Pukul tiga sore petugas dari pengadilan agama mengantarkan surat panggilan untuk persidangan. Mereka mengetuk pintu pagar, lalu aku bergegas membukanya."Permisi, ibu Aisyah?""Iya, saya.""Ini ada surat dari pengadilan agama," ucap pria berkacama dan berkulit gelap itu."Oh, terima kasih Pak," jawabku menerima surat tersebut."Apa pak Hamdan masih tinggal di sini?""Tidak, tidak lagi.""Boleh saya tahu alamatnya sekarang?""Jalan melati nomor enam, Pak, ruko Raihan Jaya.""Oh, baiklah," jawab pria itu mengangguk.Setelah selesai menandatangani kertas dan memberikannya kembali pada pria itu, aku pun mengucapkan terima kasih."Sama-sama, Bu. Kalo begitu permisi, karena saya harus mengantarkan surat panggilan ini ke tempat Pak Hamdan, mari Bu," ujarnya sambil tersenyum lalu pergi dari rumahku."Iya Pak."Selepas kepergian pria itu, kini kugenggam amplop coklat berisi surat pemanggilan itu. Kutimbang dan memperhatikannya berkali-kali, sembari menanyai diriku, apa aku siap dengan semua ke
Ternyata bertengkar denganku membuatnya tidak jadi menghadiri persidangan, terbukti ketika kami dipertemukan, dia sudah berlalu. Pergi entah kemana? Tim pengadilan agama bertanya tentang keberadaan suamiku dan aku hanya menjawab tidak tahu.Karena kehadirannya alpa, jadi, agenda mediasi hari itu terselesaikan tanpa adanya solusi. Kutinggalkan pengadilan dengan sebuah jadwal sidang berikutnya di tangan.Karena selama pertemuan dengan pihak pengadilan aku telah mematikan ponsel, jadi setelah kuhidupkan ternyata ponselku sudah punya banyak panggilan tak terjawab.Baru saja beberapa detik ponsel menyala tiba-tiba ada telpon dari ibu mertua. Kuangkat segera karena tahu, dia pasti khawatir jika aku tak menjawab panggilannya."Aisyah, ya allah syukurlah, kamu menjawab panggilanku.""Ada apa Bu?""Hamdan, Aish, hamdan ....""Kenapa Mas Hamdan?""Nabrak," jawab Ibu."Nabrak apaaan?""Katanya nyaris tabrakan, jadi menghindar dan menabrak pembatas," jawab Ibu."Terus dianya gimana?""Di rumah
Dengan nafas memburu dan perasaan panas, aku segera menelpon Hamid adik iparku yang bekerja di sebuah bank untuk membicarakan perihal jaminan kesehatan Mas Hamdan. Sebenci itu, tapi aku masih tetap berusaha peduli, entah kenapa aku mau melakukannya padahal aku muak sekali."Halo, assalamualaikum Hamid ....""Walaikum salam, Mbak," jawabnya dengan halus dan sopan."Maaf sebelumnya Hamid Saya ingin bicara sesuatu padamu," ucapku pelan."Kebetulan saya sedang berada di rumah sakit untuk melihat keadaan masam dan tapi ngomong-ngomong kenapa Mbak Aisyah tidak datang?""Aku sangat kelelahan hari ini Hamid, aku baru kembali dari pengadilan setelah jam 5 sore. Oh ya, tadi maura datang ke rumah dan minta uang dariku untuk biaya pengobatan Mas Hamdan.""Kok minta sama Mbak, memangnya Mas Hamdan tidak punya uang sendiri?""Katanya tidak punya dan kartu BPJSnya menunggak, tunggakannya mencapai 5 juta dan jujur itu membuatku sakit kepala.""Masak sih Mbak, sampai sebanyak itu, emangnya Mas Hamdan
Pagi pagi sekali, sekitar pukul tujuh lewat sepuluh menit, baru saja ketika aku melepas anak-anak untuk berangkat sekolah, kulanjutkan kembali tugas rumah, menyapu halaman dan menyiram bunga serta bonsai kesayangan.Tanpa kusadari tiba-tiba Maura sudah datang, berdiri di sampingku dengan wajah yang sudah dipasang seketus mungkin."Assalamualaikum ....""Walaikum salam," jawabku dengan rasa sebal, jangankan berbicara padanya, menatapnya saja aku sudah malas, benci dan muak."Aku kemari datang untuk mengambil sisa pakaian Mas Hamdan," ucapnya dengan mendelik sinis.Ya Allah, rasanya menyebalkan sekali menatapnya, aku ingin mencakarnya."Kamu lupa kalau semua pakaian Mas Hamdan sudah kamu ambil tempi hari, pakaian apa lagi yang mau diambil?""Oh, ma-maksudku, sisa berkas dan barang barang pribadinya," jawabnya gugup."Aku tidak bisa biarkan berkas-berkas mirip mana Hamdan keluar dari rumah ini tanpa izin darinya.""Dia yang sudah menyuruhku!""Kalau begitu telepon dia dan suruh dia bi
