Setelah melalui malam panjang yang penuh pertimbangan, setelah berpekan-pekan dalam pikiran panjang, kubulatkan tekad untuk membicarakan perihal perpisahanku dengan Mas Hamdan jika kita berjumpa lagi. Semakin hari, semakin bertahan, semakin sakit diri ini. Mencoba bertahan dalam pernikahan yang sudah seperti rimba onak yang menusuk. Meski aku cinta ... tapi yang dicinta semakin jauh.Wanita cantik itu sudah merebut suamiku dan segala perasaan yang dimiliki Mas Hamdan untuk kami. Bahkan kini anak-anak juga sudah jarang mendapatkan perhatiannya, di samping karena dia memang sakit.Sepanjang waktu yang tercurah darinya hanya untuk madu muda yang gemar mencari muka itu. Mas Hamdan hanya mendengarkan hanya ucapan Maura, pendapat wanita itu dan keinginannya, sementara harapan dan keinginan kami selalu diabaikan.*Kupanggil kedua anakku untuk berdiskusi bagaimanapun mereka punya hak untuk mengetahui apa yang terjadi pada orang tuanya."Reihan, Putri Zahra, datanglah kemarilah Bunda ingin
Mendengar teriakan penegasan dengan tatapan mata Mas Hamdan yang begitu sangar, hati ini seakan diremas-remas tidak karuan. Bola mata ini memanas dan cairan bening mulai menganak sungai ingin meleleh.Menatapku yang berdiri terpaku dengan bibir bergetar, Mas Ramdan hanya bisa menghela nafas sambil mengalihkan kembali perhatiannya ke layar televisi lantas mengeraskan volumenya dengan kencang."Kenapa kamu memaksaku Mas, di saat aku tak bahagia lagi denganmu, kenapa kita tidak saling melepaskan?""Waduh! kamu gak diri banget ya ... aku sudah kasih semua rumah, kebun dan mobil, juga fasilitas banyak, kamu masih mau minta cerai?""Aku gak tahan Mas!" Aku terpaksa berontak atas semua aturan yang dibuatnya sesuka hati."Kalo gitu, balikin semua aset yang kamu pegang!" Dia mengulurkan tangan, dengan tantangan di wajahnya."Kembalikan semua hal yang kau miliki, semua itu adalah hasil jerih payah dan keringatku siang malam. Kau hanya istri yang menunggu di rumah dan menikmati hasil," ungkapny
Air mata ini meleleh, membaca pesan Mas Hamdan, ditambah dengan suasana hari yang mulai mendung, guruh menggemuruh di langit, lantas hati ini makin tak karuan rasanya.Bagaimana dia bisa berpikir untuk menyerahkan kebun pada murah sementara selama bertahun-tahun kebun itu dibeli dari tabungan bersama dan hanya akulah yang bisa mengurusi segalanya, setelah kepengurusan Mas Hamdan. Sungguh tega pria itu mengatakan hal jahat ke depan wajahku. Sungguh egois dia tidak menimbang betapa sakitnya menusukkan duri di permukaan hati yang telah terluka sejak awal.(Kalau begitu mari berperang di pengadilan dan menangkan harta gono gini, aku tak gentar Mas, lagipula anak anak juga punya hak.)(Anak-anakpun akan kuambil darimu, kau sudah sadar dan puas sekarang!)(Sungguh tak adil jika aku tak bisa dapatkan sesuatu untuk penebus jasa dalam belasan tahun bersamamu.)(Kalau begitu katakan berapa harga dari martabat itu, akan kubeli sekalian dengan kepalamu! Aku sudah jadi suami yang mengalah tapi kau
Selagi aku berteriak dengan kemarahanku, tiba tiba Mobil kantor Mas Hamdan datang, mobil itu berhenti tepat di depan rumah lantas Maura terlihat turun dari sana dengan kacamata hitam dan gamis mewah. .Wanita itu terlihat Borjuis dengan gaya yang sedikit angkuh khas orang kata. Penampilanya berbeda, lain sekali, lebih elegan dibanding ketika dia masih gadis dan jadi pembantu di rumah juragan Bono. Bahkan riasannya nampak bold dan jilbabnya juga mahal."Aku nyariin kamu, Mas," ucapnya sambil melepas kaca mata."Nyariin ngapain?""Kamu yang ngapain Sayang, ngapain di sini?" Ya Allah, pengungkapan kata sayang itu menyebalkan sekali. Maura seakan mengejekku dan ingin menunjukkan bahwa dirinya kini adalah kesayangan Mas Hamdan."Aku lagi ngambil perabotan buat rumah ruko kita, rumah ini punya perabotan berlebihan jadi aku berniat mengambil sebagian agar tidak terlalu sesak," gumamnya pada istrinya yang baru."Terlalu sesak katamu, alangkah lancangnya kau Mas Hamdan! Maura hentikan ia s
