Pukul dua malam, keadaan mas hamdan mulai membaik, dia yang tadinya sangat lemas kini sudah mulai bernafas dengan teratur dan tidur nyenyak. Buliran keringat sudah terlihat di wajahnya menandakan bahwa dia tidak menggigil lagi."Dia sudah mulai membaik Mbak?" Maura yang datang padaku dimana sejak tadi aku duduk disamping Mas Hamdan dan menungguinya."Iya, terlihat sudah agak lebih baik sudah tidak pucat lagi seperti tadi," jawabku."Alhamdulillah ..." Desah lirih gadis itu terdengar jelas."Mulai sekarang kamu harus lebih perhatian pada kesehatan Mas Hamdan, jangan teledor, Dia memiliki penyakit asam lambung di mana hal itu akan kumat ketika dia stres atau terlambat makan, jangan terlalu banyak menekan Mas Hamdan dan menimbulkan beban dalam pikirannya," ucapku tegas."Iya, Mba, aku paham.""Jangan hanya melayani di tempat tidur, kamu harus memikirkan dia dan mengutamakan kesehatannya," perintahku panjang lebar."Iya, Mbak.""Kamu sudah diambil sebagai istri, bersikap baiklah, berbak
Karena terus didesak mertua, akhirnya wanita itu tak punya pilihan lain, akhirnya dia terpaksa mengikuti diriku pulang naik motor. Sepanjang menyusuri lorong rumah sakit wanita itu terus cemberut, dia mencebik tanpa bicara apapun lagi, sedang aku merasa geli dan tertawa dalam hatiku.Sesampainya di lokasi parkir dia tetap mengikutiku ke mobil yang kuparkirkan di sebelah timur rumah sakit."Kamu boleh pulang naik grab," ujarku."Lho, tadi ayah bilang aku bisa ngikut sama Mbak Aisyah," ucapnya cemberut."Arah kita berbeda, silakan pulang sendiri.""Sebenarnya apa maksud Mbak? Mbak nyuruh saya pulang, tapi sesampainya di sini saya malah diusir sendirian," ujarnya dengan kesal."Aku melakukan itu agar kau tahu diri! Kau kuberi hati sedikit, tapi malah mau ambil jantung," jawabku ketus."Saya hanya minta tolong ....""Untuk urusan suamiku, aku akan lakukan apapun, termasuk berkendara sendiri di tengah malam. Berbeda denganmu yang memintaku untuk membawakan bajumu, beraninya kau ...." desis
Berdebar rasanya jantung ini berhadapan dengan dokter syaraf yang kini memegang hasil rontgen kepalaku. Dia nampak serius dengan lembaran hitam seperti klise photo tahun sembilan puluhan itu, lalu dokter berkacamata itu menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan maknannya."Bagaimana dok?""Hmm, memang kepalanya ada sedikit penyumbatan ventrikel dan pembengkakan otak, Bu, tapi ....""Apa maksudnya, Dok, seandainya saya biarkan sakit itu tanpa berobat, apa yang terjadi pada saya, Dok ...?" Aku segera menyela karena tak paham apa yang dikatakan dokter. "Banyak faktor penyebab yang telah membuat penyumbatan pada kepala ibu, tapi dengan mengonsumsi obat secara teratur saya berharap bahwa penyumbatan yang membuat darah yang mengandung oksigen ke otak bisa diencerkan sehingga semuanya bisa teratasi.""Bagaimana kalo tidak bisa diatasi, apa yang akan terjadi pada saya?""Ibu akan lumpuh atau stroke," balas dokter itu sambil tersenyum penuh keprihatinan.Sesaat aku terpana mendengarnya, d
Setelah mematikan panggilan dari Maura aku segera menghubungi Ira via wa. Mengabarinya tentang apa yang sedang terjadi padaku sebelum kata kata kotor dari bibir Maura mempengaruhi keluarga suamiku.(Ira, maaf Mbak gak bisa datang ke rumah sakit, karena hari ini Mbak ke dokter dan ternyata hasilnya Mbak sakit) begitu kirimku pada adik iparku, tidak lupa kukirimkan bukti kertas laporan medis ke chat pribadinya.(Lho, apa maksudnya Mbak, Mbak sakit apa?) Tidak lama kemudian jawaban Ira datang.(Seperti yang kamu baca, Mbak mengalami sakit kepala serius. Maaf, jadi kurang bisa memperhatikan Mas Hamdan.)(Iya, ga apa apa, Mbak, aku akan handel semuanya.)(Kalau gitu tolong dong, lihat Mas Hamdan, Maura berkali kali telepon aku dan marah kalo aku belum bawain bubur juga. Tolong dikondisikan ya Dek.)(Lho, kok gitu ...)(Aku gak tahu, yang pasti dia ngomelin aku karena gak bisa bawain makanan. Aku agak tersinggung sih Dek, seakan-akan aku kayak gak pernah ngurusin Mas Hamdan.)(Mbak istira
