***Sesampainya di toko langsung saja aku titipkan Naura pada Sinta dan satu karyawanku yang lain. Untungnya Naura benar-benar menjelma menjadi anak yang manis. Dia tak keberatan meskipun kutinggal pergi.“Nau, jangan nakal ya. Ibu hanya pergi sebentar,” pesanku pada Naura.“Iya Bu,” balas putri semata wayangku itu.Lantas aku pun berpamitan pada yang lain. Lalu pergi dengan mengendarai mobilku sendiri. Saat sedang fokus berkendara, sebuah pesan masuk ke dalam ponselku. Nama Andin tertera di layarnya.Kubuka pesan tersebut sambil sesekali fokus pada jalan raya.“Kafe teratai?” Andin mengajakku bertemu di kafe teratai. Namun, aku tak tahu di mana tempat itu. Beruntung Andin cepat mengirimiku pesan lagi, berupa alamat kafe tersebut. Segera aku mengarahkan mobilku ke sana.“Loh, ini bukannya dekat dengan kantor Andin sendiri?” tanyaku setelah berkendara sekitar Lima Belas menit. Kantor Andin artinya kantor mas Arlan juga. Tak menutup kemungkinan aku akan bertemu dengan pria itu di sekita
***“Ndin,” geramku memberinya peringatan. Namun, wanita itu tersenyum senang dibalik mata yang terus saja meneteskan airnya. Apa sekarang aku salah jika ingin menyiksa Andin dengan foto-foto yang Sabrina berikan? Dia jahat sekali karena memfitnahku di depan orang banyak seperti ini.“Kenapa, Mbak? Apa nggak ada lelaki lain selain suamiku? Rumah tangga kami hancur gara-gara kehadiranmu. Tolong jangan ganggu suamiku, Mbak,” Wanita itu semakin gila saja.“Wahhh! Percuma si mbaknya pakai jilbab gitu kalau jadi simpanan suami orang. Sadar mbak, jangan jadi perusak!” komentar wanita yang mejanya tepat berada di sebelah kami. Kafe memang cukup ramai sebab orang-orang kantor sedang sarapan di sini.Aku menggigit bibirku. Bagaimana ini? Rasanya percuma saja meksipun aku membela diri. Semua orang telah teracuni oleh mulut kotor Andin.“Iya, Mbak. Kasihan bini orang. Mana lagi hamil gitu!” ujar yang lainnya. Aku terpojok. Rupanya pelajaran seperti ini yang ingin Andin berikan. Kupandangi sekali
***“Mas Arlan nggak apa-apa kan kalau kami pindah?” tanyaku melanjutkan obrolan.“Kalau niatmu sudah bulat aku bisa apa? Tapi tolong kabari aku kapan kalian ingin pindah. Aku akan membantu,”“Tolong jangan menolak bantuanku, Ra!” ujar lelaki itu cepat, seolah tahu aku akan menolaknya.“Baiklah Mas, terima kasih kalau begitu,” ucapku setuju.“Sama-sama. Oya, madumu itu orang kantorku, kan?” tanya Mas Arlan tiba-tiba. Ahh, aku memang belum menceritakan secara keseluruhan seperti apa kehidupan seorang Andin. Aku pun mengangguk sebagai jawaban. “Dia yang Sabrina buntuti selama ini, Mas,” ucapku. Sabrina memang sempat izin keluar masuk ke kantor mas Arlan selama ini untuk menyelidiki Andin dan selingkuhannya itu.Mas Arlan mengizinkan dengan syarat jangan sampai mengganggu pekerjaan karyawannya.“Mas nggak kenal kan sama dia?” tanyaku.“Nggak Ra,”Itu wajar sebab mas Arlan dan Andin tidak bekerja di lantai yang sama. Bahkan menurut Sabrina lelaki ini jarang menampakan wajahnya di kantor s
***“Jadi benar apa yang Andin katakan? Kamu sedang bersama lelaki yang bukan mahram,” ucap mas Rafa sambil menudingku dengan jari telunjuknya. Entah datang dari mana lelaki itu, akan tetapi tiba-tiba saja dia kini tepat berada di depanku dan mas Arlan.Aku berdiri dari dudukku masih dalam keadaan terkejut. Seketika itu pula pandanganku dan mas Arlan terputus.