Melihat kemarahan yang begitu besar di mataku membuat kedua anakku terkejut dan langsung berlari ke arah Ibunya."Bunda kenapa ...?"Tiba-tiba langkah mereka terhenti menyaksikan senapan yang masih kupegang erat, kedua anakku saling pandang satu sama lain sambil menelan ludahnya.Prak!Kubuang senjata itu, kuedarkan pandanganku pada semua orang yang melihat, tetangga, pekerja yang masih sibuk menyusun barang dan anak-anak yang terlihat tegang.Melihat tatapan nyalang dan dingin di mata ini para tetangga menjadi ngeri, mereka segera bubar tanpa mengatakan apa-apa, pun para pekerja ditatap dengan raut sesangar itu semakin giat dan takutlah mereka."Bunda... kenapa pegang senjata?"Aku tidak menjawab, hanya memandang mereka bergantian lalu menghela napas dan masuk ke dalam tanpa sepatah kata pun.Mereka nampaknya paham aku sedang murka, jadi, tidak banyak yang mereka tanyakan. Kemarahanku sangat jarang, tapi bila kemurkaan itu terpatik, akan sulit meredakan dan membuat hati ini tenang d
"Hei, tidak ada sertifikat apapun yang akan kuberikan padanya sekali pun dia menyiksaku dengan siksaan pedih. Aku tak akan menyerahkan apa yang jadi hak kami!" teriakku kesal."Tapi itu pesan Mas Hamdan ....""Kamu pergi dari sini sebelum aku mencekik lehermu dan membenamkan kepalamu ke dalam kolam ikan sampai kau kehabisan napas!" desisku sambil menunjuk arah pintu."Jangan bikin masalah jadi alot dong, Mbak, kasih aja sih apa yang jadi keinginan Mas Hamdan, itu kan gak beliau juga.""Itu hak anak anak!""Biar Mas Hamdan yang membagikan jatah pada semua orang. Lagipula, jika saya juga punya anak, aku juga ingin anakku terjamin dan hidup mapan.""Ouh, jadi kau pengaruhi juga Hamdan tentang masalah itu!?""Tidak ....""Menjauh dari sini! sudah kuberikan apa yang kalian inginkan, jadi sekarang, biar harta gono gini jadi putusan pengadilan!""Tidak boleh begitu Mbak ....""Hentikan Maura, kau sudah datang berkali kali kemari dan aku menahan diri sampai hari untuk tidak memukulmu denga
"Makasih ayah ...." Raihan bangkit sambil menyeka darah dari sudut bibirnya. Anakku tetap bersikap tenang meski nampak sangat geram pada sikap ayahnya yang mengecewakan."Jangan ikut kurang ajar kamu ya ...." Mas Hamdan mendesis sambil melotot."Aku gak kurang ajar Ayah, aku cuma datang dan menyaksikan sendiri kelakuan Ayah, aku cuma mau tahu apa alasan Bunda minta cerai, dan sekarang aku tahu alasannya ...." Anakku menjawab, tatapan ayah anak itu beradu dengan sengit memantik emosi Mas Hamdan makin memuncak."Apa alasannya, heh?" Mas Hamdan mendekat dan melayangkan lagi tamparan ke wajah Raihan. "Katakan alasannya?!"Plak!"Mas ... stop!" Kali ini Maura pergi melerai dan menahan lengan Mas Hamdan dia menggeleng dengan isyarat tidak mengizinkan pria itu memukul anak tirinya."Hentikan, Mbak Aisyah akan semakin marah jika tahu ini semua Mas," ucap Maura."Memangnya kenapa kalo dia tahu? Memangnya kenapa? kenapa hah, dia juga anakku kan?!""Iya tapi ....""Kamu yang jangan ikut campu
Pagi-pagi sekali aku sudah datang ke pengadilan agama diantar oleh Karman, aku daftarkan gugatan dan menemui petugas Pa di mana kita melaporkan pengaduan."Kenapa Ibu ingin bercerai?""Karena sudah tidak ada lagi kecocokan Pak.""Boleh diberi tahu secara detil Kenapa tidak ada lagi kecocokan?""Kenapa suami saya sudah menikah lagi dan sudah mengabaikan saya.""Tepatnya sudah berapa bulan?""Sekitar 3 bulan.""Sebaiknya jangan 3 bulan bu agar persidangan bisa menerima alasan ibu." Pria yang terlihat ramah itu memberiku saran sambil tersenyum."Kalau begitu secara teknis dia sudah mencintai wanita itu selama hampir 1 tahun. Bapak bisa menuliskannya 6 bulan.""Oke lalu ada permasalahan lain? Apa ibu juga akan menggugat hak asuh anak dan harta gono gini?""Mungkin iya, tapi itu nanti saja. Saya hanya sudah tidak tahan dengan percekcokan yang terjadi ini, semua itu menekan mental saya," jawabku pelan."Baiklah tapi apakah suami anda melakukan KDRT?""Tidak pada saya tapi dia melakukannya p