Kupanggil istri Karman yang menjadi tetanggaku sejak belasan tahun, kuminta padanya untuk menunggui kedua anakku sementara aku pergi melihat kondisi suamiku di tempat Maura."Tolong ya, Mbak, tolong dijagain," ucapku memohon."Iya, Mbak Aisyah, jangan khawatir," jawab Rini tetanggaku."Saya tak akan lama," ujarku."Iya, Mbak, saya akan jaga anak anak," jawab wanita itu sambil meyakinkanku.Kutemui anakku di kamarnya untuk memberi tahu padanya bahwa aku harus menemui Mas Hamdan di ruko yang dia jadikan kantor usahanya."Raihan Bunda lihat ayah dulu ya," ucapku pada anakku di kamarnya."Lho, ayah kenapa?" putraku tersentak dan langsung bangun dari tidurnya."Ayah sedikit sakit," jawabku."Sakit? Sakit kayak kemarin, Bunda?" tanyanya dengan wajah terkejut."Hmm, enggak juga, Bunda mau lihat dulu, ya, jangan khawatir.""Oke, Bun, hati hati."Segera dengan cepat keluarkan mobil dari garasi memutar kemudiku menuju ke arah kecamatan yang berjarak dua puluh menit dari rumah.Sepanjang perja
Pukul dua malam, keadaan mas hamdan mulai membaik, dia yang tadinya sangat lemas kini sudah mulai bernafas dengan teratur dan tidur nyenyak. Buliran keringat sudah terlihat di wajahnya menandakan bahwa dia tidak menggigil lagi."Dia sudah mulai membaik Mbak?" Maura yang datang padaku dimana sejak tadi aku duduk disamping Mas Hamdan dan menungguinya."Iya, terlihat sudah agak lebih baik sudah tidak pucat lagi seperti tadi," jawabku."Alhamdulillah ..." Desah lirih gadis itu terdengar jelas."Mulai sekarang kamu harus lebih perhatian pada kesehatan Mas Hamdan, jangan teledor, Dia memiliki penyakit asam lambung di mana hal itu akan kumat ketika dia stres atau terlambat makan, jangan terlalu banyak menekan Mas Hamdan dan menimbulkan beban dalam pikirannya," ucapku tegas."Iya, Mba, aku paham.""Jangan hanya melayani di tempat tidur, kamu harus memikirkan dia dan mengutamakan kesehatannya," perintahku panjang lebar."Iya, Mbak.""Kamu sudah diambil sebagai istri, bersikap baiklah, berbak
Pukul dua malam, keadaan mas hamdan mulai membaik, dia yang tadinya sangat lemas kini sudah mulai bernafas dengan teratur dan tidur nyenyak. Buliran keringat sudah terlihat di wajahnya menandakan bahwa dia tidak menggigil lagi."Dia sudah mulai membaik Mbak?" Maura yang datang padaku dimana sejak tadi aku duduk disamping Mas Hamdan dan menungguinya."Iya, terlihat sudah agak lebih baik sudah tidak pucat lagi seperti tadi," jawabku."Alhamdulillah ..." Desah lirih gadis itu terdengar jelas."Mulai sekarang kamu harus lebih perhatian pada kesehatan Mas Hamdan, jangan teledor, Dia memiliki penyakit asam lambung di mana hal itu akan kumat ketika dia stres atau terlambat makan, jangan terlalu banyak menekan Mas Hamdan dan menimbulkan beban dalam pikirannya," ucapku tegas."Iya, Mba, aku paham.""Jangan hanya melayani di tempat tidur, kamu harus memikirkan dia dan mengutamakan kesehatannya," perintahku panjang lebar."Iya, Mbak.""Kamu sudah diambil sebagai istri, bersikap baiklah, berbak
Karena terus didesak mertua, akhirnya wanita itu tak punya pilihan lain, akhirnya dia terpaksa mengikuti diriku pulang naik motor. Sepanjang menyusuri lorong rumah sakit wanita itu terus cemberut, dia mencebik tanpa bicara apapun lagi, sedang aku merasa geli dan tertawa dalam hatiku.Sesampainya di lokasi parkir dia tetap mengikutiku ke mobil yang kuparkirkan di sebelah timur rumah sakit."Kamu boleh pulang naik grab," ujarku."Lho, tadi ayah bilang aku bisa ngikut sama Mbak Aisyah," ucapnya cemberut."Arah kita berbeda, silakan pulang sendiri.""Sebenarnya apa maksud Mbak? Mbak nyuruh saya pulang, tapi sesampainya di sini saya malah diusir sendirian," ujarnya dengan kesal."Aku melakukan itu agar kau tahu diri! Kau kuberi hati sedikit, tapi malah mau ambil jantung," jawabku ketus."Saya hanya minta tolong ....""Untuk urusan suamiku, aku akan lakukan apapun, termasuk berkendara sendiri di tengah malam. Berbeda denganmu yang memintaku untuk membawakan bajumu, beraninya kau ...." desis