“Maaf mas jangan asal tuduh. Aku nggak sengaja ketemu mas Arlan.” Aku membela diri.“Zahra benar, kami nggak sengaja bertemu,” Mas Arlan ikut menjelaskan.Namun, mas Rafa tak pernah mau mendengarkan. Lelaki itu menarik pergelangan tanganku, menyeretku dari tempat itu. “Mas!”“Diam kamu Zahra! Ikut aku pulang.”Tidak! Aku tidak mau. Cukup sudah diriku dipermalukan di depan umum hari ini.“Berhenti, Mas! Aku nggak mau. Aku mau ke toko. Naura di sana menungguku!”“Berani membantah?” bentak lelaki itu. Aku terus menggeleng. Mas Rafa benar-benar kasar.Lalu tanpa kuduga mas Arlan berdiri dari duduknya. Sebuah tinju melayang ke wajah
***Andin terlihat marah saat aku dan Naura memasuki rumah. Sengaja kulewati dirinya tanpa menyapa. Wajar bila aku mengabaikannya. Kelakuannya pagi tadi masih membuatku sakit hati. Namun, yang membuat diri ini terheran-heran adalah sikap mas Rafa. Lelaki itu tak menyapa Andin dengan mesra seperti biasa. Dia pun hanya melewati Andin tanpa memeluk apalagi menciumnya.“Mbak Zahra!” ujar Andin memanggil namaku saat kaki ini baru saja akan melewati pintu.“Nau, kamu ke kamar duluan ya,” Tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, aku pun meminta Naura untuk masuk ke kamarnya terlebih dahulu. Meskipun terlihat jelas harapan Naura ingin masuk bersamaku, tapi akhirnya dia mengikuti perintah.Gadis kecilku meninggalkan ibunya dengan hati yang was-was. Aku yakinkan dia bahwa semuanya akan baik-baik saja.“Mbak nggak dengar peringatanku ya? Aku bilang menjauh, Mbak! Jangan ganggu rumah tanggaku!” ujar wanita sialan itu.Aku mengembuskan napas dengan berat. Terkadang aku bingung dengan perasaan yang
***“Akhirnya selesai juga, Mbak!” ujar Rani kepadaku saat ayam goreng tepung kesukaan Naura siap untuk dihidangkan. Aku mengangguk singkat sebagai jawaban. “Terima kasih ya Ran atas bantuannya,” ucapku.“Justru aku yang harusnya ngucapin makasih sama mbak Zahra. Jarang-jarang loh majikan mau bantuin pembantunya,” kekeh gadis itu.“Nggak perlu sungkan, Ran, kan mbak udah bilang kalau nyonya di rumah ini hanya Andin seorang,”“Ahh, mbak Zahra bisa aja, tapi serius loh mbak! Aku benaran kaget saat mbak memperkenalkan diri sebagai istri pertamanya si Bapak. Aku pikir mbak Zahra bercanda,”Kali ini aku yang terkekeh karena ucapannya. “Ya begitulah,” komentarku seadanya.Rani seakan ingin mengatakan sesuatu yang lain, tapi mulutnya mendadak terkatup rapat dengan mata yang melirik tepat ke belakangku.Ketika aku menoleh, kudapati Andin ada di sana sambil mengelus perut buncitnya.“Kamu kok lama amat masak gulai ikan nilanya, Ran?” tanya Andin dengan eskpresi wajah yang tak enak untuk dipand
***Andin terpuruk. Wajahnya pucat saat keluar dari kamarnya untuk makan malam. Dapat aku lihat garis wajah yang biasanya tegas kini mengendur. Wanita itu frustrasi. Iya, siapa memangnya yang tak terkejut melihat perubahan pada diri Mas Rafa? Lelaki yang biasanya bersikap teramat manis pada Andin itu tiba-tiba sangat kasar.Bahkan tak segan menyakiti fisik.Aku menghela napas dengan berat. Tak ingin larut dalam masalah keduanya, kufokuskan perhatianku pada Naura yang duduk tepat di sampingku. Tak peduli pada tanda tanya di mata Andin yang tampak penasaran akan keberadaan mas Rafa.