***“Mas kamu nggak nahan Andin? Jangan sampai dia kelaparan, Mas. Kasihan bayinya. Aku akan sangat merasa bersalah andai Andin dan bayinya kenapa-napa,” ucapku setelah hening beberapa detik sejak kepergian Andin.Mas Rafa yang masih menatap ke arah Andin menghilang kini mengalihkan perhatiannya kepadaku. “Kamu masih peduli padanya setelah apa yang dia lakukan padamu, Dek?” tanyanya.Aku menelan ludah dengan susah payah. Masih saja mas Rafa memanggilku dengan cara seperti itu. Membuat tidak nyaman saja. “Aku bukan peduli padanya Mas, tapi pada anak yang sedang dia kandung. Bayi itu tidak berdosa,” jawabku.Mas Rafa menatapku dengan tatapan yang sulit sekali aku artikan. Dia seperti memiliki beban pikiran yang berat. “Kamu benar Ra, bayi itu tidak berdosa. Aku salah bersikap kejam,” ucapnya dengan lirih.Aku perhatikan lelaki itu dengan seksama. Benar ada yang berubah darinya. Tatapannya tak lagi membara seperti biasa. Kecewa tampak pekat di sana. “Mas nggak apa-apa?” tanyaku ragu.Mas
***Seperti janjiku pada Sabrina, jam makan siang kami langsung membuat janji temu, lalu menuju rumah sakit yang merawat mas Arlan. “Dia kecelakaan tunggal, Sab?” tanyaku penasaran.Ngomong-ngomong Naura tak kuajak serta. Dia kutinggalkan bersama Rani di rumah. Nau juga tak banyak protes.Sabrina menoleh padaku yang sedang menyetir. “Iya. Rem mobilnya blong aku dengar,” jawabnya.“Huhh? Kok bisa?”Dari ekor mata kulihat Sabrina mengedikan bahunya. “Aku juga nggak paham,” ucapnya.“Nggak kayak di novel-novel kan? Rem blong karena ada yang ngerjain,” candaku.“Bisa jadi sih Ra, secara kan ada yang benci banget sama kehadiran mas Arlan saat ini,” balas Sabrina sambil melirik ke arahku dengan cara yang aneh.“Maksudmu?”Sekali lagi Sabrina mengedikan bahunya. “Nggak ngerti ah. Nanti kita tanya sama-sama gimana kejadiannya,” ucapnya.Suasana menjadi hening. Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Namun, karena jarak rumah sakit yang dekat membuat kami tak lama tiba di sana. Aku dan Sabrin tu
***Saat keluar dari toilet aku dan Sabrina tak menemukan Ari. Hanya tersisa mas Arlan saja. “Ke mana Ari, Mas?” tanyaku.“Cari makan. Kasihan dia belum makan dari pagi tadi,” jawab mas Arlan.“Kalian sudah makan siang?”Aku mengangguk, tapi Sabrina menggeleng. Membuatku mengerutkan kening. Dia belum makan siang?“Aku belum sempat,” ucap Sabrina seakan paham keherananku.Kuhela napas berat. “Kok kamu nggak bilang, Sab?” tanyaku sedikit sebal. Tahu begitu kuajak makan siang dulu dirinya.“Gimana mau bilang kalau kamu tampak cemas, Ra. Mau cepat-cepat periksa keadaan mas Arlan,” kekeh sahabatku.Membuatku salah tingkah saja. “Iya kasihan saja sama teman. Kita kan sesama tahu kalau mas Aran sudah tidak punya siapa-siapa lagi,” ucapku memberi alasan.Sabrina mengangguk-anggukan kepalanya. Sementara mas Arlan terdengar terkekeh.“Kamu mau makan siang sama Ari, Sab?” tanya mas Arlan.“Kalau Zahra mau ditinggal?” Sabrina melirik ke arahku.Ditinggal berdua saja dengan mas Arlan? Apakah akan
***Sore hari Naura terbangun dari tidurnya. Mengadu padaku untuk dibuatkan prakarya sederhana tugas dari gurunya. Aku menyanggupi, lantas segera meminta Rani membantuku menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan.“Rani ke fotocopy depan dulu, Mbak. Di sana kayaknya ada bahan yang kita butuhkan,” ucap Rani kepadaku.Aku mengangguk. “Ajak Naura sekalian, Ran. Biar kamu ada temannya,” kataku.