"Jika Pak Hamdan dan Ibu Aisyah sudah sulit dipersatukan, setidaknya hargai hubungan yang pernah ada, kalau terpaksa cerai, sebaiknya berpisah baik baik, selesaikan masalahnya dengan baik-baik pula.""Saya sudah katakan demikian Pak RT." Aku berusaha membela diri dari pria yang sudah mencekik anakku."Tapi dia ingin menguasai segalanya, dia tidak punya malu dan sombong sekali pada saya yang masih memberinya makan," sanggah Mas Hamdan sambil menunjuk ke arahku dengan mata membeliak."Jangan sembarangan ya, Mas, jaga ucapannya Mas,"Aku tak kalah sengitnya."Sudah cukup! demi keamanan dan ketertiban kampung, saya minta ini diakhiri. Silakan Pak Hamdan kembali ke rumah Mbak Maura, biar ibu Aisyah menenangkan diri dan anak anaknya," perintah Pak RT dengan tegas."Lho, Pak, ini kan rumah saya, masak saya gak berhak pulang?" Mas Hamdan melengos sambil tertawa sinis. Dia menggeleng dengan raut wajah tidak terima dan meremehkan Pak RT serta kami semua."Demi kenyamanan keluarga Pak Hamdan
"Mbak menyesal sekali, Mbak minta maaf ....""Yang salah bukan Mbak, tapi Masnya .... kami maklum kok, itu mungkin hanya ketidak sengajaan," jawab Karman sambil menarik lengan istrinya dan menjauh pergi.Jadi, tinggal aku Raihan dan Zahra yang saat ini saling menatap di sofa ruang Tivi, kami saling terdiam, sedang anak anak yang sejak tadi memandangku dan menyimak pembicaraan kami, kini tertunduk lesu dan tidak mengatakan sesuatu."Raihan, Zahra, sebaiknya kalian kembali ke kamar, tidur ya, karena besok sekolah," saranku lembut."Kejadian tadi, cukup mencekam Bund," gumam Raihan sambil meringis memegangi lengannya."Sama Kak, aku kaget banget," timpal Zahra dengan suara bergetar sambil menggeleng lemah."Aku minta maaf ya, anak anak. Bunda tidak bermaksud membuat kalian tersakiti, Bunda minta maaf ya....""Tidak apa apa Bunda, tapi aku mohon sesekali beri Ayah pelajaran telak yang bikin ayah sadar sekaligus jera!""Bunda ingin sekali melalukan itu, Bunda akan berpikir dan coba mem
Aku tahu persis akibat dari perbuatan hari ini, mengambil barang-barang penting di kantor dan perabotan yang sangat dibutuhkan. Meksi kini perabotan itu hanya teronggok di gudang rumahku begitu saja, dia pasti akan datang dan melampiaskan kemarahan, mengumbar emosi."Tapi, beranikah dia datang kembali ke sini setelah kemarin diusir Pak RT dan dibentak dengan kencang?" Aku menggumam sambil memakan anggur di sofa ruang tengah.Akan kutunggu Mas Hamdan sampai siang, apakah dia akan datang atau tidak. Aku benar-benar penasaran apa saja yang akan dia ucapkan dan bagaimana sumpah serapah yang akan meluncur dari mulutnya.Entah kenapa semakin hari esensi rumah tangga ini semakin memudar dan hanya menumpuk-numpuk dosa saja. Lagi pula mengapa sampai sekarang panggilan dari persidangan belum juga datang, aku benar-benar gelisah dan ingin segera berpisah dari Mas Hamdan. Pria itu sungguh membuatku tidak nyaman dan kadang terlintas di hatiku mengapa aku bisa terjebak dengan lelaki itu.Lama kut
"Mas! Hentikan itu dia adalah pria tua yang tidak tahu apa-apa, dia hanya petugas, kenapa kau marah padanya, apa otakmu tidak bisa dipakai untuk berpikir jernih? Allah, kau ini Mas ...." Aku menggumam kesal dan masuk ke dalam rumah."Sini, mau kemana kau?"Dia menarik jilbabku dari belakang dan nyaris saja membuatku terjengkang ke lantai."Apa-apaan ini Mas?""Apa-apaan denganmu, yang di pagi buta datang merampok ke kantorku!""Merampok? hahaha, aku datang mengambil barang-barang yang kubeli dengan penuh harapan baik tentang masa depan kita, daripada mengingatnya membuatku sakit hati lebih baik aku ambil benda-benda itu dan kusimpan di rumah.""Kau pikir aku tidak bisa membeli yang lain?""Jika demikian mengapa kau datang marah padaku pergi ke toko dan belilah barang-barang baru mengapa kau memprotes hak yang menjadi milikku?!" tanyaku berkacak pinggang."Wow, luar biasa ...." Pria itu tertawa dengan sinis, " rupanya kau kehilangan rasa takutmu pada suami sendiri.""Hei, mulut dan sik
