Kuikuti wanita berhijab panjang itu pergi ke rumah anaknya. Kuikuti dengan mobil Dari belakang, dan ketika baru saja tiba, wanita itu langsung meluncur masuk ke loby kantor anaknya."Mana anak saya?" tanya ibu mertua yang punya garis wajah seperti wanita timur tengah itu."Ada di ruangannya Bu, tapi sedang sibuk ...."Ungkapan wanita itu tidak digubris ibu mertua, beliau langsung melengos masuk menuju ruang pimpinan."Hamdan!"Mas Hamdan yang dipanggil seperti itu tersentak dan kaget."I-ibu?""Iya, ada apa ibu kemari?""Ibu mau bicara, ke atas sekarang juga!""Tapi, saya masih ada kerjaan, Bu ....""Ke atas sekarang juga, Hamdan!" Ibu mertua berjalan mendahului anaknya lalu naik ke tangga lantai dua.Mas Hamdan yang tidak punya pilihan lain terpaksa bangun, bangkit menuruti ibundanya. Selagi berjalan, kami bersitatap, matanya memicing, dia kesal, lalu kemudian bersikap acuh tak acuh saja dengan kehadiranku."Duduk di sini!" perintah Ibu pada Mas Hamdan."Ada apa Bu?" tanya pria itu s
Pukul tiga sore petugas dari pengadilan agama mengantarkan surat panggilan untuk persidangan. Mereka mengetuk pintu pagar, lalu aku bergegas membukanya."Permisi, ibu Aisyah?""Iya, saya.""Ini ada surat dari pengadilan agama," ucap pria berkacama dan berkulit gelap itu."Oh, terima kasih Pak," jawabku menerima surat tersebut."Apa pak Hamdan masih tinggal di sini?""Tidak, tidak lagi.""Boleh saya tahu alamatnya sekarang?""Jalan melati nomor enam, Pak, ruko Raihan Jaya.""Oh, baiklah," jawab pria itu mengangguk.Setelah selesai menandatangani kertas dan memberikannya kembali pada pria itu, aku pun mengucapkan terima kasih."Sama-sama, Bu. Kalo begitu permisi, karena saya harus mengantarkan surat panggilan ini ke tempat Pak Hamdan, mari Bu," ujarnya sambil tersenyum lalu pergi dari rumahku."Iya Pak."Selepas kepergian pria itu, kini kugenggam amplop coklat berisi surat pemanggilan itu. Kutimbang dan memperhatikannya berkali-kali, sembari menanyai diriku, apa aku siap dengan semua ke
Ternyata bertengkar denganku membuatnya tidak jadi menghadiri persidangan, terbukti ketika kami dipertemukan, dia sudah berlalu. Pergi entah kemana? Tim pengadilan agama bertanya tentang keberadaan suamiku dan aku hanya menjawab tidak tahu.Karena kehadirannya alpa, jadi, agenda mediasi hari itu terselesaikan tanpa adanya solusi. Kutinggalkan pengadilan dengan sebuah jadwal sidang berikutnya di tangan.Karena selama pertemuan dengan pihak pengadilan aku telah mematikan ponsel, jadi setelah kuhidupkan ternyata ponselku sudah punya banyak panggilan tak terjawab.Baru saja beberapa detik ponsel menyala tiba-tiba ada telpon dari ibu mertua. Kuangkat segera karena tahu, dia pasti khawatir jika aku tak menjawab panggilannya."Aisyah, ya allah syukurlah, kamu menjawab panggilanku.""Ada apa Bu?""Hamdan, Aish, hamdan ....""Kenapa Mas Hamdan?""Nabrak," jawab Ibu."Nabrak apaaan?""Katanya nyaris tabrakan, jadi menghindar dan menabrak pembatas," jawab Ibu."Terus dianya gimana?""Di rumah
