan jari telunjuknya. Entah datang dari mana lelaki itu, akan tetapi tiba-tiba saja dia kini tepat berada di depanku dan mas Arlan.Aku berdiri dari dudukku masih dalam keadaan terkejut. Seketika itu pula pandanganku dan mas Arlan terputus.“Maaf mas jangan asal tuduh. Aku nggak sengaja ketemu mas Arlan.” Aku membela diri.“Zahra benar, kami nggak sengaja bertemu,” Mas Arlan ikut menjelaskan.Namun, mas Rafa tak pernah mau mendengarkan. Lelaki itu menarik pergelangan tanganku, menyeretku dari tempat itu. “Mas!”“Diam kamu Zahra! Ikut aku pulang.”Tidak! Aku tidak mau. Cukup sudah diriku dipermalukan di depan umum hari ini.“Berhenti, Mas! Aku nggak mau. Aku mau ke toko. Naura di sana menungguku!”“Berani membantah?” bentak lelaki itu. Aku terus menggeleng. Mas Rafa benar-benar kasar.Lalu tanpa kuduga mas Arlan berdiri dari duduknya. Sebuah tinju melayang ke wajah
***Andin terlihat marah saat aku dan Naura memasuki rumah. Sengaja kulewati dirinya tanpa menyapa. Wajar bila aku mengabaikannya. Kelakuannya pagi tadi masih membuatku sakit hati. Namun, yang membuat diri ini terheran-heran adalah sikap mas Rafa. Lelaki itu tak menyapa Andin dengan mesra seperti biasa. Dia pun hanya melewati Andin tanpa memeluk apalagi menciumnya.“Mbak Zahra!” ujar Andin memanggil namaku saat kaki ini baru saja akan melewati pintu.“Nau, kamu ke kamar duluan ya,” Tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, aku pun meminta Naura untuk masuk ke kamarnya terlebih dahulu. Meskipun terlihat jelas harapan Naura ingin masuk bersamaku, tapi akhirnya dia mengikuti perintah.Gadis kecilku meninggalkan ibunya dengan hati yang was-was. Aku yakinkan dia bahwa semuanya akan baik-baik saja.“Mbak nggak dengar peringatanku ya? Aku bilang menjauh, Mbak! Jangan ganggu rumah tanggaku!” ujar wanita sialan itu.Aku mengembuskan napas dengan berat. Terkadang aku bingung dengan perasaan yang
***“Akhirnya selesai juga, Mbak!” ujar Rani kepadaku saat ayam goreng tepung kesukaan Naura siap untuk dihidangkan. Aku mengangguk singkat sebagai jawaban. “Terima kasih ya Ran atas bantuannya,” ucapku.“Justru aku yang harusnya ngucapin makasih sama mbak Zahra. Jarang-jarang loh majikan mau bantuin pembantunya,” kekeh gadis itu.“Nggak perlu sungkan, Ran, kan mbak udah bilang kalau nyonya di rumah ini hanya Andin seorang,”“Ahh, mbak Zahra bisa aja, tapi serius loh mbak! Aku benaran kaget saat mbak memperkenalkan diri sebagai istri pertamanya si Bapak. Aku pikir mbak Zahra bercanda,”Kali ini aku yang terkekeh karena ucapannya. “Ya begitulah,” komentarku seadanya.Rani seakan ingin mengatakan sesuatu yang lain, tapi mulutnya mendadak terkatup rapat dengan mata yang melirik tepat ke belakangku.Ketika aku menoleh, kudapati Andin ada di sana sambil mengelus perut buncitnya.“Kamu kok lama amat masak gulai ikan nilanya, Ran?” tanya Andin dengan eskpresi wajah yang tak enak untuk dipand
***Andin terpuruk. Wajahnya pucat saat keluar dari kamarnya untuk makan malam. Dapat aku lihat garis wajah yang biasanya tegas kini mengendur. Wanita itu frustrasi. Iya, siapa memangnya yang tak terkejut melihat perubahan pada diri Mas Rafa? Lelaki yang biasanya bersikap teramat manis pada Andin itu tiba-tiba sangat kasar.Bahkan tak segan menyakiti fisik.Aku menghela napas dengan berat. Tak ingin larut dalam masalah keduanya, kufokuskan perhatianku pada Naura yang duduk tepat di sampingku. Tak peduli pada tanda tanya di mata Andin yang tampak penasaran akan keberadaan mas Rafa.“Di mana suamiku, Ran?” tanyanya kemudian mengudara.Ran tergopoh menghampiri. “Rani nggak tahu, Buk. Nggak sempat lihat,” ucapnya menjawab pertanyaan Andin.Terdengar embusan napas berat dari Andin. Lalu hening. Saat aku mengalihkan pandangan padanya, kulihat dia sedang memperhatikan gulai ikan nila yang katanya diinginkannya itu. Bukannya mengambil piring, mengisinya dengan nasi lalu gulai ikan nila, tapi
***Usai menyaksikan keanehan di ruang makan, aku membawa Naura masuk ke kamar. Naura sudah lama terlelap, tapi mataku masih tak menemukan kantuknya. Masih saja terbayang olehku bagaimana suara mas Rafa mengalun lembut menyapa telinga. Tak seperti biasa, lelaki itu bersikap seperti dirinya yang dulu. Penuh perhatian.“Ada apa sebenarnya?” Kuhela napas ini. Bagaimanapun juga sikap mas Rafa membuatku resah. Dia seolah menunjukkan menolak perpisahan yang aku ajukan.Bukan aku teramat menyukai perceraian, hanya saja sudah tidak ada cinta di hati sejak mas Rafa berbagi. Semua hampa. Rumah tangga ini sudah lama retak pondasinya. Mas Rafa teramat telat bila ingin berubah.Sekali lagi aku menghela napas dengan berat. Sebuah notifikasi membuyarkan lamunanku tentang perubahan yang terjadi pada ayah anakku. Kuraih ponsel yang tergeletak di atas nakas. Nama Sabrina menari di layarnya.“Assalamu’alaikum. Ada apa Sab?” tanyaku setelah menggeser tombol hijau di atas layar.“Wa’alaikumsalam. Ra, bisa
***“Mas kamu nggak nahan Andin? Jangan sampai dia kelaparan, Mas. Kasihan bayinya. Aku akan sangat merasa bersalah andai Andin dan bayinya kenapa-napa,” ucapku setelah hening beberapa detik sejak kepergian Andin.Mas Rafa yang masih menatap ke arah Andin menghilang kini mengalihkan perhatiannya kepadaku. “Kamu masih peduli padanya setelah apa yang dia lakukan padamu, Dek?” tanyanya.Aku menelan ludah dengan susah payah. Masih saja mas Rafa memanggilku dengan cara seperti itu. Membuat tidak nyaman saja. “Aku bukan peduli padanya Mas, tapi pada anak yang sedang dia kandung. Bayi itu tidak berdosa,” jawabku.Mas Rafa menatapku dengan tatapan yang sulit sekali aku artikan. Dia seperti memiliki beban pikiran yang berat. “Kamu benar Ra, bayi itu tidak berdosa. Aku salah bersikap kejam,” ucapnya dengan lirih.Aku perhatikan lelaki itu dengan seksama. Benar ada yang berubah darinya. Tatapannya tak lagi membara seperti biasa. Kecewa tampak pekat di sana. “Mas nggak apa-apa?” tanyaku ragu.Mas