Kamu udah menemukan saksi di antara para keluarga yang mayoritas tidak mau mendukung perceraian kami. Kebanyakan dari para tetua dan kerabat tidak setuju dengan ide perpisahan karena mereka merasa bahwa kami adalah pasangan ideal yang seharusnya tidak boleh terpisah atau dipisahkan.Mereka bilang bahwa aku dan Mas Hamdan adalah pasangan yang paling cocok. Dua orang yang saling mencintai dan saling melengkapi juga pernah saling mendukung untuk mencapai kesuksesan dan kehormatan di kampung ini."Mengapa pada akhirnya kalian saling meninggalkan hanya karena wanita lain? Maura hanya selingan, sementara ratu yang sesungguhnya adalah dirimu." Itulah hal yang diucapkan Ibuku tempo hari, tapi tetap saja, posisi ratu yang tidak diinginkan, alias istri yang selalu diabaikan sangat menyakitkan perasaanku. Lagi pula aku menyerah dengan semua kesombongan dan segala tingkah laku gila suamiku.** Pada akhirnya di sinilah aku berdiri di depan pengadilan agama berlantai tiga yang terlihat mewah d
Sore itu, aku kembali ke rumah. Dengan langkah pelan, menyusuri paving, belum pernah bunyi daun kering yang berasal dari pohon mangga di samping garasi berbunyi semenggema ini. Keadaaan hening memgggetarkan hati.Perlahan kubuka pintu yang terbuat dari jati dan kaca itu, kubuka lebar membiarkan angin berebut, menghembuskan hawa dingin dari ruang belakang, ujung jilbabku melayang, hawa itu menusuk hati dan membawa suasana sendu tersendiri.Kududukkan badan di sofa besar ruang tamu, lalu memindai sekitar rumah dengan tatapan kosong netraku. Di dinding sebelah kanan foto keluarga kami masih terpampang indah, dengan baju seragam dan senyum bahagia, kami terlihat harmonis layaknya keluarga utuh yang tidak akan terpisahkan."Mas Hamdan ... aku tak menyangka bahwa kau yang merusak keluarga kita," bisikku dengan suara yang tercekat di tenggorokan.Air mataku kembali meleleh, meresapi keheningan dan status baru sebagai janda Hamdan. Ya, aku sangat benci dengan sebutan itu, tapi kenyataannya
Malam harinya sekitar pukul setengah sepuluh, setelah kupastikan anak-anak makan dengan baik lalu mengantar mereka ke kamar tidur. Aku kemudian beralih ke pintu depan untuk menguncinya.Namun, baru saja aku anak mengunci pintu juga tubuh seseorang itu lalu mendorongnya dengan keras, sesosok tubuh mencekal tanganku dengan keras, rambutku yang panjang sepunggung terurai menutupi wajah karena tertiup angin kencang oleh sebab sebentar lagi akan hujan.Kebetulan karena aku tidak menyalakan lampu utama, hanya lampu remang-remang di pinggir dinding dinding, membuatku sulit memindai siapa yang datang."Lepaskan aku!" Aku mengenali aroma parfum yang akulah sendiri memilihkan yang untuknya."Kenapa lepaskan, kau masih istriku!""Putusan pengadilan sudah usai," ucapku. Tiba-tiba dia mengunci tangan ini ke bagian belakang punggung, lalu memutar tubuhku hingga posisinya, aku terkunci di dalam pelukan Hamdan."Lepaskan ... aku tidak mau ada keributan karena anak-anak baru saja kutenangkan perasa
Aku terkesiap, tanganku refleks menutup mulut dengan terkejut, tubuhku gemetar dan tungkaiku seakan kehilangan tulangnya. Aku gemetar, tubuhku bergetar hebat, menyaksikan ayah anakkku terkapar begitu saja di ubin ruang tamu."Raihan ....""Aku tidak bisa membiarkan Ayah memperlakukan Ibu seperti itu," jauhkan aku dengan nada yang tidak kalah bergetar pula sepertinya ini adalah pertama kalinya dia melakukan kekerasan dalam hidupnya."Pergilah ke kamar dan bersikaplah seolah tidak tahu apa-apa," ucapku merampas piala dari tangannya."Apa yang ibu lakukan dengan itu.""Aku akan membersihkannya lalu mengaku kepada semua orang bahwa akulah yang memukul Mas Hamdan," jawabku parau."Tapi ibu tidak bersalah," balas Raihan dengan gelengan kepala."Tahukah kamu apa yang akan terjadi jika semua orang tahu kamu yang sudah memukul ayahmu? bukan hanya masuk penjara, tapi reputasimu akan hancur, sekolah akan mengeluarkanmu dan semua orang akan mencibir bahwa kau adalah anak yang durhaka.""Aku tida