Berdebar rasanya jantung ini berhadapan dengan dokter syaraf yang kini memegang hasil rontgen kepalaku. Dia nampak serius dengan lembaran hitam seperti klise photo tahun sembilan puluhan itu, lalu dokter berkacamata itu menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan maknannya."Bagaimana dok?""Hmm, memang kepalanya ada sedikit penyumbatan ventrikel dan pembengkakan otak, Bu, tapi ....""Apa maksudnya, Dok, seandainya saya biarkan sakit itu tanpa berobat, apa yang terjadi pada saya, Dok ...?" Aku segera menyela karena tak paham apa yang dikatakan dokter. "Banyak faktor penyebab yang telah membuat penyumbatan pada kepala ibu, tapi dengan mengonsumsi obat secara teratur saya berharap bahwa penyumbatan yang membuat darah yang mengandung oksigen ke otak bisa diencerkan sehingga semuanya bisa teratasi.""Bagaimana kalo tidak bisa diatasi, apa yang akan terjadi pada saya?""Ibu akan lumpuh atau stroke," balas dokter itu sambil tersenyum penuh keprihatinan.Sesaat aku terpana mendengarnya, d
Setelah mematikan panggilan dari Maura aku segera menghubungi Ira via wa. Mengabarinya tentang apa yang sedang terjadi padaku sebelum kata kata kotor dari bibir Maura mempengaruhi keluarga suamiku.(Ira, maaf Mbak gak bisa datang ke rumah sakit, karena hari ini Mbak ke dokter dan ternyata hasilnya Mbak sakit) begitu kirimku pada adik iparku, tidak lupa kukirimkan bukti kertas laporan medis ke chat pribadinya.(Lho, apa maksudnya Mbak, Mbak sakit apa?) Tidak lama kemudian jawaban Ira datang.(Seperti yang kamu baca, Mbak mengalami sakit kepala serius. Maaf, jadi kurang bisa memperhatikan Mas Hamdan.)(Iya, ga apa apa, Mbak, aku akan handel semuanya.)(Kalau gitu tolong dong, lihat Mas Hamdan, Maura berkali kali telepon aku dan marah kalo aku belum bawain bubur juga. Tolong dikondisikan ya Dek.)(Lho, kok gitu ...)(Aku gak tahu, yang pasti dia ngomelin aku karena gak bisa bawain makanan. Aku agak tersinggung sih Dek, seakan-akan aku kayak gak pernah ngurusin Mas Hamdan.)(Mbak istira
Mendengar ucapannya yang menusuk hatiku tentu saja perasaan ini menjadi sangat sedih, betapa sakitnya mencintai dirinya. Bak makan hati berulam jantung, dia yang kuharap akan menyambut datangku malah mendelik dan menunjukkan kebencian mendalamnya."Sa-saya sungguh sedang sakit kemarin, Mas....""Buktinya kamu masih bisa ke rumah sakit!""Itu karena saya ingin tahu apa sakitnya? Tidakkah kamu ingin tahu apa yang sakit yang saya derita?" Suaraku makin parau, sesak di dada kian menghimpit membuatku serasa tak mampu mengais udara."Sudahlah, Mas ... jangan diperpanjang," ucap Maura sambil mendekat dan mengelus dada Mas Hamdan.Mi itu terlihat ingin sekali mengambil perannya dia ingin mengambil alih suamiku dariku, ingin merampok hati Mas Hamdan dan menciptakan kebencian diantara kami berdua. Dia benar-benar memanfaatkan penyakit yang menyimpan aku dan suamiku untuk memisahkan kami."Maura ... harusnya sikap dan ucapan tidak menjadi duri dalam rumah tangga orang lain. Kau tahu dir
Kuputuskan untuk pulang lebih cepat, karena tak kuasa diri ini merasakan sakit dan geramnya aku pada sikap mereka. Pasangan gila itu.Terlebih pada Mas Hamdan yang kian hari kian mencederai arti pernikahan kami yang pernah kami ikrarkan dengan tulus dan penuh kesucian.Katanya dia akan setia padaku, meski Maura bersamanya. Dia akan utamakan diri ini sebagai istri pertama, di atas sagelanya. Tapi lihat buktinya, belum mendengar argumenku saja, dia sudah kasar dan marah marah. Sejujurnya aku sungguh tersinggung dengan sikap demikian melecehkan dan menyakitiku.Pertanyaannya, aku yang bodoh atau bagaimana? mengapa aku masih bertahan dengannya, apakah secinta itu aku pada Mas Hamdan?*Kukemudikan mobil dengan kecepatan tinggi bersamaan dengan hatiku yang remuk redam, aku berharap diri ini akan segera sampai ke rumah, lalu menumpahkan tangis dan kesedihan hati yang sudah membuncah. Mungkin aku selemah itu, tapi ini kenyataannya! Atas segala sakit dan luka yang dia berikan, mengap