Dengan nafas memburu dan perasaan panas, aku segera menelpon Hamid adik iparku yang bekerja di sebuah bank untuk membicarakan perihal jaminan kesehatan Mas Hamdan. Sebenci itu, tapi aku masih tetap berusaha peduli, entah kenapa aku mau melakukannya padahal aku muak sekali."Halo, assalamualaikum Hamid ....""Walaikum salam, Mbak," jawabnya dengan halus dan sopan."Maaf sebelumnya Hamid Saya ingin bicara sesuatu padamu," ucapku pelan."Kebetulan saya sedang berada di rumah sakit untuk melihat keadaan masam dan tapi ngomong-ngomong kenapa Mbak Aisyah tidak datang?""Aku sangat kelelahan hari ini Hamid, aku baru kembali dari pengadilan setelah jam 5 sore. Oh ya, tadi maura datang ke rumah dan minta uang dariku untuk biaya pengobatan Mas Hamdan.""Kok minta sama Mbak, memangnya Mas Hamdan tidak punya uang sendiri?""Katanya tidak punya dan kartu BPJSnya menunggak, tunggakannya mencapai 5 juta dan jujur itu membuatku sakit kepala.""Masak sih Mbak, sampai sebanyak itu, emangnya Mas Hamdan
Pagi pagi sekali, sekitar pukul tujuh lewat sepuluh menit, baru saja ketika aku melepas anak-anak untuk berangkat sekolah, kulanjutkan kembali tugas rumah, menyapu halaman dan menyiram bunga serta bonsai kesayangan.Tanpa kusadari tiba-tiba Maura sudah datang, berdiri di sampingku dengan wajah yang sudah dipasang seketus mungkin."Assalamualaikum ....""Walaikum salam," jawabku dengan rasa sebal, jangankan berbicara padanya, menatapnya saja aku sudah malas, benci dan muak."Aku kemari datang untuk mengambil sisa pakaian Mas Hamdan," ucapnya dengan mendelik sinis.Ya Allah, rasanya menyebalkan sekali menatapnya, aku ingin mencakarnya."Kamu lupa kalau semua pakaian Mas Hamdan sudah kamu ambil tempi hari, pakaian apa lagi yang mau diambil?""Oh, ma-maksudku, sisa berkas dan barang barang pribadinya," jawabnya gugup."Aku tidak bisa biarkan berkas-berkas mirip mana Hamdan keluar dari rumah ini tanpa izin darinya.""Dia yang sudah menyuruhku!""Kalau begitu telepon dia dan suruh dia bi
Di puncak kebosanan ini ... juga rasa malu yang tidak bisa kusembunyikan dari para warga desa, aku ingin segera menyudahi drama cinta segitiga dan poligami yang tidak adil di antara kami bertiga, aku, mas Hamdan dan Maura.Pukul sembilan pagi petugas pengadilan datang dan mengantarkan surat panggilan sidang kedua dan memintaku untuk membawa saksi."Ibu sudah punya keluarga yang di bisa dimintai kesaksiannya untuk memperkuat bukti di pengadilan?""Saya tidak tahu pak tapi saya akan mencoba mencarinya," jawabku."Mbak Mungkin bisa minta tolong kepada saudara atau keluarga," saran pria itu dengan tenang."Saya khawatiratir mereka tidak mau karena dari awal mereka memang tidak menyetujui perceraian. Sebagian dari keluarga saya juga tidak berani berbuat demikian karena takut itu akan terjadi pada anak dan cucu mereka. Bapak tahu kan, terkadang kita berada di di lingkungan konservatif yang penuh kekakuan.""Iya saya paham, terlebih ini adalah desa, dan sistim masyarakat di desa masih kuat
"Heran sekali, baru keluar dari rumah sakit, tangan masih terluka dan diperban, dia malah nekat menemuiku alih alih pulang ke ruko dan beristirahat." Aku membatin seraya meninggalkan restoran tempat perjumpaan kami tadi.Sempat sempatnya dia ingin mengajakku bernostalgia, dalam keadaan lemah sedemikian rupa. Aku tak habis pikir dan tidak mengerti, mengapa baru sekarang terbesit keinginannya untuk memperbaiki hubungan, mengapa tidak dari dulu saja ketika dia baru saja memutuskan untuk menikah lagi dengan Maura atau saat dia telah memperistrikan wanita itu, mengapa Mas Hamdan tidak mencoba untuk memperbaiki hubungan denganku, menyesuaikan keadaan dan mengkondisikan agar kami saling menyayangi dan akur sebagai adik dan kakak madu. Jika ada konflik mengapa dia tidak berusaha untuk memperbaikinya. Jika ada masalah, memang kuncinya adalah pengendalian diri, segala sesuatu harus diselesaikan dengan kepala dingin, agar tercapai harapan dan terpuaskan segala keluhan kami. Memang wanita suli
