***Aku tatap Sabrina yang masih mencerna ucapanku. Karena yakin dia akan berekasi berlebihan, kutarik tangannya menuju ke kamarku dan Naura. Lebih baik kami bicara saja di sini.“Zahra kamu serius?” tanya Sabrina begitu pintu kamar aku tutup rapat dari dalam.Aku yang tadinya masih membelakanginya kini menghadapnya. “Aku serius, Sab,” jawabku.“Tapi kenapa, Ra?” Sabrina datang menghampiri. Sahabatku itu tampak tidak terima. “Kamu diancam?” tanyanya sambil memicingkan mata.Aku menggeleng. “Enggak, Sab,” jawabku.“Terus? Kamu kan semangat mau pisah. Kenapa sekarang bilang nggak jadi?”“Naura, Sab,”“Ternyata aku nggak bisa lihat dia sedih karena perpisahan kami. Dia mau aku dan mas Rafa sama-sama terus, Sab,” jelasku.“Tapi kenapa? Bukannya waktu itu Naura setuju kamu pisah sama si Rafa?”Aku menggeleng. “Naura berubah pikiran karena yang Naura lihat ayahnya telah banyak berubah,” ucapku.“Nggak bisa Ra! Jangan balikan sama Rafa!” ujar Sabrina menentang keputusanku. Matanya berkilat a
***Andin menatap mas Rafa dengan dahi yang berkerut dalam. “Apa maksudmu, Mas?” tanyanya meminta penjelasan.Mas Rafa mendengus kesal. “Apa harus aku katakan semuanya sekarang, Andin?” tantangnya.“Ada apa memangnya? Aku nggak ngerti maksudmu, Mas,”“Oya? Masih mau pura-pura?” Mas Rafa terlihat sangat geram.Sama seperti tadi, kali ini pun aku dan Sabrina saling menatap. Mempertanyakan sikap mas Rafa yang terlihat aneh. Kenapa dia seolah tahu apa yang Andin lakukan di belakangnya? Kenapa lelaki itu tampak percaya diri dengan setiap kata yang dia ucap?Tck!“Mas bicara apa? Mencoba mengalihkan semuanya, iya? Supaya mbak Zahra terbebas dari kekesalanku, begitu?”“Ini tidak ada hubungannya dengan Zahra, Andin!” bentak mas Rafa. Aku benar-benar terkejut dibuatnya. Masih tak menyangka lelaki yang aku lihat beberapa bulan lalu teramat sangat peduli pada Andin kini berubah sebaliknya. Dia tampak sangat tak menyukai kehadiran Andin.“Jelas ada, Mas! Wanita itu yang menyebabkan aku dipecat ol
***Suasana begitu tegang. Andin terpaksa di operasi karena bayinya harus dikeluarkan dengan segera.Mas Rafa telah menandatangani surat persetujuan untuk melakukan tindakan. Bapak dan Ibu mertuaku juga telah diberitahu.Kini keduanya sedang berada dalam perjalanan menuju ke rumah sakit. Sementara Naura dijaga Rani di rumah kami.“Sab, aku menyesal telah menyudutkan Andin,” ucapku pada Sabrina. Sejak tadi sahabatku itu menemani.Sabrina mendekap bahuku. “Jangan pernah menyeselai apa yang telah terjadi, Ra. Do’akan saja Andin dan bayinya selamat,” ucapnya.“Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada keduanya, Sab?”“Ssttt! Kamu nggak boleh mikir kayak gitu. Kita doakan saja semua baik,”Aku tak lagi membalas ucapan Sabrina. Mataku kini fokus pada pintu ruang operasi di mana Andin tengah ditangani. Sudah beberapa jam terlewatkan, tapi pintu belum juga terbuka. Membuat hatiku risau saja.Aku menghela napas dengan berat. Lalu tertunduk lesu, menyesali semua perbuatanku. Meskipun kata Sabrina ja
***Sabrina mengirimiku pesan setelah Satu jam kepergiannya. Harusnya tak memakan waktu sepanjang itu untuk sampai ke apartemen, tetapi aku memaklumi jika dia langsung mandi lalu menghubungiku setelahnya.Aku lega sahabatku itu sampai dengan selamat.Malam semakin larut, tetapi mataku tak juga menemukan kantuk. Pikiranku melayang pada badai panjang yang menerpa rumah tanggaku selama hampir setahun ini. “Aku nggak nyangka bisa bertahan sejauh ini, padahal sudah cukup lama rumah tangga retak,” ucapku dengan suara yang terdengar lirih.Bayangan rumah tangga yang pernah harmonis juga ikut meramaikan isi pikiran. Di waktu dulu malam panjang kami habiskan untuk bercerita. Berbagi kisah yang tak sempat kami arungi bersama. Sebab, kala siang mas Rafa pergi bekerja, sementara aku di rumah menjaga Naura.Tak kusangka aktivitas itu tak bisa kami ulangi lagi. Aktivitas yang aku pikir menyenangkan, nyatanya membosankan bagi mas Rafa. Buktinya dia mendua di belakangku. Sakit sekali. Namun, aku yaki
***Mobilku melaju kencang membelah jalan raya. Namun, tiba-tiba saja aku memelankan lajunya. Sebuah notifikasi terdengar dari ponselku. Tak ingin mengalami kecelakaan, aku sedikit menepi dengan kecepatan sedang. Aku raih ponsel yang masih tersimpan di dalam tas.