***Seperti janjiku pada Sabrina, jam makan siang kami langsung membuat janji temu, lalu menuju rumah sakit yang merawat mas Arlan. “Dia kecelakaan tunggal, Sab?” tanyaku penasaran.Ngomong-ngomong Naura tak kuajak serta. Dia kutinggalkan bersama Rani di rumah. Nau juga tak banyak protes.Sabrina menoleh padaku yang sedang menyetir. “Iya. Rem mobilnya blong aku dengar,” jawabnya.“Huhh? Kok bisa?”Dari ekor mata kulihat Sabrina mengedikan bahunya. “Aku juga nggak paham,” ucapnya.“Nggak kayak di novel-novel kan? Rem blong karena ada yang ngerjain,” candaku.“Bisa jadi sih Ra, secara kan ada yang benci banget sama kehadiran mas Arlan saat ini,” balas Sabrina sambil melirik ke arahku dengan cara yang aneh.“Maksudmu?”Sekali lagi Sabrina mengedikan bahunya. “Nggak ngerti ah. Nanti kita tanya sama-sama gimana kejadiannya,” ucapnya.Suasana menjadi hening. Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Namun, karena jarak rumah sakit yang dekat membuat kami tak lama tiba di sana. Aku dan Sabrin tu
***Saat keluar dari toilet aku dan Sabrina tak menemukan Ari. Hanya tersisa mas Arlan saja. “Ke mana Ari, Mas?” tanyaku.“Cari makan. Kasihan dia belum makan dari pagi tadi,” jawab mas Arlan.“Kalian sudah makan siang?”Aku mengangguk, tapi Sabrina menggeleng. Membuatku mengerutkan kening. Dia belum makan siang?“Aku belum sempat,” ucap Sabrina seakan paham keherananku.Kuhela napas berat. “Kok kamu nggak bilang, Sab?” tanyaku sedikit sebal. Tahu begitu kuajak makan siang dulu dirinya.“Gimana mau bilang kalau kamu tampak cemas, Ra. Mau cepat-cepat periksa keadaan mas Arlan,” kekeh sahabatku.Membuatku salah tingkah saja. “Iya kasihan saja sama teman. Kita kan sesama tahu kalau mas Aran sudah tidak punya siapa-siapa lagi,” ucapku memberi alasan.Sabrina mengangguk-anggukan kepalanya. Sementara mas Arlan terdengar terkekeh.“Kamu mau makan siang sama Ari, Sab?” tanya mas Arlan.“Kalau Zahra mau ditinggal?” Sabrina melirik ke arahku.Ditinggal berdua saja dengan mas Arlan? Apakah akan
***Sore hari Naura terbangun dari tidurnya. Mengadu padaku untuk dibuatkan prakarya sederhana tugas dari gurunya. Aku menyanggupi, lantas segera meminta Rani membantuku menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan.“Rani ke fotocopy depan dulu, Mbak. Di sana kayaknya ada bahan yang kita butuhkan,” ucap Rani kepadaku.Aku mengangguk. “Ajak Naura sekalian, Ran. Biar kamu ada temannya,” kataku.“Oke Mbak!”Setelah itu Rani pergi bersama Naura. Kepergian keduanya berpas-pasan dengan kembalinya mas Rafa sepulang dari bekerja. Seperti dulu, kini mas Rafa mengulurkan tangannya agar aku sambut dan cium dengan hormat. Aku melakukannya, tetapi dengan perasaan yang tentu saja sudah berbeda.Aku menyusul mas Rafa menuju kamarnya setelah itu. “Mas kita perlu bicara dengan serius,” ucapku merasa harus segera meluruskan semuanya. Aku tidak bisa bertahan di tempat ini. Aku ingin pergi.Mas Rafa yang sedang menyimpan tas di lemari menoleh padaku yang sedang berdiri di ambang pintu. Dahinya berkerut dala
***“Zahra? Ada apa? Kenapa wajahmu pucat begitu? Kamu sakit?” Pertanyaan tersebut membuatku sangat terkejut. Entah sejak kapan mas Rafa berada di depanku, sambil memandangiku.Aku gelagapan. Benakku masih mempertanyakan soal gunting milik mas Rafa yang berbau aneh.“Zahra kamu sakit?” ucap mas Rafa mengulang pertanyaannya. Bahkan kini lelaki itu menyentuh bahuku.Tubuhku tiba-tiba bergetar. “Enggak Mas, maaf bisa lepaskan? Peganganmu pada bahuku terlalu kencang,” pintaku sambil meringis. Entah efek apa ini? Apa mungkin mas Rafa mendengar obrolanku bersama Sabrina? Namun, itu tidak mungkin. Tadi dia masih bertengkar bersama Andin.“Ahh, maaf. Kamu nggak apa-apa, Dek?”Aku menggeleng. “Aku baik-baik aja, Mas. Aku permisi dulu.” Tanpa menunggu tanggapannya aku langsung pergi. Buru-buru masuk ke kamar. Pintu pun langsung dikunci dari dalam.“Loh ada apa Mbak? Kenapa pintunya dikunci segala?”Sekali lagi aku terkejut. Aku lupa ada Rani di sini. Suaranya mengagetkanku. “Nggak apa-apa, Ran.