“Oke Mbak!”Setelah itu Rani pergi bersama Naura. Kepergian keduanya berpas-pasan dengan kembalinya mas Rafa sepulang dari bekerja. Seperti dulu, kini mas Rafa mengulurkan tangannya agar aku sambut dan cium dengan hormat. Aku melakukannya, tetapi dengan perasaan yang tentu saja sudah berbeda.Aku menyusul mas Rafa menuju kamarnya setelah itu. “Mas kita perlu bicara dengan serius,” ucapku merasa harus segera meluruskan semuanya. Aku tidak bisa bertahan di tempat ini. Aku ingin pergi.Mas Rafa yang sedang menyimpan tas di lemari menoleh padaku yang sedang berdiri di ambang pintu. Dahinya berkerut dala
***“Zahra? Ada apa? Kenapa wajahmu pucat begitu? Kamu sakit?” Pertanyaan tersebut membuatku sangat terkejut. Entah sejak kapan mas Rafa berada di depanku, sambil memandangiku.Aku gelagapan. Benakku masih mempertanyakan soal gunting milik mas Rafa yang berbau aneh.“Zahra kamu sakit?” ucap mas Rafa mengulang pertanyaannya. Bahkan kini lelaki itu menyentuh bahuku.Tubuhku tiba-tiba bergetar. “Enggak Mas, maaf bisa lepaskan? Peganganmu pada bahuku terlalu kencang,” pintaku sambil meringis. Entah efek apa ini? Apa mungkin mas Rafa mendengar obrolanku bersama Sabrina? Namun, itu tidak mungkin. Tadi dia masih bertengkar bersama Andin.“Ahh, maaf. Kamu nggak apa-apa, Dek?”Aku menggeleng. “Aku baik-baik aja, Mas. Aku permisi dulu.” Tanpa menunggu tanggapannya aku langsung pergi. Buru-buru masuk ke kamar. Pintu pun langsung dikunci dari dalam.“Loh ada apa Mbak? Kenapa pintunya dikunci segala?”Sekali lagi aku terkejut. Aku lupa ada Rani di sini. Suaranya mengagetkanku. “Nggak apa-apa, Ran.
***Aku tatap Sabrina yang masih mencerna ucapanku. Karena yakin dia akan berekasi berlebihan, kutarik tangannya menuju ke kamarku dan Naura. Lebih baik kami bicara saja di sini.“Zahra kamu serius?” tanya Sabrina begitu pintu kamar aku tutup rapat dari dalam.Aku yang tadinya masih membelakanginya kini menghadapnya. “Aku serius, Sab,” jawabku.“Tapi kenapa, Ra?” Sabrina datang menghampiri. Sahabatku itu tampak tidak terima. “Kamu diancam?” tanyanya sambil memicingkan mata.Aku menggeleng. “Enggak, Sab,” jawabku.“Terus? Kamu kan semangat mau pisah. Kenapa sekarang bilang nggak jadi?”“Naura, Sab,”“Ternyata aku nggak bisa lihat dia sedih karena perpisahan kami. Dia mau aku dan mas Rafa sama-sama terus, Sab,” jelasku.“Tapi kenapa? Bukannya waktu itu Naura setuju kamu pisah sama si Rafa?”Aku menggeleng. “Naura berubah pikiran karena yang Naura lihat ayahnya telah banyak berubah,” ucapku.“Nggak bisa Ra! Jangan balikan sama Rafa!” ujar Sabrina menentang keputusanku. Matanya berkilat a
***Andin menatap mas Rafa dengan dahi yang berkerut dalam. “Apa maksudmu, Mas?” tanyanya meminta penjelasan.Mas Rafa mendengus kesal. “Apa harus aku katakan semuanya sekarang, Andin?” tantangnya.“Ada apa memangnya? Aku nggak ngerti maksudmu, Mas,”“Oya? Masih mau pura-pura?” Mas Rafa terlihat sangat geram.Sama seperti tadi, kali ini pun aku dan Sabrina saling menatap. Mempertanyakan sikap mas Rafa yang terlihat aneh. Kenapa dia seolah tahu apa yang Andin lakukan di belakangnya? Kenapa lelaki itu tampak percaya diri dengan setiap kata yang dia ucap?Tck!“Mas bicara apa? Mencoba mengalihkan semuanya, iya? Supaya mbak Zahra terbebas dari kekesalanku, begitu?”