Mendengar ucapannya yang menusuk hatiku tentu saja perasaan ini menjadi sangat sedih, betapa sakitnya mencintai dirinya. Bak makan hati berulam jantung, dia yang kuharap akan menyambut datangku malah mendelik dan menunjukkan kebencian mendalamnya."Sa-saya sungguh sedang sakit kemarin, Mas....""Buktinya kamu masih bisa ke rumah sakit!""Itu karena saya ingin tahu apa sakitnya? Tidakkah kamu ingin tahu apa yang sakit yang saya derita?" Suaraku makin parau, sesak di dada kian menghimpit membuatku serasa tak mampu mengais udara."Sudahlah, Mas ... jangan diperpanjang," ucap Maura sambil mendekat dan mengelus dada Mas Hamdan.Mi itu terlihat ingin sekali mengambil perannya dia ingin mengambil alih suamiku dariku, ingin merampok hati Mas Hamdan dan menciptakan kebencian diantara kami berdua. Dia benar-benar memanfaatkan penyakit yang menyimpan aku dan suamiku untuk memisahkan kami."Maura ... harusnya sikap dan ucapan tidak menjadi duri dalam rumah tangga orang lain. Kau tahu dir
Kuputuskan untuk pulang lebih cepat, karena tak kuasa diri ini merasakan sakit dan geramnya aku pada sikap mereka. Pasangan gila itu.Terlebih pada Mas Hamdan yang kian hari kian mencederai arti pernikahan kami yang pernah kami ikrarkan dengan tulus dan penuh kesucian.Katanya dia akan setia padaku, meski Maura bersamanya. Dia akan utamakan diri ini sebagai istri pertama, di atas sagelanya. Tapi lihat buktinya, belum mendengar argumenku saja, dia sudah kasar dan marah marah. Sejujurnya aku sungguh tersinggung dengan sikap demikian melecehkan dan menyakitiku.Pertanyaannya, aku yang bodoh atau bagaimana? mengapa aku masih bertahan dengannya, apakah secinta itu aku pada Mas Hamdan?*Kukemudikan mobil dengan kecepatan tinggi bersamaan dengan hatiku yang remuk redam, aku berharap diri ini akan segera sampai ke rumah, lalu menumpahkan tangis dan kesedihan hati yang sudah membuncah. Mungkin aku selemah itu, tapi ini kenyataannya! Atas segala sakit dan luka yang dia berikan, mengap
Setelah melalui malam panjang yang penuh pertimbangan, setelah berpekan-pekan dalam pikiran panjang, kubulatkan tekad untuk membicarakan perihal perpisahanku dengan Mas Hamdan jika kita berjumpa lagi. Semakin hari, semakin bertahan, semakin sakit diri ini. Mencoba bertahan dalam pernikahan yang sudah seperti rimba onak yang menusuk. Meski aku cinta ... tapi yang dicinta semakin jauh.Wanita cantik itu sudah merebut suamiku dan segala perasaan yang dimiliki Mas Hamdan untuk kami. Bahkan kini anak-anak juga sudah jarang mendapatkan perhatiannya, di samping karena dia memang sakit.Sepanjang waktu yang tercurah darinya hanya untuk madu muda yang gemar mencari muka itu. Mas Hamdan hanya mendengarkan hanya ucapan Maura, pendapat wanita itu dan keinginannya, sementara harapan dan keinginan kami selalu diabaikan.*Kupanggil kedua anakku untuk berdiskusi bagaimanapun mereka punya hak untuk mengetahui apa yang terjadi pada orang tuanya."Reihan, Putri Zahra, datanglah kemarilah Bunda ingin
Mendengar teriakan penegasan dengan tatapan mata Mas Hamdan yang begitu sangar, hati ini seakan diremas-remas tidak karuan. Bola mata ini memanas dan cairan bening mulai menganak sungai ingin meleleh.Menatapku yang berdiri terpaku dengan bibir bergetar, Mas Ramdan hanya bisa menghela nafas sambil mengalihkan kembali perhatiannya ke layar televisi lantas mengeraskan volumenya dengan kencang."Kenapa kamu memaksaku Mas, di saat aku tak bahagia lagi denganmu, kenapa kita tidak saling melepaskan?""Waduh! kamu gak diri banget ya ... aku sudah kasih semua rumah, kebun dan mobil, juga fasilitas banyak, kamu masih mau minta cerai?""Aku gak tahan Mas!" Aku terpaksa berontak atas semua aturan yang dibuatnya sesuka hati."Kalo gitu, balikin semua aset yang kamu pegang!" Dia mengulurkan tangan, dengan tantangan di wajahnya."Kembalikan semua hal yang kau miliki, semua itu adalah hasil jerih payah dan keringatku siang malam. Kau hanya istri yang menunggu di rumah dan menikmati hasil," ungkapny