Lama kami saling terdiam, menetap pada pria yang mencengkeram jemari tangannya, dengan nafas memburu dan mata melotot seolah-olah dia sedang dirasuki oleh jin yang jahat."Bunda, aku akan ke kamar," ucap Raihan sambil meninggalkan piring makan yang baru dia cecap dua sendok."Tapi makanannya Nak...""Sudahlah Bund ...." Anakku hanya bisa menghela nafas dengan kecewa lalu menjauh pergi begitu saja."Aisyah! Aku belum selesai bicara padamu!""Astaghfirullahallazim ...apa lagi, Mas? apa maksud bicara seperti itu, kalau tidak dihalalkan, lalu ingin dikembalikan atau bagaimana?" tanyaku dengan marah."Yang pasti, atas semua kedurhakaanmu padaku, aku tidak menghalalkan apa yang kau ambil dan kau terima, sekalipun itu telah jadi milikmu sekarang!""Jadi maumu apa, jika tidak kau relakan berarti kau menuntut pengembalian, iya kan?!" Aku berkacak pinggang tak kuasa menahan emosi.Putri yang melihat pertengkaran kami dengan air mata berlinang perlahan bersurut meninggalkan kursi makannya juga.
Mungkinkah sikap arogan Mas Irsyad ditengarai oleh kecemburuannya yang begitu besar kepada Hamdan atau mungkinkah karena dendamnya padaku karena sudah menyakiti Elsa, entahlah, aku tak tahu, yang jelas aku merasa sangat sakit dan tersinggung. Air mataku berurai pedih dan menyesal. "Andai aku tidak termakan kata kata manis dan bujukan sejak awal, mungkin aku tidak akan pernah menikahi pria busuk seperti Irsyad. Dia hanya baik di awal dan kejam di akhir, dia benar benar membalikkan persepsiku tentang perilaku dan sifatnya."Pagi menjelang, matahari menyapa, tapi aku enggan menatapnya. Diri ini masih terbaring di ranjang meski waktu sudah menunjukkan pukul tujuh."Kamu tidak bangun untuk menyiapkan sarapanku dan anak-anak?""Aku sedang tidak enak badan dan kalian bisa beli makanan di drive thru, anak anak akan senang," jawabku dari balik selimut."Aneh sekali sikapmu hari ini Aisyah," gumamnya."Memangnya aku tidak boleh sakit memangnya sesekali aku tidak boleh libur dari rutinitas rum
"Berani sekali istrimu memukulku, aku kesakitan Mas, aku kesakitan ...." Wanita itu meraung dan menjerit kesakitan sambil berusaha melindungi dirinya di belakang Mas Irsyad.Saat itu yang aku rasakan tidak ada lagi kewarasan, hanya sakit, panas hati dan amarah yang menggelegak. Saking tak tahannya aku dengan kekesalan, rasa-rasanya ubun-ubun ini ingin meleleh."Beraninya kau mengusik suamiku, menghapus ketentraman rumah tangga dan membuat hidupku tidak nyaman!" Aku melesat ke belakang Mas Irsyad, tanpa bisa dicegah aku langsung mencekik leher wanita itu sampai dia terdorong dan terdesak tepat di depan tangga rumah."To-tolong... Akh ... akkk ...." Wanita itu meronta "Aisyah, stop, ya Allah, Aish, please, lepasin Elsa." Mas Irsyad berusaha menengani tapi sia sia saja.Nafas wanita itu mulai sesak dan megap-megap, dia ingin mengatakan sesuatu tapi tidak bisa. Aku yang seakan dirasuki sebuah kekuatan besar terus menekan lehernya hingga nyaris saja wanita itu meregang nyawa dengan bola
