***Usai memberiku ancaman mas Rafa pergi begitu saja. Jantungku masih berdetak kencang karena ketakutan. Bagaimana kalau mas Rafa benar-benar merealisasikan anacamannya? Tegakah dia?Aku menggeleng. Untuk sekarang aku tak ingin memikirkan hal itu terlebih dahulu. Aku melangkah pergi menuju ruang rawat Andin. Ingin menengoknya sekali lagi sebelum pergi.“Andin sudah bangun, Bu?” tanyaku saat melihat Ibu sedang membantu Andin duduk.Keduanya menoleh padaku. Bapak dan mas Rafa tidak ada di sana. Entah ke mana mereka. Masih saja Andin mendengus sebal meskipun dia sedang dirawat. Dengusannya bahkan terdengar tegas walau suaranya lirih. Aku mengabaikan hal itu. Niatku hanya ingin menjenguknya saja.“Sudah, Ra. Kamu belum pulang? Rafa di mana?” tanya Ibu setelah menjawab pertanyaanku.Aku menggeleng. “Belum Bu. Aku pikir mas Rafa berada di sini. Tadi kami bicara sebentar lantas berpisah,” ucapku menyembunyikan apa yang tadi mas Rafa lakukan kepadaku.“Ohh, kamu masih sempat-sempatnya godain
***Tepat waktu! Gerbang sekolah Naura baru saja terbuka saat aku sampai di sana. Aku turun dari mobil, mencari keberadaan putriku. “Naura!” Kupanggil dia saat mata ini menemukannya.Naura berlari kecil sambil tersenyum lebar. Tak tahu saja dirinya apa yang telah ibunya rasakan kala berada di rumah sakit. “Kita jadi lihat dedek bayi, Bu?” tanyanya terdengar antusias. Berbeda denganku yang tampak terkejut, aku lupa ada janji dengan Naura untuk menengok anaknya Andin. Sekarang bagaimana caranya menjelaskan pada Naura bahwa kami tidak akan ke sana?Aku masih berada dalam kebingungan saat wajah Naura berubah sendu. “Nggak jadi ya Bu?” tebaknya.Akhirnya aku menghela napas dengan berat. “Kalau kita langsung pulang saja bagaimana, Nau? Ibu ada urusan di toko yang belum terselesaikan,” ucapku memberi alasan.“Ke toko?”“Iya.” Aku mengangguk singkat.“Naura ikut, Bu!” ujarnya.Aku pun tersenyum lega. Syukurlah, putriku tak banyak menuntut tentang kami yang batal menjeguk anaknya Andin.“Tapi
*** Mas Rafa tampak tercengang mendengar ancamanku. Biar saja, biarkan dia tahu bahwa aku tidak pernah main-main soal perpisahan kami. Memang benar beberapa waktu yang lalu aku sempat ragu karena Naura, tetapi kini seolah pikiranku tercerahkan. Berada di sisi mas Rafa hanya akan menambah ribuan luka. “Aku serius, Mas,” ucapku memberi penegasan. Namun, yang tak pernah aku sangka adalah mas Rafa kini tertawa. “Kamu berani mengancamku? Memangnya kamu punya apa, Zahra?” tanyanya dengan mata yang melotot sempurna. Haruskah aku katakan apa yang aku punya? “Aku … ” “Kamu nggak usah banyak bicara! Keputusanku tidak bisa diganggu gugat, Ra. Kamu akan tetap menjadi isteriku selamanya!” potong lelaki itu. Dia pasti sudah gila karena memaksaku sampai seperti ini. Harus aku katakan seperti apa lagi memangnya? Aku sudah tidak mencintainya. Kisah kami benar-benar tak bisa diteruskan lagi. “Tapi Mas aku dan Naura nggak bahagia bersamamu. Kami nggak butuh kamu lagi,” “Kalian butuh aku
*** “Kamu tenang saja! Rafa nggak akan berkutik saat ancamanmu itu benar-benar kamu lanjutkan,” ucap Sabrina setelah mendengar ceritaku. “Tapi aku nggak mau Naura punya seorang ayah mantan narapidana nantinya, Sabrina,” balasku khawatir. Tck! Sabrina berdecak kesal. “Ingat Ra, ini hanya ancaman. Kamu nggak perlu khawatir!” ujarnya. Aku mengerti maksud Sabrina hingga aku setuju dengannya. Jika memang cara ini mampu membuat mas Rafa setuju untuk menceraikanku, maka akan aku tempuh. “Ya sudah terima kasih, Sab. Aku tutup dulu, mau lanjut cek toko,” “Okay! Kalau ada apa-apa langsung kabarin aku ya,” pintanya yang langsung aku angguki dengan anggukan kepala. “Assalamu’alaikum, Sabrina.” “Wa’alaikumsalam, Zahra.” Setelah itu telepon benar-benar kami akhiri. Aku mengembuskan napas dengan berat. Mulai merasa jenuh dengan semua ini. Sudah cukup lama kemelut rumah tangga menghantuiku. Sudah cukup lama pula aku ingin berpisah dari mas Rafa, akan tetapi hingga detik ini belum juga ada k
***Setelah