“Ini tidak ada hubungannya dengan Zahra, Andin!” bentak mas Rafa. Aku benar-benar terkejut dibuatnya. Masih tak menyangka lelaki yang aku lihat beberapa bulan lalu teramat sangat peduli pada Andin kini berubah sebaliknya. Dia tampak sangat tak menyukai kehadiran Andin.“Jelas ada, Mas! Wanita itu yang menyebabkan aku dipecat ol
***Suasana begitu tegang. Andin terpaksa di operasi karena bayinya harus dikeluarkan dengan segera.Mas Rafa telah menandatangani surat persetujuan untuk melakukan tindakan. Bapak dan Ibu mertuaku juga telah diberitahu.Kini keduanya sedang berada dalam perjalanan menuju ke rumah sakit. Sementara Naura dijaga Rani di rumah kami.“Sab, aku menyesal telah menyudutkan Andin,” ucapku pada Sabrina. Sejak tadi sahabatku itu menemani.Sabrina mendekap bahuku. “Jangan pernah menyeselai apa yang telah terjadi, Ra. Do’akan saja Andin dan bayinya selamat,” ucapnya.“Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada keduanya, Sab?”“Ssttt! Kamu nggak boleh mikir kayak gitu. Kita doakan saja semua baik,”Aku tak lagi membalas ucapan Sabrina. Mataku kini fokus pada pintu ruang operasi di mana Andin tengah ditangani. Sudah beberapa jam terlewatkan, tapi pintu belum juga terbuka. Membuat hatiku risau saja.Aku menghela napas dengan berat. Lalu tertunduk lesu, menyesali semua perbuatanku. Meskipun kata Sabrina ja
*** Tiga tahun kemudian hidupku cukup memiliki perubahan. Dalam ruang sidang waktu itu sungguh bukan pertemuan terakhirku dengan mas Rafa. Sesuai janji, aku mengizinkannya untuk bertemu Naura sekira dia rindu. Dan, benar saja mas Rafa intens bertemu Naura dalam tahun pertama perpisahan kami. Lalu tahun-tahun berikutnya beberapa kali dia menemui Naura karena dia akhirnya memutuskan untuk bekerja di luar Kota. Sementara kepada Andin, aku benar-benar iba karena wanita itu menjadi gila. Setelah diceraikan oleh mas Rafa, Andin turut kehilangan anaknya. Bayi perempuan itu meninggal dunia karena sakit. Andin kehilangan kewarasannya hingga terpaksa dirujuk ke rumah sakit jiwa. Beberapa kali aku datang ke sana hanya sekadar untuk menjenguknya. Andin selalu meracau, meminta maaf karena gagal menjadi seorang ibu. Sesekali dia juga berkata kasar tentangku, mungkin karena dirinya masih memiliki dendam. Namun, hal itu tak membuatku membencinya. Aku justru merasa sangat iba. Oleh karena itu, setia
*** “Rafa akhirnya lepasin kamu, Ra?” tanya Sabrina saat pertama kali aku datang ke apartemennya setelah pamit menjemput koper. Aku mengembuskan napas dengan berat. Entah harus mulai dari mana aku bercerita, tetapi aku tahu Sabrina ingin mendengar semuanya. “Sab jangan terkejut,” ucapku sambil menyimpan koper secara sembarangan. Aku mengempaskan diri ke sofa ruang tamu, mengedarkan pandangan mencari keberadaan Naura. “Lagi main di kamarku. Ada apa?” Sabrina seakan paham apa yang sedang aku lakukan. Aku pun mengangguk singkat sambil mengembuskan napas lega. Mataku kini fokus pada Sabrina. “Mas Rafa menjatuhkan talak pada Andin lebih dulu,” terangkan. Pupil mata Sabrina melebar mendengar itu. “Apa?” tanyanya tidak percaya. “Mas Rafa tahu soal perselingkuhan Andin. Ditambah tadi dia bilang Andin tidur dengan banyak pria,” “Huh?” Sabrina belum juga reda dari terkejutnya. “Tapi nggak aneh sih, madumu itu kan memang suka sama banyak lelaki,” kekehnya melanjutkan. Aku hanya mengedikan
***Pertengkaran itu terjeda saat Andin datang mendekat dari arah kamarnya. Sejenak aku menoleh dan sadar tujuan Andin jelas ke arahku dan mas Rafa.Kutarik napas dalam-dalam saat dia