***Aku tatap Sabrina yang masih mencerna ucapanku. Karena yakin dia akan berekasi berlebihan, kutarik tangannya menuju ke kamarku dan Naura. Lebih baik kami bicara saja di sini.“Zahra kamu serius?” tanya Sabrina begitu pintu kamar aku tutup rapat dari dalam.Aku yang tadinya masih membelakanginya kini menghadapnya. “Aku serius, Sab,” jawabku.“Tapi kenapa, Ra?” Sabrina datang menghampiri. Sahabatku itu tampak tidak terima. “Kamu diancam?” tanyanya sambil memicingkan mata.Aku menggeleng. “Enggak, Sab,” jawabku.“Terus? Kamu kan semangat mau pisah. Kenapa sekarang bilang nggak jadi?”“Naura, Sab,”“Ternyata aku nggak bisa lihat dia sedih karena perpisahan kami. Dia mau aku dan mas Rafa sama-sama terus, Sab,” jelasku.“Tapi kenapa? Bukannya waktu itu Naura setuju kamu pisah sama si Rafa?”Aku menggeleng. “Naura berubah pikiran karena yang Naura lihat ayahnya telah banyak berubah,” ucapku.“Nggak bisa Ra! Jangan balikan sama Rafa!” ujar Sabrina menentang keputusanku. Matanya berkilat a
***Andin menatap mas Rafa dengan dahi yang berkerut dalam. “Apa maksudmu, Mas?” tanyanya meminta penjelasan.Mas Rafa mendengus kesal. “Apa harus aku katakan semuanya sekarang, Andin?” tantangnya.“Ada apa memangnya? Aku nggak ngerti maksudmu, Mas,”“Oya? Masih mau pura-pura?” Mas Rafa terlihat sangat geram.Sama seperti tadi, kali ini pun aku dan Sabrina saling menatap. Mempertanyakan sikap mas Rafa yang terlihat aneh. Kenapa dia seolah tahu apa yang Andin lakukan di belakangnya? Kenapa lelaki itu tampak percaya diri dengan setiap kata yang dia ucap?Tck!“Mas bicara apa? Mencoba mengalihkan semuanya, iya? Supaya mbak Zahra terbebas dari kekesalanku, begitu?”“Ini tidak ada hubungannya dengan Zahra, Andin!” bentak mas Rafa. Aku benar-benar terkejut dibuatnya. Masih tak menyangka lelaki yang aku lihat beberapa bulan lalu teramat sangat peduli pada Andin kini berubah sebaliknya. Dia tampak sangat tak menyukai kehadiran Andin.“Jelas ada, Mas! Wanita itu yang menyebabkan aku dipecat ol
***Suasana begitu tegang. Andin terpaksa di operasi karena bayinya harus dikeluarkan dengan segera.Mas Rafa telah menandatangani surat persetujuan untuk melakukan tindakan. Bapak dan Ibu mertuaku juga telah diberitahu.Kini keduanya sedang berada dalam perjalanan menuju ke rumah sakit. Sementara Naura dijaga Rani di rumah kami.“Sab, aku menyesal telah menyudutkan Andin,” ucapku pada Sabrina. Sejak tadi sahabatku itu menemani.Sabrina mendekap bahuku. “Jangan pernah menyeselai apa yang telah terjadi, Ra. Do’akan saja Andin dan bayinya selamat,” ucapnya.“Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada keduanya, Sab?”“Ssttt! Kamu nggak boleh mikir kayak gitu. Kita doakan saja semua baik,”Aku tak lagi membalas ucapan Sabrina. Mataku kini fokus pada pintu ruang operasi di mana Andin tengah ditangani. Sudah beberapa jam terlewatkan, tapi pintu belum juga terbuka. Membuat hatiku risau saja.Aku menghela napas dengan berat. Lalu tertunduk lesu, menyesali semua perbuatanku. Meskipun kata Sabrina ja
***Sabrina mengirimiku pesan setelah Satu jam kepergiannya. Harusnya tak memakan waktu sepanjang itu untuk sampai ke apartemen, tetapi aku memaklumi jika dia langsung mandi lalu menghubungiku setelahnya.Aku lega sahabatku itu sampai dengan selamat.Malam semakin larut, tetapi mataku tak juga menemukan kantuk. Pikiranku melayang pada badai panjang yang menerpa rumah tanggaku selama hampir setahun ini. “Aku nggak nyangka bisa bertahan sejauh ini, padahal sudah cukup lama rumah tangga retak,” ucapku dengan suara yang terdengar lirih.Bayangan rumah tangga yang pernah harmonis juga ikut meramaikan isi pikiran. Di waktu dulu malam panjang kami habiskan untuk bercerita. Berbagi kisah yang tak sempat kami arungi bersama. Sebab, kala siang mas Rafa pergi bekerja, sementara aku di rumah menjaga Naura.Tak kusangka aktivitas itu tak bisa kami ulangi lagi. Aktivitas yang aku pikir menyenangkan, nyatanya membosankan bagi mas Rafa. Buktinya dia mendua di belakangku. Sakit sekali. Namun, aku yaki