Selagi aku berteriak dengan kemarahanku, tiba tiba Mobil kantor Mas Hamdan datang, mobil itu berhenti tepat di depan rumah lantas Maura terlihat turun dari sana dengan kacamata hitam dan gamis mewah. .Wanita itu terlihat Borjuis dengan gaya yang sedikit angkuh khas orang kata. Penampilanya berbeda, lain sekali, lebih elegan dibanding ketika dia masih gadis dan jadi pembantu di rumah juragan Bono. Bahkan riasannya nampak bold dan jilbabnya juga mahal."Aku nyariin kamu, Mas," ucapnya sambil melepas kaca mata."Nyariin ngapain?""Kamu yang ngapain Sayang, ngapain di sini?" Ya Allah, pengungkapan kata sayang itu menyebalkan sekali. Maura seakan mengejekku dan ingin menunjukkan bahwa dirinya kini adalah kesayangan Mas Hamdan."Aku lagi ngambil perabotan buat rumah ruko kita, rumah ini punya perabotan berlebihan jadi aku berniat mengambil sebagian agar tidak terlalu sesak," gumamnya pada istrinya yang baru."Terlalu sesak katamu, alangkah lancangnya kau Mas Hamdan! Maura hentikan ia s
Melihat kemarahan yang begitu besar di mataku membuat kedua anakku terkejut dan langsung berlari ke arah Ibunya."Bunda kenapa ...?"Tiba-tiba langkah mereka terhenti menyaksikan senapan yang masih kupegang erat, kedua anakku saling pandang satu sama lain sambil menelan ludahnya.Prak!Kubuang senjata itu, kuedarkan pandanganku pada semua orang yang melihat, tetangga, pekerja yang masih sibuk menyusun barang dan anak-anak yang terlihat tegang.Melihat tatapan nyalang dan dingin di mata ini para tetangga menjadi ngeri, mereka segera bubar tanpa mengatakan apa-apa, pun para pekerja ditatap dengan raut sesangar itu semakin giat dan takutlah mereka."Bunda... kenapa pegang senjata?"Aku tidak menjawab, hanya memandang mereka bergantian lalu menghela napas dan masuk ke dalam tanpa sepatah kata pun.Mereka nampaknya paham aku sedang murka, jadi, tidak banyak yang mereka tanyakan. Kemarahanku sangat jarang, tapi bila kemurkaan itu terpatik, akan sulit meredakan dan membuat hati ini tenang d
"Hei, tidak ada sertifikat apapun yang akan kuberikan padanya sekali pun dia menyiksaku dengan siksaan pedih. Aku tak akan menyerahkan apa yang jadi hak kami!" teriakku kesal."Tapi itu pesan Mas Hamdan ....""Kamu pergi dari sini sebelum aku mencekik lehermu dan membenamkan kepalamu ke dalam kolam ikan sampai kau kehabisan napas!" desisku sambil menunjuk arah pintu."Jangan bikin masalah jadi alot dong, Mbak, kasih aja sih apa yang jadi keinginan Mas Hamdan, itu kan gak beliau juga.""Itu hak anak anak!""Biar Mas Hamdan yang membagikan jatah pada semua orang. Lagipula, jika saya juga punya anak, aku juga ingin anakku terjamin dan hidup mapan.""Ouh, jadi kau pengaruhi juga Hamdan tentang masalah itu!?""Tidak ....""Menjauh dari sini! sudah kuberikan apa yang kalian inginkan, jadi sekarang, biar harta gono gini jadi putusan pengadilan!""Tidak boleh begitu Mbak ....""Hentikan Maura, kau sudah datang berkali kali kemari dan aku menahan diri sampai hari untuk tidak memukulmu denga
"Makasih ayah ...." Raihan bangkit sambil menyeka darah dari sudut bibirnya. Anakku tetap bersikap tenang meski nampak sangat geram pada sikap ayahnya yang mengecewakan."Jangan ikut kurang ajar kamu ya ...." Mas Hamdan mendesis sambil melotot."Aku gak kurang ajar Ayah, aku cuma datang dan menyaksikan sendiri kelakuan Ayah, aku cuma mau tahu apa alasan Bunda minta cerai, dan sekarang aku tahu alasannya ...." Anakku menjawab, tatapan ayah anak itu beradu dengan sengit memantik emosi Mas Hamdan makin memuncak."Apa alasannya, heh?" Mas Hamdan mendekat dan melayangkan lagi tamparan ke wajah Raihan. "Katakan alasannya?!"Plak!"Mas ... stop!" Kali ini Maura pergi melerai dan menahan lengan Mas Hamdan dia menggeleng dengan isyarat tidak mengizinkan pria itu memukul anak tirinya."Hentikan, Mbak Aisyah akan semakin marah jika tahu ini semua Mas," ucap Maura."Memangnya kenapa kalo dia tahu? Memangnya kenapa? kenapa hah, dia juga anakku kan?!""Iya tapi ....""Kamu yang jangan ikut campu