“Di mana suamiku, Ran?” tanyanya kemudian mengudara.Ran tergopoh menghampiri. “Rani nggak tahu, Buk. Nggak sempat lihat,” ucapnya menjawab pertanyaan Andin.Terdengar embusan napas berat dari Andin. Lalu hening. Saat aku mengalihkan pandangan padanya, kulihat dia sedang memperhatikan gulai ikan nila yang katanya diinginkannya itu. Bukannya mengambil piring, mengisinya dengan nasi lalu gulai ikan nila, tapi
***Usai menyaksikan keanehan di ruang makan, aku membawa Naura masuk ke kamar. Naura sudah lama terlelap, tapi mataku masih tak menemukan kantuknya. Masih saja terbayang olehku bagaimana suara mas Rafa mengalun lembut menyapa telinga. Tak seperti biasa, lelaki itu bersikap seperti dirinya yang dulu. Penuh perhatian.“Ada apa sebenarnya?” Kuhela napas ini. Bagaimanapun juga sikap mas Rafa membuatku resah. Dia seolah menunjukkan menolak perpisahan yang aku ajukan.Bukan aku teramat menyukai perceraian, hanya saja sudah tidak ada cinta di hati sejak mas Rafa berbagi. Semua hampa. Rumah tangga ini sudah lama retak pondasinya. Mas Rafa teramat telat bila ingin berubah.Sekali lagi aku menghela napas dengan berat. Sebuah notifikasi membuyarkan lamunanku tentang perubahan yang terjadi pada ayah anakku. Kuraih ponsel yang tergeletak di atas nakas. Nama Sabrina menari di layarnya.“Assalamu’alaikum. Ada apa Sab?” tanyaku setelah menggeser tombol hijau di atas layar.“Wa’alaikumsalam. Ra, bisa
*** Tiga tahun kemudian hidupku cukup memiliki perubahan. Dalam ruang sidang waktu itu sungguh bukan pertemuan terakhirku dengan mas Rafa. Sesuai janji, aku mengizinkannya untuk bertemu Naura sekira dia rindu. Dan, benar saja mas Rafa intens bertemu Naura dalam tahun pertama perpisahan kami. Lalu tahun-tahun berikutnya beberapa kali dia menemui Naura karena dia akhirnya memutuskan untuk bekerja di luar Kota. Sementara kepada Andin, aku benar-benar iba karena wanita itu menjadi gila. Setelah diceraikan oleh mas Rafa, Andin turut kehilangan anaknya. Bayi perempuan itu meninggal dunia karena sakit. Andin kehilangan kewarasannya hingga terpaksa dirujuk ke rumah sakit jiwa. Beberapa kali aku datang ke sana hanya sekadar untuk menjenguknya. Andin selalu meracau, meminta maaf karena gagal menjadi seorang ibu. Sesekali dia juga berkata kasar tentangku, mungkin karena dirinya masih memiliki dendam. Namun, hal itu tak membuatku membencinya. Aku justru merasa sangat iba. Oleh karena itu, setia
*** “Rafa akhirnya lepasin kamu, Ra?” tanya Sabrina saat pertama kali aku datang ke apartemennya setelah pamit menjemput koper. Aku mengembuskan napas dengan berat. Entah harus mulai dari mana aku bercerita, tetapi aku tahu Sabrina ingin mendengar semuanya. “Sab jangan terkejut,” ucapku sambil menyimpan koper secara sembarangan. Aku mengempaskan diri ke sofa ruang tamu, mengedarkan pandangan mencari keberadaan Naura. “Lagi main di kamarku. Ada apa?” Sabrina seakan paham apa yang sedang aku lakukan. Aku pun mengangguk singkat sambil mengembuskan napas lega. Mataku kini fokus pada Sabrina. “Mas Rafa menjatuhkan talak pada Andin lebih dulu,” terangkan. Pupil mata Sabrina melebar mendengar itu. “Apa?” tanyanya tidak percaya. “Mas Rafa tahu soal perselingkuhan Andin. Ditambah tadi dia bilang Andin tidur dengan banyak pria,” “Huh?” Sabrina belum juga reda dari terkejutnya. “Tapi nggak aneh sih, madumu itu kan memang suka sama banyak lelaki,” kekehnya melanjutkan. Aku hanya mengedikan
***Pertengkaran itu terjeda saat Andin datang mendekat dari arah kamarnya. Sejenak aku menoleh dan sadar tujuan Andin jelas ke arahku dan mas Rafa.Kutarik napas dalam-dalam saat dia dengan