Setelah melalui malam panjang yang penuh pertimbangan, setelah berpekan-pekan dalam pikiran panjang, kubulatkan tekad untuk membicarakan perihal perpisahanku dengan Mas Hamdan jika kita berjumpa lagi. Semakin hari, semakin bertahan, semakin sakit diri ini. Mencoba bertahan dalam pernikahan yang sudah seperti rimba onak yang menusuk. Meski aku cinta ... tapi yang dicinta semakin jauh.Wanita cantik itu sudah merebut suamiku dan segala perasaan yang dimiliki Mas Hamdan untuk kami. Bahkan kini anak-anak juga sudah jarang mendapatkan perhatiannya, di samping karena dia memang sakit.Sepanjang waktu yang tercurah darinya hanya untuk madu muda yang gemar mencari muka itu. Mas Hamdan hanya mendengarkan hanya ucapan Maura, pendapat wanita itu dan keinginannya, sementara harapan dan keinginan kami selalu diabaikan.*Kupanggil kedua anakku untuk berdiskusi bagaimanapun mereka punya hak untuk mengetahui apa yang terjadi pada orang tuanya."Reihan, Putri Zahra, datanglah kemarilah Bunda ingin
Mendengar teriakan penegasan dengan tatapan mata Mas Hamdan yang begitu sangar, hati ini seakan diremas-remas tidak karuan. Bola mata ini memanas dan cairan bening mulai menganak sungai ingin meleleh.Menatapku yang berdiri terpaku dengan bibir bergetar, Mas Ramdan hanya bisa menghela nafas sambil mengalihkan kembali perhatiannya ke layar televisi lantas mengeraskan volumenya dengan kencang."Kenapa kamu memaksaku Mas, di saat aku tak bahagia lagi denganmu, kenapa kita tidak saling melepaskan?""Waduh! kamu gak diri banget ya ... aku sudah kasih semua rumah, kebun dan mobil, juga fasilitas banyak, kamu masih mau minta cerai?""Aku gak tahan Mas!" Aku terpaksa berontak atas semua aturan yang dibuatnya sesuka hati."Kalo gitu, balikin semua aset yang kamu pegang!" Dia mengulurkan tangan, dengan tantangan di wajahnya."Kembalikan semua hal yang kau miliki, semua itu adalah hasil jerih payah dan keringatku siang malam. Kau hanya istri yang menunggu di rumah dan menikmati hasil," ungkapny
Air mata ini meleleh, membaca pesan Mas Hamdan, ditambah dengan suasana hari yang mulai mendung, guruh menggemuruh di langit, lantas hati ini makin tak karuan rasanya.Bagaimana dia bisa berpikir untuk menyerahkan kebun pada murah sementara selama bertahun-tahun kebun itu dibeli dari tabungan bersama dan hanya akulah yang bisa mengurusi segalanya, setelah kepengurusan Mas Hamdan. Sungguh tega pria itu mengatakan hal jahat ke depan wajahku. Sungguh egois dia tidak menimbang betapa sakitnya menusukkan duri di permukaan hati yang telah terluka sejak awal.(Kalau begitu mari berperang di pengadilan dan menangkan harta gono gini, aku tak gentar Mas, lagipula anak anak juga punya hak.)(Anak-anakpun akan kuambil darimu, kau sudah sadar dan puas sekarang!)(Sungguh tak adil jika aku tak bisa dapatkan sesuatu untuk penebus jasa dalam belasan tahun bersamamu.)(Kalau begitu katakan berapa harga dari martabat itu, akan kubeli sekalian dengan kepalamu! Aku sudah jadi suami yang mengalah tapi kau
Selagi aku berteriak dengan kemarahanku, tiba tiba Mobil kantor Mas Hamdan datang, mobil itu berhenti tepat di depan rumah lantas Maura terlihat turun dari sana dengan kacamata hitam dan gamis mewah. .Wanita itu terlihat Borjuis dengan gaya yang sedikit angkuh khas orang kata. Penampilanya berbeda, lain sekali, lebih elegan dibanding ketika dia masih gadis dan jadi pembantu di rumah juragan Bono. Bahkan riasannya nampak bold dan jilbabnya juga mahal."Aku nyariin kamu, Mas," ucapnya sambil melepas kaca mata."Nyariin ngapain?""Kamu yang ngapain Sayang, ngapain di sini?" Ya Allah, pengungkapan kata sayang itu menyebalkan sekali. Maura seakan mengejekku dan ingin menunjukkan bahwa dirinya kini adalah kesayangan Mas Hamdan."Aku lagi ngambil perabotan buat rumah ruko kita, rumah ini punya perabotan berlebihan jadi aku berniat mengambil sebagian agar tidak terlalu sesak," gumamnya pada istrinya yang baru."Terlalu sesak katamu, alangkah lancangnya kau Mas Hamdan! Maura hentikan ia s