Air mata ini meleleh, membaca pesan Mas Hamdan, ditambah dengan suasana hari yang mulai mendung, guruh menggemuruh di langit, lantas hati ini makin tak karuan rasanya.Bagaimana dia bisa berpikir untuk menyerahkan kebun pada murah sementara selama bertahun-tahun kebun itu dibeli dari tabungan bersama dan hanya akulah yang bisa mengurusi segalanya, setelah kepengurusan Mas Hamdan. Sungguh tega pria itu mengatakan hal jahat ke depan wajahku. Sungguh egois dia tidak menimbang betapa sakitnya menusukkan duri di permukaan hati yang telah terluka sejak awal.(Kalau begitu mari berperang di pengadilan dan menangkan harta gono gini, aku tak gentar Mas, lagipula anak anak juga punya hak.)(Anak-anakpun akan kuambil darimu, kau sudah sadar dan puas sekarang!)(Sungguh tak adil jika aku tak bisa dapatkan sesuatu untuk penebus jasa dalam belasan tahun bersamamu.)(Kalau begitu katakan berapa harga dari martabat itu, akan kubeli sekalian dengan kepalamu! Aku sudah jadi suami yang mengalah tapi kau
Selagi aku berteriak dengan kemarahanku, tiba tiba Mobil kantor Mas Hamdan datang, mobil itu berhenti tepat di depan rumah lantas Maura terlihat turun dari sana dengan kacamata hitam dan gamis mewah. .Wanita itu terlihat Borjuis dengan gaya yang sedikit angkuh khas orang kata. Penampilanya berbeda, lain sekali, lebih elegan dibanding ketika dia masih gadis dan jadi pembantu di rumah juragan Bono. Bahkan riasannya nampak bold dan jilbabnya juga mahal."Aku nyariin kamu, Mas," ucapnya sambil melepas kaca mata."Nyariin ngapain?""Kamu yang ngapain Sayang, ngapain di sini?" Ya Allah, pengungkapan kata sayang itu menyebalkan sekali. Maura seakan mengejekku dan ingin menunjukkan bahwa dirinya kini adalah kesayangan Mas Hamdan."Aku lagi ngambil perabotan buat rumah ruko kita, rumah ini punya perabotan berlebihan jadi aku berniat mengambil sebagian agar tidak terlalu sesak," gumamnya pada istrinya yang baru."Terlalu sesak katamu, alangkah lancangnya kau Mas Hamdan! Maura hentikan ia s
Melihat kemarahan yang begitu besar di mataku membuat kedua anakku terkejut dan langsung berlari ke arah Ibunya."Bunda kenapa ...?"Tiba-tiba langkah mereka terhenti menyaksikan senapan yang masih kupegang erat, kedua anakku saling pandang satu sama lain sambil menelan ludahnya.Prak!Kubuang senjata itu, kuedarkan pandanganku pada semua orang yang melihat, tetangga, pekerja yang masih sibuk menyusun barang dan anak-anak yang terlihat tegang.Melihat tatapan nyalang dan dingin di mata ini para tetangga menjadi ngeri, mereka segera bubar tanpa mengatakan apa-apa, pun para pekerja ditatap dengan raut sesangar itu semakin giat dan takutlah mereka."Bunda... kenapa pegang senjata?"Aku tidak menjawab, hanya memandang mereka bergantian lalu menghela napas dan masuk ke dalam tanpa sepatah kata pun.Mereka nampaknya paham aku sedang murka, jadi, tidak banyak yang mereka tanyakan. Kemarahanku sangat jarang, tapi bila kemurkaan itu terpatik, akan sulit meredakan dan membuat hati ini tenang d
"Hei, tidak ada sertifikat apapun yang akan kuberikan padanya sekali pun dia menyiksaku dengan siksaan pedih. Aku tak akan menyerahkan apa yang jadi hak kami!" teriakku kesal."Tapi itu pesan Mas Hamdan ....""Kamu pergi dari sini sebelum aku mencekik lehermu dan membenamkan kepalamu ke dalam kolam ikan sampai kau kehabisan napas!" desisku sambil menunjuk arah pintu."Jangan bikin masalah jadi alot dong, Mbak, kasih aja sih apa yang jadi keinginan Mas Hamdan, itu kan gak beliau juga.""Itu hak anak anak!""Biar Mas Hamdan yang membagikan jatah pada semua orang. Lagipula, jika saya juga punya anak, aku juga ingin anakku terjamin dan hidup mapan.""Ouh, jadi kau pengaruhi juga Hamdan tentang masalah itu!?""Tidak ....""Menjauh dari sini! sudah kuberikan apa yang kalian inginkan, jadi sekarang, biar harta gono gini jadi putusan pengadilan!""Tidak boleh begitu Mbak ....""Hentikan Maura, kau sudah datang berkali kali kemari dan aku menahan diri sampai hari untuk tidak memukulmu denga