Seminggu kami jalani hidup tanpa tegur sapa dan saling menjauhi. Lebih tepatnya aku yang menjaga jarak dan menjauhi Mas irsyad. Begitu dia mendekati, terlebih ketika di kamar, anak aku langsung bangun dan memasang jarak. Bukannya dia tak mencoba membujuk hanya saja aku yang menolak bujukannya.Seperti ketika suatu malam dia mendekat, mencoba memeluk dan menciumku dengan paksa seperti yang selama ini dia lakukan kala aku merajuk kecil. Sontak, aku berontak dan mendorongnya. Aku menghardik dengan kesal agar dia jangan memaksakan dirinya padaku."Aku bukan pelacur atau wanita yang bisa kau perkosa kapan pun. Enyahlah dari hadapanku.""Mengapa kau marah sekali, aish. Ini sudah hampir seminggu, gak takutkah kamu akan dosa menolak hasrat suami.""Kenapa tidak kau bagi saja hasrat itu kepada wanita yang masih kau cintai!" Tentu saja Mas Irsyad terkejut dan wajahnya langsung pucat. Pria itu mengigit bibir lalu bersurut mundur."Apa? Kenapa diam, Kenapa tidak kau temui mantan istrimu lalu ung
Seminggu kami jalani hidup tanpa tegur sapa dan saling menjauhi. Lebih tepatnya aku yang menjaga jarak dan menjauhi Mas irsyad. Begitu dia mendekati, terlebih ketika di kamar, anak aku langsung bangun dan memasang jarak. Bukannya dia tak mencoba membujuk hanya saja aku yang menolak bujukannya.Seperti ketika suatu malam dia mendekat, mencoba memeluk dan menciumku dengan paksa seperti yang selama ini dia lakukan kala aku merajuk kecil. Sontak, aku berontak dan mendorongnya. Aku menghardik dengan kesal agar dia jangan memaksakan dirinya padaku."Aku bukan pelacur atau wanita yang bisa kau perkosa kapan pun. Enyahlah dari hadapanku.""Mengapa kau marah sekali, aish. Ini sudah hampir seminggu, gak takutkah kamu akan dosa menolak hasrat suami.""Kenapa tidak kau bagi saja hasrat itu kepada wanita yang masih kau cintai!" Tentu saja Mas Irsyad terkejut dan wajahnya langsung pucat. Pria itu mengigit bibir lalu bersurut mundur."Apa? Kenapa diam, Kenapa tidak kau temui mantan istrimu lalu ung
Tak mau terus menyiksa batinku sendiri dengan terus menguping pembicaraan Mas Irsyad dan mantan istrinya akhirnya kuputuskan untuk turun saja mengambil air minum dan kembali ke kamar.Namun sebelum aku melanjutkan langkah, kembali perasaan marahku meronta-ronta. Haruskah aku melabrak dan meneriakinya, lalu mencecarnya dengan banyak pertanyaan mengapa dia berani sekali menelepon wanita lain di tengah malam dan memberinya kata-kata yang indah. Oh Tuhan, hatiku dilema.Ingin kutahan diri tapi rasa haus seakan menusuk tenggorokan sehingga aku tidak punya pilihan.Dengan gaun tidur yang masih menjuntai ke lantai, aku berjalan ke dapur. Melihatku tiba-tiba datang pria itu terkesiap dan kaget. Dengan salah tingkah dia segera mematikan ponsel dan menyembunyikan benda itu di bawah dudukannya. Tapi sayang, aku melihatnya.Aku yang pura-pura tidak tahu apa-apa hanya berjalan dengan cuek lalu mengambil gelas dan memencet dispenser lantas kuteguk air sambil berusaha menahan diriku."Kok belum tid
Hal yang baru saja dia katakan memantik sebuah keheranan di hatiku. Di satu sisi dia ingin aku membiarkannya untuk berhubungan baik dengan Elsa namun sebaliknya ketika aku dan Mas Hamdan berkomunikasi dan hendak menjalin hubungan baik lagi, dia seakan sangat keberatan dan benci."Mungkinkah suamiku adalah penganut pernikahan terbuka di mana dia bebas melakukan apa saja dengan dunia dan teman wanita, sementara aku akan terjerat dan harus mematuhi semua aturan yang dibuat. Bukankah itu tidak adil?!"Alangkah arogan dirinya ketika mengatakan bahwa aku tidak boleh turut serta dalam acara aqiqah yang diselenggarakan Mas Hamdan sementara dia terus malah padaku agar bisa menemui mantan istrinya dengan berbagai alasan kurasa jika aku sudah jengah sendiri dan bosan, dia akan kutinggalkan.Kadang timbul kesesakan tersendiri di dalam hatiku, keheranan entah mengapa aku selalu gagal menjalin tali pernikahan. Apakah aku memang harus ditakdirkan punya suami ajaib yang tidak pernah sesuai dengan