sengaja berhenti di sisi mas Rafa sambil bersedekap dada. Biar kutebak, Andin senang melihat pertengkaran kami ini. Namun, aku benar-benar tidak peduli. Kembali aku menatap Mas Rafa, tanpa ekspresi, seolah segala rasa sakit tak dapat lagi kugambarkan lewat tatapan. "Tukang selingkuh seperti Mas tidak berhak bertanya seperti itu kepadaku," balasku tegas. Mas Rafa terlihat terkejut. Ia menatapku dengan pupil mata yang melebar, lalu menoleh pada Andin yang tersenyum sinis sembari menundukan pandangannya. "Kamu masih membahas soal itu?" tanyanya seakan perselingkuhannya bukan dalang terbesar hingga membuatku ingin berpisah seperti ini. Kalau saja boleh aku meludah di depannya, maka mungkin sekarang aku akan meludah. Namun, aku masih memiliki etika dan sopan santun. "Tidak usah bertanya seperti itu
***Aku tak main-main soal ucapanku yang ingin mengadukan perbuatan mas Rafa. Sehari setelah perdebatan kecil kami, aku tak segan memberinya peringatan sekali lagi. Hanya saja dia tetap tidak peduli. Dirinya masih keras kepala ingin mempertahankanku dan pernikahan kami.Lalu hari ini rencanaku sudah benar-benar bulat ingin pergi.“Bu, kita mau ke mana?” tanya Naura. Iya, kini aku tengah sibuk memasukan semua pakaian ke dalam koper.“Pergi Nak, sudah saatnya kita tinggalkan rumah ini,” jawabku tegas. Naura terdiam. Dia menunduk dalam saat aku menoleh padanya. Mungkinkah hatinya sedih karena pada akhirnya aku dan ayahnya akan berpisah? Mendadak rasa bersalah menyelimuti hati kecilku. Namun, aku tak bisa mengalah kali ini.“Maafkan Ibu ya Nau,” ucapku sembari memeluknya. Naura lagi-lagi diam. Aku menarik napas dalam-dalam. “Ibu antar ke rumah tante Sabrina ya Nau.” Aku raih tangannya sambil tersenyum, berharap senyum ini dapat menenangkan hatinya yang gelisah.Naura akhirnya mengangguk p
***“Aku tetap tidak mengizinkan, Zahra!” ujar mas Rafa keras kepala. “Sebaiknya kamu masuk ke kamarmu sekarang.” Dia memalingkan wajahnya setelah mengatakan itu. Aku menggeleng tak percaya, dirinya masih saja tak ingin melepaskanku setelah apa yang dia lakukan. “Mas!” Rasanya aku sudah tak tahan lagi.Namun, terpaksa aku menghentikan perdebatan ini saat Naura terdengar memaksa Rani untuk keluar dari kamar kami. Kutarik napas dalam, lalu aku embuskan secara perlahan. Kubawa langkahku pergi dari ruang tamu, akan tetapi bukan berarti aku setuju untuk tetap mempertahankan rumah tangga kami.“Ibu!” panggil Naura saat aku membuka pintu. Mata gadis kecilku itu terlihat memerah, menahan tangis. Kupeluk dia dengan erat. “Ibu baik-baik saja?” tanyanya. Terpaksa kepala ini mengangguk agar dia tak khawatir.Aku alihkan pandanganku kepada Rani. Kulihat gadis itu menggigit bibirnya. “Aku nggak apa-apa, Ran. Terima kasih ya sudah menjaga Naura untukku,” ucapku tulus. Rani mengangguk singkat.“Sekar
***Sesuai yang ibunya mas Rafa katakan, beliau membawaku ke rumah sakit setelah itu. Tak lupa aku menelpon Sabrina agar dia datang menemani. Namun, ternyata dia tak datang sendirian. Ada Arlan dan Ari bersamanya.“Ini udah keterlaluan banget sih, Ra! Beraninya Rafa mukulian kamu sampai berdarah-darah!” ujar Sabrina marah. Dia tampak tak peduli meskipun ibu mertuaku juga ada di ruangan yang sama dengan kami.