mendengar tanggapanku itu, mas Rafa menyeret langkah kakinya menjauh. Syukurlah jika dia mulai lelah menghadapi keenggananku akan rumah tangga kami. Aku membalikkan badan. Dapat aku lihat lelaki itu masuk ke rumah tanpa menoleh padaku lagi. Dulu, dengan senang hati aku akan berlari mengekor di belakangnya sambil mengajaknya bercerita. Namun, kini tidak. Aku justru ingin jauh sejauh-jauhnya dari mas Rafa.Maafkan aku Tuhan, tapi entah kenapa aku merasa ini jalan yang seharunya aku pilih. Tentu keputusan ini tak aku ambil secara gegabah. Banyak yang aku pertimbangkan hingga sampai di detik ini.Kembali aku melanjutkan mencabut rumput pada tanamanku. Setengah jam kemudian aku menyelesaikan semuanya. Naura pun sudah terbangun dari tidurnya. Gadis itu memintaku untuk memandikannya karena akan sekolah.Begitu kami keluar kamar, aku melihat mas Rafa telah berada di meja makan. Dia sendirian karena Andin masih berada di rumah sakit. Aku dan Naura menghampirinya karena harus ikut s
***Aku termenung mengingat kembali ucapan Andin Dua hari yang lalu. Wanita itu kenapa jahat sekali? Apa mungkin karena aku terlalu lunak kepadanya? Salahkan saja rasa kasihan yang mudah aku rasakan ini. Aku tak tega menyakitinya, takut sesuatu terjadi lagi seperti beberapa hari yang lalu. Andin yang terpaksa melahirkan lebih cepat karena syok.Aku menggeleng, cukup beruntung karena tidak terjadi apa-apa pada bayi Andin. Kalau sampai wanita itu kehilangan anak pertamanya, maka aku akan merasakan perasaan bersalah seumur hidupku.“Ra kenapa lagi kamu?”Pertanyaan seseorang mengejutkanku. Hari ini aku memang janjian dengan Sabrina untuk bertemu di sekitar tempat kerjanya. Harusnya pertemuan kami berdua saja, tapi kulihat dia datang bersama Ari dan mas Arlan.“Biasakan salam dulu kalau baru bertemu, Sabrina!” tegur mas Arlan. Kemudian dia mengucap salam. Aku pun membalasnya secara singkat.Sabrina duduk di kursi yang tersedia di depanku, sedangkan mas Arlan dan Ari menarik kursi lainnya
***“Siapa sebenarnya yang bicara dengan lelaki itu?” bisik Sabrina. Sejak tadi dia terlihat sangat penasaran dan tidak sabaran. Sama halnya denganku sebenarnya, tapi aku berusaha untuk tak terlalu mencolok. Kami bisa saja ketahuan oleh selingkuhan Andin.“Apa mungkin itu madumu, Ra?” Sabrina kembali berbisik. Aku menggeleng, tak ingin menduga-duga.“Rama. Nama lelaki itu Rama, Sab. Dia juga sudah dipecat dari kantorku,” Mas Arlan tiba-tiba menyebutkan nama lelaki itu.Aku dan Sabrina tidak tahu siapa namanya. Bahkan Sabrina yang pernah menguntitnya saja tidak tahu namanya.“Ohh, jadi namanya Rama?” Sabrina membeo. Mas Arlan mengangguk singkat sebagai jawaban.“Jangan-jangan dia sedang bicara dengan Andin? Terus anak yang Andin lahirkan ternyata benar anaknya!”“Tapi Andin bilang itu anak mas Rafa, Sab,” sahutku tak kalah pelan.Sabrina berdecak sebal. “Andin kan tukang bohong, Ra! Bisa saja kan dia bicara seperti itu agar dia merasa benar,” ucapnya.Entahlah, aku tak tahu. Tak pentin
Usai menemui Sabrina dan pengacara yang di rekomendasikannya Dua hari yang lalu, aku terus menerus termenung sendirian di teras belakang toko kueku. Dokumen yang diminta oleh pengacaraku cukup rumit. Terlebih bukti perselingkuhan mas Rafa sebelum dia menikahi Andin. Namun, fakta bahwa dia sudah cukup lama tak menafkahiku secara bathin maupun materi membuat pengacaraku berkata kami memiliki jalan untuk mengajukan perceraian ke pengadilan.Akan tetapi, aku tak puas bila masih ada celah untuknya mempertahankan pernikahan ini. Sebab, aku benar-benar ingin kami berpisah. Aku sudah tidak mencintainya lagi. Luka yang pernah dia torehkan dihatikan sudah cukup dalam dan pedih. Tak mampu diriku menyembuhkannya meskipun mas Rafa telah berubah.Makanya kini aku sedang berpikir keras, apa sekiranya yang dapat kujadikan bukti agar tuntutanku di pengadilan semakin sempurna.Aku mendesah berat. Tiba-tiba suara Sinta mengintrupsi diriku.“Ada apa Sin?”“Ada tamu,” jawab Sinta ketika aku bertanya.Dahi