Mungkin aktivitas romantis yang kami lakukan semalam yang membuat moodku membaik di pagi hari. Aku bangun, menyibak tirai jendela membiarkan matahari menghangatkan setiap sisi ruangan rumah. Aku beranjak ke dapur untuk menjerang air dan membuat sarapan keluarga. Selagi menunggu air mendidih luperiksa ponsel yang Alhamdulillah tidak ada notifikasi apa apa. Ya, bagiku kehadiran notifikasi selalu membuat diri ini berdebar dan cemas. Selalu, setiap kali ada yang menghubungi pasti ada masalah atau apa saja yang berkemungkinan merepotkan diri ini."Ah, andai setiap hari hidup kita seperti ini, pasti akan menyenangkan sekali," gumamku sambil menakar bubuk kopi dan gula ke dalam cangkir suami."Bunda ...." Anak anak turun lebih pagi, mereka terlihat sudah rapi degan seragam dan sunggingan senyum yang ceria. "Bagaimana malam tadi, apa kalian tidur dengan nyenyak?""Tentu, kami tidur dengan nyaman dan pulas sekali, Icha tidur bersamaku dan kami sempat membaca buku cerita dan dongeng. Oh ya
"Tidak perlu harus sedramatis itu, Aish, wanita itu sudah demikian tersakiti," ujar Mas Irsyad sambil menutup pintu mobilnya."Jadi kau membelanya?""Bukan begitu?""Mas ... Kalau kamu memang merasa kasihan dan sayang pada wanita itu maka tinggalkan aku dan pilihlah dia, aku tidak akan keberatan sama sekali.""Aisyah, kamu hanya salah paham.""Cukup, jangan mengulur pembicaraan dan mengulang situasi yang sama. Situasi yang pernah aku rasakan bersama Mas Hamdan, aku sudah bosan, demi tuhan, aku ingin menghindarinya," jawabku sambil beranjak masuk ke dalam rumah."Bisa kita pura pura baik baik saja setidaknya di depan Icha, kasihan anakku, dia pasti bingung ....""Aku juga tidak mau membuat anakmu bingung tapi dia pun harus diberi pengertian dan harus tahu seperti ini kondisi orang tuanya sekarang, anak itu harus menyadarinya, Mas.""Jangan terkesan memaksa " Mas Irsyad memburuku di tangga."Lebih cepat tahu lebih baik. Anak anak harus diajari dari sekarang contoh bahwa kita tidak boleh
Akhirnya aku dan anak tiriku berkendara satu mobil menuju rumah ibunya. Aku sebenarnya punya rencana sendiri untuk membongkar apa yang sebenarnya terjadi. Besar keyakinanku bahwa wanita itu hanya pura pura amnesia untuk meraih perhatian semua orang.Sepuluh menit kemudian kami sampai di rumah bercat cream dengan taman kecil dan pohon palem di depannya. Elsa terlihat menunggu di depan teras, senyumannya terkembang saat melihat Fortuner milik Mas Irsyad. Meski tertatih namun semangat dan visual ceria terlihat sekali di wajahnya. Melihat ibunya mendekat, Aisyah membuka pintu dan menyambut, mereka berpelukan dan hendak masuk. Alangkah terkejut Elsa saat mendapati diri ini duduk di kursi depan di dekat mantan suaminya. Raut wajahnya berubah syok dan tidak nyaman."Hai, Elsa," sapaku sambil melambai kecil, bahagia sekali melihat wanita kesal."Siapa dia Mas?"Mas Irsyad nampak ragu, tapi aku yang tidak suka mengulur waktu segera memberi tahu bahwa aku istrinya. Biasanya reaksi orang yang