“Sab,” tegurku merasa tak tega melihat ekspresi bersalah di wajah Ibu. Mungkin dia sekarang sadar anak yang dia bela sanggup memukuli seorang wanita.Sabrina melirik malas ke arah ibu. “Maaf Bu, tapi sebagai satu-satunya sahabat Zahra dan satu-satunya keluarga baginya, aku nggak akan tinggal diam. Aku akan laporin masalah ini ke pihak berwajib!” tegasnya.Aku meringis. “Sudah Sabrina, cukup. Masalah ini kita bicarakan nanti saja,” pintaku memohon pengertiannya.Namun, aku lihat Ibu menggelengkan kepalanya. “Zahra benar kamu mau pisah dari Rafa?” tanyanya dengan mata yang berkaca-k
***Bukti perselingkuhan mas Rafa dengan Alin membuat Mbak Diah tersenyum lebar. Pengacaraku itu yakin tak akan ada halangan untukku berpisah dari mas Rafa.“Untung aku ngadu ke Arlan,” kekeh Sabrina membanggakan dirinya.Aku mengangguk singkat. “Terima kasih,” ucapku.“Makasih ke Arlan udah, Ra?” tanya Sabrina.Sekali lagi aku menganggukkan kepala.“Terus sekarang gimana, Mbak?” Aku mengalihkan tatapan pada mbak Diah. Tahu betul Sabrina ingin menggodaku lagi soal mas Arlan, makanya segera kualihkan saja pandangan ini pada mbak Diah.Wanita berkaca mata itu menjelaskan langkah kami selanjutnya. Cukup lama kudengarkan penjabarannya hingga hasil akhirnya adalah aku hanya perlu menunggu beberapa waktu lagi untuk benar-benar berpisah dari mas Rafa.Jujur, kesedihan terasa di hati ini sebab masih tak kusangka rumah tangga yang dulu harmonis kini hancur tak bersisa. Namun, bertahan dengan lelaki itu bukan jalan yang aku mau. Luka yang dia beri terlalu dalam kurasa.“Sekarang kamu hanya haru
Usai menemui Sabrina dan pengacara yang di rekomendasikannya Dua hari yang lalu, aku terus menerus termenung sendirian di teras belakang toko kueku. Dokumen yang diminta oleh pengacaraku cukup rumit. Terlebih bukti perselingkuhan mas Rafa sebelum dia menikahi Andin. Namun, fakta bahwa dia sudah cukup lama tak menafkahiku secara bathin maupun materi membuat pengacaraku berkata kami memiliki jalan untuk mengajukan perceraian ke pengadilan.Akan tetapi, aku tak puas bila masih ada celah untuknya mempertahankan pernikahan ini. Sebab, aku benar-benar ingin kami berpisah. Aku sudah tidak mencintainya lagi. Luka yang pernah dia torehkan dihatikan sudah cukup dalam dan pedih. Tak mampu diriku menyembuhkannya meskipun mas Rafa telah berubah.Makanya kini aku sedang berpikir keras, apa sekiranya yang dapat kujadikan bukti agar tuntutanku di pengadilan semakin sempurna.Aku mendesah berat. Tiba-tiba suara Sinta mengintrupsi diriku.“Ada apa Sin?”“Ada tamu,” jawab Sinta ketika aku bertanya.Dahi
***“Siapa sebenarnya yang bicara dengan lelaki itu?” bisik Sabrina. Sejak tadi dia terlihat sangat penasaran dan tidak sabaran. Sama halnya denganku sebenarnya, tapi aku berusaha untuk tak terlalu mencolok. Kami bisa saja ketahuan oleh selingkuhan Andin.“Apa mungkin itu madumu, Ra?” Sabrina kembali berbisik. Aku menggeleng, tak ingin menduga-duga.“Rama. Nama lelaki itu Rama, Sab. Dia juga sudah dipecat dari kantorku,” Mas Arlan tiba-tiba menyebutkan nama lelaki itu.Aku dan Sabrina tidak tahu siapa namanya. Bahkan Sabrina yang pernah menguntitnya saja tidak tahu namanya.“Ohh, jadi namanya Rama?” Sabrina membeo. Mas Arlan mengangguk singkat sebagai jawaban.“Jangan-jangan dia sedang bicara dengan Andin? Terus anak yang Andin lahirkan ternyata benar anaknya!”“Tapi Andin bilang itu anak mas Rafa, Sab,” sahutku tak kalah pelan.Sabrina berdecak sebal. “Andin kan tukang bohong, Ra! Bisa saja kan dia bicara seperti itu agar dia merasa benar,” ucapnya.Entahlah, aku tak tahu. Tak pentin