Pagi-pagi sekali aku sudah datang ke pengadilan agama diantar oleh Karman, aku daftarkan gugatan dan menemui petugas Pa di mana kita melaporkan pengaduan."Kenapa Ibu ingin bercerai?""Karena sudah tidak ada lagi kecocokan Pak.""Boleh diberi tahu secara detil Kenapa tidak ada lagi kecocokan?""Kenapa suami saya sudah menikah lagi dan sudah mengabaikan saya.""Tepatnya sudah berapa bulan?""Sekitar 3 bulan.""Sebaiknya jangan 3 bulan bu agar persidangan bisa menerima alasan ibu." Pria yang terlihat ramah itu memberiku saran sambil tersenyum."Kalau begitu secara teknis dia sudah mencintai wanita itu selama hampir 1 tahun. Bapak bisa menuliskannya 6 bulan.""Oke lalu ada permasalahan lain? Apa ibu juga akan menggugat hak asuh anak dan harta gono gini?""Mungkin iya, tapi itu nanti saja. Saya hanya sudah tidak tahan dengan percekcokan yang terjadi ini, semua itu menekan mental saya," jawabku pelan."Baiklah tapi apakah suami anda melakukan KDRT?""Tidak pada saya tapi dia melakukannya p
"inikah balasan yang kau lakukan padaku selama 14 tahun berumah tangga!" Tiba-tiba pria itu datang ke rumah mendapatiku sedang sarapan dan langsung menghempaskan surat panggilan persidangan ke atas piring makanku. Di amplop coklat itu tertulis kop pengadilan agama dan nama tergugat Hamdan Bin Suryono Aji.Kuletakkan sendok di meja, melipat tangan lalu menatapnya dengan seksama."Lalu, aku harus bagaimana, Mas?""Hah, aku gak nyangka ya ... kamu memutus ikatan pernikahan kita dengan cara seperti ini...."Pria itu mendesis dengan tawa tak percaya."Kamu terdengar seperti wanita yang merengek pada suaminya," ujarku dingin. "Setelah mengajukan gugatan cerai beraninya dengan santai kau menatapku seperti itu!" Brak!Pria itu menggebrak meja, mengungkapkan cetusan emosi dari tatapan mata, memaksaku untuk beradu sorot dengannya. Daripada mata ini akan berkaca kaca, sebaiknya kulanjutkan makan dan kegiatanku."Aku harus sarapan dan minum obat, lakunpergi ke rumah sakit," ucapku dengan eks
Kuikuti wanita berhijab panjang itu pergi ke rumah anaknya. Kuikuti dengan mobil Dari belakang, dan ketika baru saja tiba, wanita itu langsung meluncur masuk ke loby kantor anaknya."Mana anak saya?" tanya ibu mertua yang punya garis wajah seperti wanita timur tengah itu."Ada di ruangannya Bu, tapi sedang sibuk ...."Ungkapan wanita itu tidak digubris ibu mertua, beliau langsung melengos masuk menuju ruang pimpinan."Hamdan!"Mas Hamdan yang dipanggil seperti itu tersentak dan kaget."I-ibu?""Iya, ada apa ibu kemari?""Ibu mau bicara, ke atas sekarang juga!""Tapi, saya masih ada kerjaan, Bu ....""Ke atas sekarang juga, Hamdan!" Ibu mertua berjalan mendahului anaknya lalu naik ke tangga lantai dua.Mas Hamdan yang tidak punya pilihan lain terpaksa bangun, bangkit menuruti ibundanya. Selagi berjalan, kami bersitatap, matanya memicing, dia kesal, lalu kemudian bersikap acuh tak acuh saja dengan kehadiranku."Duduk di sini!" perintah Ibu pada Mas Hamdan."Ada apa Bu?" tanya pria itu s
Pukul tiga sore petugas dari pengadilan agama mengantarkan surat panggilan untuk persidangan. Mereka mengetuk pintu pagar, lalu aku bergegas membukanya."Permisi, ibu Aisyah?""Iya, saya.""Ini ada surat dari pengadilan agama," ucap pria berkacama dan berkulit gelap itu."Oh, terima kasih Pak," jawabku menerima surat tersebut."Apa pak Hamdan masih tinggal di sini?""Tidak, tidak lagi.""Boleh saya tahu alamatnya sekarang?""Jalan melati nomor enam, Pak, ruko Raihan Jaya.""Oh, baiklah," jawab pria itu mengangguk.Setelah selesai menandatangani kertas dan memberikannya kembali pada pria itu, aku pun mengucapkan terima kasih."Sama-sama, Bu. Kalo begitu permisi, karena saya harus mengantarkan surat panggilan ini ke tempat Pak Hamdan, mari Bu," ujarnya sambil tersenyum lalu pergi dari rumahku."Iya Pak."Selepas kepergian pria itu, kini kugenggam amplop coklat berisi surat pemanggilan itu. Kutimbang dan memperhatikannya berkali-kali, sembari menanyai diriku, apa aku siap dengan semua ke