dengan sengaja berhenti di sisi mas Rafa sambil bersedekap dada. Biar kutebak, Andin senang melihat pertengkaran kami ini. Namun, aku benar-benar tidak peduli. Kembali aku menatap Mas Rafa, tanpa ekspresi, seolah segala rasa sakit tak dapat lagi kugambarkan lewat tatapan. "Tukang selingkuh seperti Mas tidak berhak bertanya seperti itu kepadaku," balasku tegas. Mas Rafa terlihat terkejut. Ia menatapku dengan pupil mata yang melebar, lalu menoleh pada Andin yang tersenyum sinis sembari menundukan pandangannya. "Kamu masih membahas soal itu?" tanyanya seakan perselingkuhannya bukan dalang terbesar hingga membuatku ingin berpisah seperti ini. Kalau saja boleh aku meludah di depannya, maka mungkin sekarang aku akan meludah. Namun, aku masih memiliki etika dan sopan santun. "Tidak usah bertanya seperti itu
***Aku tak main-main soal ucapanku yang ingin mengadukan perbuatan mas Rafa. Sehari setelah perdebatan kecil kami, aku tak segan memberinya peringatan sekali lagi. Hanya saja dia tetap tidak peduli. Dirinya masih keras kepala ingin mempertahankanku dan pernikahan kami.Lalu hari ini rencanaku sudah benar-benar bulat ingin pergi.“Bu, kita mau ke mana?” tanya Naura. Iya, kini aku tengah sibuk memasukan semua pakaian ke dalam koper.“Pergi Nak, sudah saatnya kita tinggalkan rumah ini,” jawabku tegas. Naura terdiam. Dia menunduk dalam saat aku menoleh padanya. Mungkinkah hatinya sedih karena pada akhirnya aku dan ayahnya akan berpisah? Mendadak rasa bersalah menyelimuti hati kecilku. Namun, aku tak bisa mengalah kali ini.“Maafkan Ibu ya Nau,” ucapku sembari memeluknya. Naura lagi-lagi diam. Aku menarik napas dalam-dalam. “Ibu antar ke rumah tante Sabrina ya Nau.” Aku raih tangannya sambil tersenyum, berharap senyum ini dapat menenangkan hatinya yang gelisah.Naura akhirnya mengangguk p
***“Aku tetap tidak mengizinkan, Zahra!” ujar mas Rafa keras kepala. “Sebaiknya kamu masuk ke kamarmu sekarang.” Dia memalingkan wajahnya setelah mengatakan itu. Aku menggeleng tak percaya, dirinya masih saja tak ingin melepaskanku setelah apa yang dia lakukan. “Mas!” Rasanya aku sudah tak tahan lagi.Namun, terpaksa aku menghentikan perdebatan ini saat Naura terdengar memaksa Rani untuk keluar dari kamar kami. Kutarik napas dalam, lalu aku embuskan secara perlahan. Kubawa langkahku pergi dari ruang tamu, akan tetapi bukan berarti aku setuju untuk tetap mempertahankan rumah tangga kami.“Ibu!” panggil Naura saat aku membuka pintu. Mata gadis kecilku itu terlihat memerah, menahan tangis. Kupeluk dia dengan erat. “Ibu baik-baik saja?” tanyanya. Terpaksa kepala ini mengangguk agar dia tak khawatir.Aku alihkan pandanganku kepada Rani. Kulihat gadis itu menggigit bibirnya. “Aku nggak apa-apa, Ran. Terima kasih ya sudah menjaga Naura untukku,” ucapku tulus. Rani mengangguk singkat.“Sekar
***Sesuai yang ibunya mas Rafa katakan, beliau membawaku ke rumah sakit setelah itu. Tak lupa aku menelpon Sabrina agar dia datang menemani. Namun, ternyata dia tak datang sendirian. Ada Arlan dan Ari bersamanya.“Ini udah keterlaluan banget sih, Ra! Beraninya Rafa mukulian kamu sampai berdarah-darah!” ujar Sabrina marah. Dia tampak tak peduli meskipun ibu mertuaku juga ada di ruangan yang sama dengan kami.