Di puncak kebosanan ini ... juga rasa malu yang tidak bisa kusembunyikan dari para warga desa, aku ingin segera menyudahi drama cinta segitiga dan poligami yang tidak adil di antara kami bertiga, aku, mas Hamdan dan Maura.Pukul sembilan pagi petugas pengadilan datang dan mengantarkan surat panggilan sidang kedua dan memintaku untuk membawa saksi."Ibu sudah punya keluarga yang di bisa dimintai kesaksiannya untuk memperkuat bukti di pengadilan?""Saya tidak tahu pak tapi saya akan mencoba mencarinya," jawabku."Mbak Mungkin bisa minta tolong kepada saudara atau keluarga," saran pria itu dengan tenang."Saya khawatiratir mereka tidak mau karena dari awal mereka memang tidak menyetujui perceraian. Sebagian dari keluarga saya juga tidak berani berbuat demikian karena takut itu akan terjadi pada anak dan cucu mereka. Bapak tahu kan, terkadang kita berada di di lingkungan konservatif yang penuh kekakuan.""Iya saya paham, terlebih ini adalah desa, dan sistim masyarakat di desa masih kuat
"Heran sekali, baru keluar dari rumah sakit, tangan masih terluka dan diperban, dia malah nekat menemuiku alih alih pulang ke ruko dan beristirahat." Aku membatin seraya meninggalkan restoran tempat perjumpaan kami tadi.Sempat sempatnya dia ingin mengajakku bernostalgia, dalam keadaan lemah sedemikian rupa. Aku tak habis pikir dan tidak mengerti, mengapa baru sekarang terbesit keinginannya untuk memperbaiki hubungan, mengapa tidak dari dulu saja ketika dia baru saja memutuskan untuk menikah lagi dengan Maura atau saat dia telah memperistrikan wanita itu, mengapa Mas Hamdan tidak mencoba untuk memperbaiki hubungan denganku, menyesuaikan keadaan dan mengkondisikan agar kami saling menyayangi dan akur sebagai adik dan kakak madu. Jika ada konflik mengapa dia tidak berusaha untuk memperbaikinya. Jika ada masalah, memang kuncinya adalah pengendalian diri, segala sesuatu harus diselesaikan dengan kepala dingin, agar tercapai harapan dan terpuaskan segala keluhan kami. Memang wanita suli
Lama kami saling terdiam, menetap pada pria yang mencengkeram jemari tangannya, dengan nafas memburu dan mata melotot seolah-olah dia sedang dirasuki oleh jin yang jahat."Bunda, aku akan ke kamar," ucap Raihan sambil meninggalkan piring makan yang baru dia cecap dua sendok."Tapi makanannya Nak...""Sudahlah Bund ...." Anakku hanya bisa menghela nafas dengan kecewa lalu menjauh pergi begitu saja."Aisyah! Aku belum selesai bicara padamu!""Astaghfirullahallazim ...apa lagi, Mas? apa maksud bicara seperti itu, kalau tidak dihalalkan, lalu ingin dikembalikan atau bagaimana?" tanyaku dengan marah."Yang pasti, atas semua kedurhakaanmu padaku, aku tidak menghalalkan apa yang kau ambil dan kau terima, sekalipun itu telah jadi milikmu sekarang!""Jadi maumu apa, jika tidak kau relakan berarti kau menuntut pengembalian, iya kan?!" Aku berkacak pinggang tak kuasa menahan emosi.Putri yang melihat pertengkaran kami dengan air mata berlinang perlahan bersurut meninggalkan kursi makannya juga.
"Raihan, ya Allah, ada apa ini?!" Tetanggaku yang baik hati itu langsung meraih Raihan dan memeluknya."Ada apa ini Mas?" tanya Karman dengan raut tidak percaya. Bukannya apa, suamiku adalah pria yang alim dan lembut mengapa tiba-tiba dia seperti orang asing yang sama sekali tidak kami kenali tabiat dan wataknya."Astaghfirullah ...." Pak Arman hanya bisa mendesis seperti itu melihat Raihan yang terbatuk-batuk dan sesak nafas. Dengan tergopoh-gopoh aku ke dapur Pergi mengambil segelas air lalu memberikannya pada Raihan dengan perlahan."Minum dulu, Sayang, kamu pasti syok ...." ucapku sambil melirik pria yang Masih berdiri mematung menatap kami dengan tatapan nanar."Mas Hamdan, sebaiknya kita duduk di depan saja yuk," ujar Karman menarik lengan Mas Hamdan."Gak, aku belum selesai bicara, Kamu juga jangan terlalu banyak ikut campur sebelum aku menyadarkan dirimu Siapa kamu bagi kami!""Astaghfirullah ...." Tidak habis-habisnya diriku beristighfar hari ini, "ucapan macam apa itu Mas!