***“Akhirnya selesai juga, Mbak!” ujar Rani kepadaku saat ayam goreng tepung kesukaan Naura siap untuk dihidangkan. Aku mengangguk singkat sebagai jawaban. “Terima kasih ya Ran atas bantuannya,” ucapku.“Justru aku yang harusnya ngucapin makasih sama mbak Zahra. Jarang-jarang loh majikan mau bantuin pembantunya,” kekeh gadis itu.“Nggak perlu sungkan, Ran, kan mbak udah bilang kalau nyonya di rumah ini hanya Andin seorang,”“Ahh, mbak Zahra bisa aja, tapi serius loh mbak! Aku benaran kaget saat mbak memperkenalkan diri sebagai istri pertamanya si Bapak. Aku pikir mbak Zahra bercanda,”Kali ini aku yang terkekeh karena ucapannya. “Ya begitulah,” komentarku seadanya.Rani seakan ingin mengatakan sesuatu yang lain, tapi mulutnya mendadak terkatup rapat dengan mata yang melirik tepat ke belakangku.Ketika aku menoleh, kudapati Andin ada di sana sambil mengelus perut buncitnya.“Kamu kok lama amat masak gulai ikan nilanya, Ran?” tanya Andin dengan eskpresi wajah yang tak enak untuk dipand
***Andin terpuruk. Wajahnya pucat saat keluar dari kamarnya untuk makan malam. Dapat aku lihat garis wajah yang biasanya tegas kini mengendur. Wanita itu frustrasi. Iya, siapa memangnya yang tak terkejut melihat perubahan pada diri Mas Rafa? Lelaki yang biasanya bersikap teramat manis pada Andin itu tiba-tiba sangat kasar.Bahkan tak segan menyakiti fisik.Aku menghela napas dengan berat. Tak ingin larut dalam masalah keduanya, kufokuskan perhatianku pada Naura yang duduk tepat di sampingku. Tak peduli pada tanda tanya di mata Andin yang tampak penasaran akan keberadaan mas Rafa.“Di mana suamiku, Ran?” tanyanya kemudian mengudara.Ran tergopoh menghampiri. “Rani nggak tahu, Buk. Nggak sempat lihat,” ucapnya menjawab pertanyaan Andin.Terdengar embusan napas berat dari Andin. Lalu hening. Saat aku mengalihkan pandangan padanya, kulihat dia sedang memperhatikan gulai ikan nila yang katanya diinginkannya itu. Bukannya mengambil piring, mengisinya dengan nasi lalu gulai ikan nila, tapi
***Usai menyaksikan keanehan di ruang makan, aku membawa Naura masuk ke kamar. Naura sudah lama terlelap, tapi mataku masih tak menemukan kantuknya. Masih saja terbayang olehku bagaimana suara mas Rafa mengalun lembut menyapa telinga. Tak seperti biasa, lelaki itu bersikap seperti dirinya yang dulu. Penuh perhatian.“Ada apa sebenarnya?” Kuhela napas ini. Bagaimanapun juga sikap mas Rafa membuatku resah. Dia seolah menunjukkan menolak perpisahan yang aku ajukan.Bukan aku teramat menyukai perceraian, hanya saja sudah tidak ada cinta di hati sejak mas Rafa berbagi. Semua hampa. Rumah tangga ini sudah lama retak pondasinya. Mas Rafa teramat telat bila ingin berubah.Sekali lagi aku menghela napas dengan berat. Sebuah notifikasi membuyarkan lamunanku tentang perubahan yang terjadi pada ayah anakku. Kuraih ponsel yang tergeletak di atas nakas. Nama Sabrina menari di layarnya.“Assalamu’alaikum. Ada apa Sab?” tanyaku setelah menggeser tombol hijau di atas layar.“Wa’alaikumsalam. Ra, bisa
***“Mas kamu nggak nahan Andin? Jangan sampai dia kelaparan, Mas. Kasihan bayinya. Aku akan sangat merasa bersalah andai Andin dan bayinya kenapa-napa,” ucapku setelah hening beberapa detik sejak kepergian Andin.Mas Rafa yang masih menatap ke arah Andin menghilang kini mengalihkan perhatiannya kepadaku. “Kamu masih peduli padanya setelah apa yang dia lakukan padamu, Dek?” tanyanya.Aku menelan ludah dengan susah payah. Masih saja mas Rafa memanggilku dengan cara seperti itu. Membuat tidak nyaman saja. “Aku bukan peduli padanya Mas, tapi pada anak yang sedang dia kandung. Bayi itu tidak berdosa,” jawabku.Mas Rafa menatapku dengan tatapan yang sulit sekali aku artikan. Dia seperti memiliki beban pikiran yang berat. “Kamu benar Ra, bayi itu tidak berdosa. Aku salah bersikap kejam,” ucapnya dengan lirih.Aku perhatikan lelaki itu dengan seksama. Benar ada yang berubah darinya. Tatapannya tak lagi membara seperti biasa. Kecewa tampak pekat di sana. “Mas nggak apa-apa?” tanyaku ragu.Mas
***Seperti janjiku pada Sabrina, jam makan siang kami langsung membuat janji temu, lalu menuju rumah sakit yang merawat mas Arlan. “Dia kecelakaan tunggal, Sab?” tanyaku penasaran.Ngomong-ngomong Naura tak kuajak serta. Dia kutinggalkan bersama Rani di rumah. Nau juga tak banyak protes.Sabrina menoleh padaku yang sedang menyetir. “Iya. Rem mobilnya blong aku dengar,” jawabnya.