“Mas Arlan?” Pupil mataku melebar membaca nama yang tertera pada layar hpku.Aku membukanya lalu tercengang. Isinya sungguh mengejutkan. Mas Arlan bilang dia minta maaf jika mengejutkanku dengan kata rindu, tetapi yang dia maksud adalah rindu pada Naura. Pipiku mendadak berubah merah membaca itu.“Fokus Zahra!” Aku melempar ponsel secara asal ke arah dashboard. Kembali aku menekan pedal gas cukup dalam hingga mobil bergerak lebih cepat.Setengah jam kemudian aku sampai di rumah sakit. Segera aku turun dari mobil. Kubawa rantang berisi makanan yang aku berikan pada mas Rafa dan orangtuanya.“Assalamu’alaikum,” sapaku mengucap salam.“Wa’alaikumsalam,” sahut semua yang ada di dalam. Ada mas Rafa, orangtuanya dan Andin. Hanya sa
***Usai memberiku ancaman mas Rafa pergi begitu saja. Jantungku masih berdetak kencang karena ketakutan. Bagaimana kalau mas Rafa benar-benar merealisasikan anacamannya? Tegakah dia?Aku menggeleng. Untuk sekarang aku tak ingin memikirkan hal itu terlebih dahulu. Aku melangkah pergi menuju ruang rawat Andin. Ingin menengoknya sekali lagi sebelum pergi.“Andin sudah bangun, Bu?” tanyaku saat melihat Ibu sedang membantu Andin duduk.Keduanya menoleh padaku. Bapak dan mas Rafa tidak ada di sana. Entah ke mana mereka. Masih saja Andin mendengus sebal meskipun dia sedang dirawat. Dengusannya bahkan terdengar tegas walau suaranya lirih. Aku mengabaikan hal itu. Niatku hanya ingin menjenguknya saja.“Sudah, Ra. Kamu belum pulang? Rafa di mana?” tanya Ibu setelah menjawab pertanyaanku.Aku menggeleng. “Belum Bu. Aku pikir mas Rafa berada di sini. Tadi kami bicara sebentar lantas berpisah,” ucapku menyembunyikan apa yang tadi mas Rafa lakukan kepadaku.“Ohh, kamu masih sempat-sempatnya godain
***Tepat waktu! Gerbang sekolah Naura baru saja terbuka saat aku sampai di sana. Aku turun dari mobil, mencari keberadaan putriku. “Naura!” Kupanggil dia saat mata ini menemukannya.Naura berlari kecil sambil tersenyum lebar. Tak tahu saja dirinya apa yang telah ibunya rasakan kala berada di rumah sakit. “Kita jadi lihat dedek bayi, Bu?” tanyanya terdengar antusias. Berbeda denganku yang tampak terkejut, aku lupa ada janji dengan Naura untuk menengok anaknya Andin. Sekarang bagaimana caranya menjelaskan pada Naura bahwa kami tidak akan ke sana?Aku masih berada dalam kebingungan saat wajah Naura berubah sendu. “Nggak jadi ya Bu?” tebaknya.Akhirnya aku menghela napas dengan berat. “Kalau kita langsung pulang saja bagaimana, Nau? Ibu ada urusan di toko yang belum terselesaikan,” ucapku memberi alasan.“Ke toko?”“Iya.” Aku mengangguk singkat.“Naura ikut, Bu!” ujarnya.Aku pun tersenyum lega. Syukurlah, putriku tak banyak menuntut tentang kami yang batal menjeguk anaknya Andin.“Tapi
*** Mas Rafa tampak tercengang mendengar ancamanku. Biar saja, biarkan dia tahu bahwa aku tidak pernah main-main soal perpisahan kami. Memang benar beberapa waktu yang lalu aku sempat ragu karena Naura, tetapi kini seolah pikiranku tercerahkan. Berada di sisi mas Rafa hanya akan menambah ribuan luka. “Aku serius, Mas,” ucapku memberi penegasan. Namun, yang tak pernah aku sangka adalah mas Rafa kini tertawa. “Kamu berani mengancamku? Memangnya kamu punya apa, Zahra?” tanyanya dengan mata yang melotot sempurna. Haruskah aku katakan apa yang aku punya? “Aku … ” “Kamu nggak usah banyak bicara! Keputusanku tidak bisa diganggu gugat, Ra. Kamu akan tetap menjadi isteriku selamanya!” potong lelaki itu. Dia pasti sudah gila karena memaksaku sampai seperti ini. Harus aku katakan seperti apa lagi memangnya? Aku sudah tidak mencintainya. Kisah kami benar-benar tak bisa diteruskan lagi. “Tapi Mas aku dan Naura nggak bahagia bersamamu. Kami nggak butuh kamu lagi,” “Kalian butuh aku