"Makasih ayah ...." Raihan bangkit sambil menyeka darah dari sudut bibirnya. Anakku tetap bersikap tenang meski nampak sangat geram pada sikap ayahnya yang mengecewakan."Jangan ikut kurang ajar kamu ya ...." Mas Hamdan mendesis sambil melotot."Aku gak kurang ajar Ayah, aku cuma datang dan menyaksikan sendiri kelakuan Ayah, aku cuma mau tahu apa alasan Bunda minta cerai, dan sekarang aku tahu alasannya ...." Anakku menjawab, tatapan ayah anak itu beradu dengan sengit memantik emosi Mas Hamdan makin memuncak."Apa alasannya, heh?" Mas Hamdan mendekat dan melayangkan lagi tamparan ke wajah Raihan. "Katakan alasannya?!"Plak!"Mas ... stop!" Kali ini Maura pergi melerai dan menahan lengan Mas Hamdan dia menggeleng dengan isyarat tidak mengizinkan pria itu memukul anak tirinya."Hentikan, Mbak Aisyah akan semakin marah jika tahu ini semua Mas," ucap Maura."Memangnya kenapa kalo dia tahu? Memangnya kenapa? kenapa hah, dia juga anakku kan?!""Iya tapi ....""Kamu yang jangan ikut campu
Pagi-pagi sekali aku sudah datang ke pengadilan agama diantar oleh Karman, aku daftarkan gugatan dan menemui petugas Pa di mana kita melaporkan pengaduan."Kenapa Ibu ingin bercerai?""Karena sudah tidak ada lagi kecocokan Pak.""Boleh diberi tahu secara detil Kenapa tidak ada lagi kecocokan?""Kenapa suami saya sudah menikah lagi dan sudah mengabaikan saya.""Tepatnya sudah berapa bulan?""Sekitar 3 bulan.""Sebaiknya jangan 3 bulan bu agar persidangan bisa menerima alasan ibu." Pria yang terlihat ramah itu memberiku saran sambil tersenyum."Kalau begitu secara teknis dia sudah mencintai wanita itu selama hampir 1 tahun. Bapak bisa menuliskannya 6 bulan.""Oke lalu ada permasalahan lain? Apa ibu juga akan menggugat hak asuh anak dan harta gono gini?""Mungkin iya, tapi itu nanti saja. Saya hanya sudah tidak tahan dengan percekcokan yang terjadi ini, semua itu menekan mental saya," jawabku pelan."Baiklah tapi apakah suami anda melakukan KDRT?""Tidak pada saya tapi dia melakukannya p
"inikah balasan yang kau lakukan padaku selama 14 tahun berumah tangga!" Tiba-tiba pria itu datang ke rumah mendapatiku sedang sarapan dan langsung menghempaskan surat panggilan persidangan ke atas piring makanku. Di amplop coklat itu tertulis kop pengadilan agama dan nama tergugat Hamdan Bin Suryono Aji.Kuletakkan sendok di meja, melipat tangan lalu menatapnya dengan seksama."Lalu, aku harus bagaimana, Mas?""Hah, aku gak nyangka ya ... kamu memutus ikatan pernikahan kita dengan cara seperti ini...."Pria itu mendesis dengan tawa tak percaya."Kamu terdengar seperti wanita yang merengek pada suaminya," ujarku dingin. "Setelah mengajukan gugatan cerai beraninya dengan santai kau menatapku seperti itu!" Brak!Pria itu menggebrak meja, mengungkapkan cetusan emosi dari tatapan mata, memaksaku untuk beradu sorot dengannya. Daripada mata ini akan berkaca kaca, sebaiknya kulanjutkan makan dan kegiatanku."Aku harus sarapan dan minum obat, lakunpergi ke rumah sakit," ucapku dengan eks
Kuikuti wanita berhijab panjang itu pergi ke rumah anaknya. Kuikuti dengan mobil Dari belakang, dan ketika baru saja tiba, wanita itu langsung meluncur masuk ke loby kantor anaknya."Mana anak saya?" tanya ibu mertua yang punya garis wajah seperti wanita timur tengah itu."Ada di ruangannya Bu, tapi sedang sibuk ...."Ungkapan wanita itu tidak digubris ibu mertua, beliau langsung melengos masuk menuju ruang pimpinan."Hamdan!"Mas Hamdan yang dipanggil seperti itu tersentak dan kaget."I-ibu?""Iya, ada apa ibu kemari?""Ibu mau bicara, ke atas sekarang juga!""Tapi, saya masih ada kerjaan, Bu ....""Ke atas sekarang juga, Hamdan!" Ibu mertua berjalan mendahului anaknya lalu naik ke tangga lantai dua.Mas Hamdan yang tidak punya pilihan lain terpaksa bangun, bangkit menuruti ibundanya. Selagi berjalan, kami bersitatap, matanya memicing, dia kesal, lalu kemudian bersikap acuh tak acuh saja dengan kehadiranku."Duduk di sini!" perintah Ibu pada Mas Hamdan."Ada apa Bu?" tanya pria itu s