“Huhh? Kok bisa?”Dari ekor mata kulihat Sabrina mengedikan bahunya. “Aku juga nggak paham,” ucapnya.“Nggak kayak di novel-novel kan? Rem blong karena ada yang ngerjain,” candaku.“Bisa jadi sih Ra, secara kan ada yang benci banget sama kehadiran mas Arlan saat ini,” balas Sabrina sambil melirik ke arahku dengan cara yang aneh.“Maksudmu?”Sekali lagi Sabrina mengedikan bahunya. “Nggak ngerti ah. Nanti kita tanya sama-sama gimana kejadiannya,” ucapnya.Suasana menjadi hening. Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Namun, karena jarak rumah sakit yang dekat membuat kami tak lama tiba di sana. Aku dan Sabrin tu
***Saat keluar dari toilet aku dan Sabrina tak menemukan Ari. Hanya tersisa mas Arlan saja. “Ke mana Ari, Mas?” tanyaku.“Cari makan. Kasihan dia belum makan dari pagi tadi,” jawab mas Arlan.“Kalian sudah makan siang?”Aku mengangguk, tapi Sabrina menggeleng. Membuatku mengerutkan kening. Dia belum makan siang?“Aku belum sempat,” ucap Sabrina seakan paham keherananku.Kuhela napas berat. “Kok kamu nggak bilang, Sab?” tanyaku sedikit sebal. Tahu begitu kuajak makan siang dulu dirinya.“Gimana mau bilang kalau kamu tampak cemas, Ra. Mau cepat-cepat periksa keadaan mas Arlan,” kekeh sahabatku.Membuatku salah tingkah saja. “Iya kasihan saja sama teman. Kita kan sesama tahu kalau mas Aran sudah tidak punya siapa-siapa lagi,” ucapku memberi alasan.Sabrina mengangguk-anggukan kepalanya. Sementara mas Arlan terdengar terkekeh.“Kamu mau makan siang sama Ari, Sab?” tanya mas Arlan.“Kalau Zahra mau ditinggal?” Sabrina melirik ke arahku.Ditinggal berdua saja dengan mas Arlan? Apakah akan
***Sore hari Naura terbangun dari tidurnya. Mengadu padaku untuk dibuatkan prakarya sederhana tugas dari gurunya. Aku menyanggupi, lantas segera meminta Rani membantuku menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan.“Rani ke fotocopy depan dulu, Mbak. Di sana kayaknya ada bahan yang kita butuhkan,” ucap Rani kepadaku.Aku mengangguk. “Ajak Naura sekalian, Ran. Biar kamu ada temannya,” kataku.“Oke Mbak!”Setelah itu Rani pergi bersama Naura. Kepergian keduanya berpas-pasan dengan kembalinya mas Rafa sepulang dari bekerja. Seperti dulu, kini mas Rafa mengulurkan tangannya agar aku sambut dan cium dengan hormat. Aku melakukannya, tetapi dengan perasaan yang tentu saja sudah berbeda.Aku menyusul mas Rafa menuju kamarnya setelah itu. “Mas kita perlu bicara dengan serius,” ucapku merasa harus segera meluruskan semuanya. Aku tidak bisa bertahan di tempat ini. Aku ingin pergi.Mas Rafa yang sedang menyimpan tas di lemari menoleh padaku yang sedang berdiri di ambang pintu. Dahinya berkerut dala
***“Zahra? Ada apa? Kenapa wajahmu pucat begitu? Kamu sakit?” Pertanyaan tersebut membuatku sangat terkejut. Entah sejak kapan mas Rafa berada di depanku, sambil memandangiku.Aku gelagapan. Benakku masih mempertanyakan soal gunting milik mas Rafa yang berbau aneh.“Zahra kamu sakit?” ucap mas Rafa mengulang pertanyaannya. Bahkan kini lelaki itu menyentuh bahuku.Tubuhku tiba-tiba bergetar. “Enggak Mas, maaf bisa lepaskan? Peganganmu pada bahuku terlalu kencang,” pintaku sambil meringis. Entah efek apa ini? Apa mungkin mas Rafa mendengar obrolanku bersama Sabrina? Namun, itu tidak mungkin. Tadi dia masih bertengkar bersama Andin.“Ahh, maaf. Kamu nggak apa-apa, Dek?”Aku menggeleng. “Aku baik-baik aja, Mas. Aku permisi dulu.” Tanpa menunggu tanggapannya aku langsung pergi. Buru-buru masuk ke kamar. Pintu pun langsung dikunci dari dalam.“Loh ada apa Mbak? Kenapa pintunya dikunci segala?”Sekali lagi aku terkejut. Aku lupa ada Rani di sini. Suaranya mengagetkanku. “Nggak apa-apa, Ran.