“Sab,” tegurku merasa tak tega melihat ekspresi bersalah di wajah Ibu. Mungkin dia sekarang sadar anak yang dia bela sanggup memukuli seorang wanita.Sabrina melirik malas ke arah ibu. “Maaf Bu, tapi sebagai satu-satunya sahabat Zahra dan satu-satunya keluarga baginya, aku nggak akan tinggal diam. Aku akan laporin masalah ini ke pihak berwajib!” tegasnya.Aku meringis. “Sudah Sabrina, cukup. Masalah ini kita bicarakan nanti saja,” pintaku memohon pengertiannya.Namun, aku lihat Ibu menggelengkan kepalanya. “Zahra benar kamu mau pisah dari Rafa?” tanyanya dengan mata yang berkaca-k
***Bukti perselingkuhan mas Rafa dengan Alin membuat Mbak Diah tersenyum lebar. Pengacaraku itu yakin tak akan ada halangan untukku berpisah dari mas Rafa.“Untung aku ngadu ke Arlan,” kekeh Sabrina membanggakan dirinya.Aku mengangguk singkat. “Terima kasih,” ucapku.“Makasih ke Arlan udah, Ra?” tanya Sabrina.Sekali lagi aku menganggukkan kepala.“Terus sekarang gimana, Mbak?” Aku mengalihkan tatapan pada mbak Diah. Tahu betul Sabrina ingin menggodaku lagi soal mas Arlan, makanya segera kualihkan saja pandangan ini pada mbak Diah.Wanita berkaca mata itu menjelaskan langkah kami selanjutnya. Cukup lama kudengarkan penjabarannya hingga hasil akhirnya adalah aku hanya perlu menunggu beberapa waktu lagi untuk benar-benar berpisah dari mas Rafa.Jujur, kesedihan terasa di hati ini sebab masih tak kusangka rumah tangga yang dulu harmonis kini hancur tak bersisa. Namun, bertahan dengan lelaki itu bukan jalan yang aku mau. Luka yang dia beri terlalu dalam kurasa.“Sekarang kamu hanya haru
Usai menemui Sabrina dan pengacara yang di rekomendasikannya Dua hari yang lalu, aku terus menerus termenung sendirian di teras belakang toko kueku. Dokumen yang diminta oleh pengacaraku cukup rumit. Terlebih bukti perselingkuhan mas Rafa sebelum dia menikahi Andin. Namun, fakta bahwa dia sudah cukup lama tak menafkahiku secara bathin maupun materi membuat pengacaraku berkata kami memiliki jalan untuk mengajukan perceraian ke pengadilan.Akan tetapi, aku tak puas bila masih ada celah untuknya mempertahankan pernikahan ini. Sebab, aku benar-benar ingin kami berpisah. Aku sudah tidak mencintainya lagi. Luka yang pernah dia torehkan dihatikan sudah cukup dalam dan pedih. Tak mampu diriku menyembuhkannya meskipun mas Rafa telah berubah.Makanya kini aku sedang berpikir keras, apa sekiranya yang dapat kujadikan bukti agar tuntutanku di pengadilan semakin sempurna.Aku mendesah berat. Tiba-tiba suara Sinta mengintrupsi diriku.“Ada apa Sin?”“Ada tamu,” jawab Sinta ketika aku bertanya.Dahi
***“Siapa sebenarnya yang bicara dengan lelaki itu?” bisik Sabrina. Sejak tadi dia terlihat sangat penasaran dan tidak sabaran. Sama halnya denganku sebenarnya, tapi aku berusaha untuk tak terlalu mencolok. Kami bisa saja ketahuan oleh selingkuhan Andin.“Apa mungkin itu madumu, Ra?” Sabrina kembali berbisik. Aku menggeleng, tak ingin menduga-duga.“Rama. Nama lelaki itu Rama, Sab. Dia juga sudah dipecat dari kantorku,” Mas Arlan tiba-tiba menyebutkan nama lelaki itu.Aku dan Sabrina tidak tahu siapa namanya. Bahkan Sabrina yang pernah menguntitnya saja tidak tahu namanya.“Ohh, jadi namanya Rama?” Sabrina membeo. Mas Arlan mengangguk singkat sebagai jawaban.“Jangan-jangan dia sedang bicara dengan Andin? Terus anak yang Andin lahirkan ternyata benar anaknya!”“Tapi Andin bilang itu anak mas Rafa, Sab,” sahutku tak kalah pelan.Sabrina berdecak sebal. “Andin kan tukang bohong, Ra! Bisa saja kan dia bicara seperti itu agar dia merasa benar,” ucapnya.Entahlah, aku tak tahu. Tak pentin