Pukul tiga sore petugas dari pengadilan agama mengantarkan surat panggilan untuk persidangan. Mereka mengetuk pintu pagar, lalu aku bergegas membukanya."Permisi, ibu Aisyah?""Iya, saya.""Ini ada surat dari pengadilan agama," ucap pria berkacama dan berkulit gelap itu."Oh, terima kasih Pak," jawabku menerima surat tersebut."Apa pak Hamdan masih tinggal di sini?""Tidak, tidak lagi.""Boleh saya tahu alamatnya sekarang?""Jalan melati nomor enam, Pak, ruko Raihan Jaya.""Oh, baiklah," jawab pria itu mengangguk.Setelah selesai menandatangani kertas dan memberikannya kembali pada pria itu, aku pun mengucapkan terima kasih."Sama-sama, Bu. Kalo begitu permisi, karena saya harus mengantarkan surat panggilan ini ke tempat Pak Hamdan, mari Bu," ujarnya sambil tersenyum lalu pergi dari rumahku."Iya Pak."Selepas kepergian pria itu, kini kugenggam amplop coklat berisi surat pemanggilan itu. Kutimbang dan memperhatikannya berkali-kali, sembari menanyai diriku, apa aku siap dengan semua ke
Ternyata bertengkar denganku membuatnya tidak jadi menghadiri persidangan, terbukti ketika kami dipertemukan, dia sudah berlalu. Pergi entah kemana? Tim pengadilan agama bertanya tentang keberadaan suamiku dan aku hanya menjawab tidak tahu.Karena kehadirannya alpa, jadi, agenda mediasi hari itu terselesaikan tanpa adanya solusi. Kutinggalkan pengadilan dengan sebuah jadwal sidang berikutnya di tangan.Karena selama pertemuan dengan pihak pengadilan aku telah mematikan ponsel, jadi setelah kuhidupkan ternyata ponselku sudah punya banyak panggilan tak terjawab.Baru saja beberapa detik ponsel menyala tiba-tiba ada telpon dari ibu mertua. Kuangkat segera karena tahu, dia pasti khawatir jika aku tak menjawab panggilannya."Aisyah, ya allah syukurlah, kamu menjawab panggilanku.""Ada apa Bu?""Hamdan, Aish, hamdan ....""Kenapa Mas Hamdan?""Nabrak," jawab Ibu."Nabrak apaaan?""Katanya nyaris tabrakan, jadi menghindar dan menabrak pembatas," jawab Ibu."Terus dianya gimana?""Di rumah
Dengan nafas memburu dan perasaan panas, aku segera menelpon Hamid adik iparku yang bekerja di sebuah bank untuk membicarakan perihal jaminan kesehatan Mas Hamdan. Sebenci itu, tapi aku masih tetap berusaha peduli, entah kenapa aku mau melakukannya padahal aku muak sekali."Halo, assalamualaikum Hamid ....""Walaikum salam, Mbak," jawabnya dengan halus dan sopan."Maaf sebelumnya Hamid Saya ingin bicara sesuatu padamu," ucapku pelan."Kebetulan saya sedang berada di rumah sakit untuk melihat keadaan masam dan tapi ngomong-ngomong kenapa Mbak Aisyah tidak datang?""Aku sangat kelelahan hari ini Hamid, aku baru kembali dari pengadilan setelah jam 5 sore. Oh ya, tadi maura datang ke rumah dan minta uang dariku untuk biaya pengobatan Mas Hamdan.""Kok minta sama Mbak, memangnya Mas Hamdan tidak punya uang sendiri?""Katanya tidak punya dan kartu BPJSnya menunggak, tunggakannya mencapai 5 juta dan jujur itu membuatku sakit kepala.""Masak sih Mbak, sampai sebanyak itu, emangnya Mas Hamdan
Pagi pagi sekali, sekitar pukul tujuh lewat sepuluh menit, baru saja ketika aku melepas anak-anak untuk berangkat sekolah, kulanjutkan kembali tugas rumah, menyapu halaman dan menyiram bunga serta bonsai kesayangan.Tanpa kusadari tiba-tiba Maura sudah datang, berdiri di sampingku dengan wajah yang sudah dipasang seketus mungkin."Assalamualaikum ....""Walaikum salam," jawabku dengan rasa sebal, jangankan berbicara padanya, menatapnya saja aku sudah malas, benci dan muak."Aku kemari datang untuk mengambil sisa pakaian Mas Hamdan," ucapnya dengan mendelik sinis.Ya Allah, rasanya menyebalkan sekali menatapnya, aku ingin mencakarnya."Kamu lupa kalau semua pakaian Mas Hamdan sudah kamu ambil tempi hari, pakaian apa lagi yang mau diambil?""Oh, ma-maksudku, sisa berkas dan barang barang pribadinya," jawabnya gugup."Aku tidak bisa biarkan berkas-berkas mirip mana Hamdan keluar dari rumah ini tanpa izin darinya.""Dia yang sudah menyuruhku!""Kalau begitu telepon dia dan suruh dia bi