Berdebar rasanya jantung ini berhadapan dengan dokter syaraf yang kini memegang hasil rontgen kepalaku. Dia nampak serius dengan lembaran hitam seperti klise photo tahun sembilan puluhan itu, lalu dokter berkacamata itu menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan maknannya."Bagaimana dok?""Hmm, memang kepalanya ada sedikit penyumbatan ventrikel dan pembengkakan otak, Bu, tapi ....""Apa maksudnya, Dok, seandainya saya biarkan sakit itu tanpa berobat, apa yang terjadi pada saya, Dok ...?" Aku segera menyela karena tak paham apa yang dikatakan dokter. "Banyak faktor penyebab yang telah membuat penyumbatan pada kepala ibu, tapi dengan mengonsumsi obat secara teratur saya berharap bahwa penyumbatan yang membuat darah yang mengandung oksigen ke otak bisa diencerkan sehingga semuanya bisa teratasi.""Bagaimana kalo tidak bisa diatasi, apa yang akan terjadi pada saya?""Ibu akan lumpuh atau stroke," balas dokter itu sambil tersenyum penuh keprihatinan.Sesaat aku terpana mendengarnya, d
Setelah mematikan panggilan dari Maura aku segera menghubungi Ira via wa. Mengabarinya tentang apa yang sedang terjadi padaku sebelum kata kata kotor dari bibir Maura mempengaruhi keluarga suamiku.(Ira, maaf Mbak gak bisa datang ke rumah sakit, karena hari ini Mbak ke dokter dan ternyata hasilnya Mbak sakit) begitu kirimku pada adik iparku, tidak lupa kukirimkan bukti kertas laporan medis ke chat pribadinya.(Lho, apa maksudnya Mbak, Mbak sakit apa?) Tidak lama kemudian jawaban Ira datang.(Seperti yang kamu baca, Mbak mengalami sakit kepala serius. Maaf, jadi kurang bisa memperhatikan Mas Hamdan.)(Iya, ga apa apa, Mbak, aku akan handel semuanya.)(Kalau gitu tolong dong, lihat Mas Hamdan, Maura berkali kali telepon aku dan marah kalo aku belum bawain bubur juga. Tolong dikondisikan ya Dek.)(Lho, kok gitu ...)(Aku gak tahu, yang pasti dia ngomelin aku karena gak bisa bawain makanan. Aku agak tersinggung sih Dek, seakan-akan aku kayak gak pernah ngurusin Mas Hamdan.)(Mbak istira
Mendengar ucapannya yang menusuk hatiku tentu saja perasaan ini menjadi sangat sedih, betapa sakitnya mencintai dirinya. Bak makan hati berulam jantung, dia yang kuharap akan menyambut datangku malah mendelik dan menunjukkan kebencian mendalamnya."Sa-saya sungguh sedang sakit kemarin, Mas....""Buktinya kamu masih bisa ke rumah sakit!""Itu karena saya ingin tahu apa sakitnya? Tidakkah kamu ingin tahu apa yang sakit yang saya derita?" Suaraku makin parau, sesak di dada kian menghimpit membuatku serasa tak mampu mengais udara."Sudahlah, Mas ... jangan diperpanjang," ucap Maura sambil mendekat dan mengelus dada Mas Hamdan.Mi itu terlihat ingin sekali mengambil perannya dia ingin mengambil alih suamiku dariku, ingin merampok hati Mas Hamdan dan menciptakan kebencian diantara kami berdua. Dia benar-benar memanfaatkan penyakit yang menyimpan aku dan suamiku untuk memisahkan kami."Maura ... harusnya sikap dan ucapan tidak menjadi duri dalam rumah tangga orang lain. Kau tahu dir
Kuputuskan untuk pulang lebih cepat, karena tak kuasa diri ini merasakan sakit dan geramnya aku pada sikap mereka. Pasangan gila itu.Terlebih pada Mas Hamdan yang kian hari kian mencederai arti pernikahan kami yang pernah kami ikrarkan dengan tulus dan penuh kesucian.Katanya dia akan setia padaku, meski Maura bersamanya. Dia akan utamakan diri ini sebagai istri pertama, di atas sagelanya. Tapi lihat buktinya, belum mendengar argumenku saja, dia sudah kasar dan marah marah. Sejujurnya aku sungguh tersinggung dengan sikap demikian melecehkan dan menyakitiku.Pertanyaannya, aku yang bodoh atau bagaimana? mengapa aku masih bertahan dengannya, apakah secinta itu aku pada Mas Hamdan?*Kukemudikan mobil dengan kecepatan tinggi bersamaan dengan hatiku yang remuk redam, aku berharap diri ini akan segera sampai ke rumah, lalu menumpahkan tangis dan kesedihan hati yang sudah membuncah. Mungkin aku selemah itu, tapi ini kenyataannya! Atas segala sakit dan luka yang dia berikan, mengap