Mendengar ucapannya yang menusuk hatiku tentu saja perasaan ini menjadi sangat sedih, betapa sakitnya mencintai dirinya. Bak makan hati berulam jantung, dia yang kuharap akan menyambut datangku malah mendelik dan menunjukkan kebencian mendalamnya."Sa-saya sungguh sedang sakit kemarin, Mas....""Buktinya kamu masih bisa ke rumah sakit!""Itu karena saya ingin tahu apa sakitnya? Tidakkah kamu ingin tahu apa yang sakit yang saya derita?" Suaraku makin parau, sesak di dada kian menghimpit membuatku serasa tak mampu mengais udara."Sudahlah, Mas ... jangan diperpanjang," ucap Maura sambil mendekat dan mengelus dada Mas Hamdan.Mi itu terlihat ingin sekali mengambil perannya dia ingin mengambil alih suamiku dariku, ingin merampok hati Mas Hamdan dan menciptakan kebencian diantara kami berdua. Dia benar-benar memanfaatkan penyakit yang menyimpan aku dan suamiku untuk memisahkan kami."Maura ... harusnya sikap dan ucapan tidak menjadi duri dalam rumah tangga orang lain. Kau tahu dir
Kuputuskan untuk pulang lebih cepat, karena tak kuasa diri ini merasakan sakit dan geramnya aku pada sikap mereka. Pasangan gila itu.Terlebih pada Mas Hamdan yang kian hari kian mencederai arti pernikahan kami yang pernah kami ikrarkan dengan tulus dan penuh kesucian.Katanya dia akan setia padaku, meski Maura bersamanya. Dia akan utamakan diri ini sebagai istri pertama, di atas sagelanya. Tapi lihat buktinya, belum mendengar argumenku saja, dia sudah kasar dan marah marah. Sejujurnya aku sungguh tersinggung dengan sikap demikian melecehkan dan menyakitiku.Pertanyaannya, aku yang bodoh atau bagaimana? mengapa aku masih bertahan dengannya, apakah secinta itu aku pada Mas Hamdan?*Kukemudikan mobil dengan kecepatan tinggi bersamaan dengan hatiku yang remuk redam, aku berharap diri ini akan segera sampai ke rumah, lalu menumpahkan tangis dan kesedihan hati yang sudah membuncah. Mungkin aku selemah itu, tapi ini kenyataannya! Atas segala sakit dan luka yang dia berikan, mengap
Setelah melalui malam panjang yang penuh pertimbangan, setelah berpekan-pekan dalam pikiran panjang, kubulatkan tekad untuk membicarakan perihal perpisahanku dengan Mas Hamdan jika kita berjumpa lagi. Semakin hari, semakin bertahan, semakin sakit diri ini. Mencoba bertahan dalam pernikahan yang sudah seperti rimba onak yang menusuk. Meski aku cinta ... tapi yang dicinta semakin jauh.Wanita cantik itu sudah merebut suamiku dan segala perasaan yang dimiliki Mas Hamdan untuk kami. Bahkan kini anak-anak juga sudah jarang mendapatkan perhatiannya, di samping karena dia memang sakit.Sepanjang waktu yang tercurah darinya hanya untuk madu muda yang gemar mencari muka itu. Mas Hamdan hanya mendengarkan hanya ucapan Maura, pendapat wanita itu dan keinginannya, sementara harapan dan keinginan kami selalu diabaikan.*Kupanggil kedua anakku untuk berdiskusi bagaimanapun mereka punya hak untuk mengetahui apa yang terjadi pada orang tuanya."Reihan, Putri Zahra, datanglah kemarilah Bunda ingin
Mendengar teriakan penegasan dengan tatapan mata Mas Hamdan yang begitu sangar, hati ini seakan diremas-remas tidak karuan. Bola mata ini memanas dan cairan bening mulai menganak sungai ingin meleleh.Menatapku yang berdiri terpaku dengan bibir bergetar, Mas Ramdan hanya bisa menghela nafas sambil mengalihkan kembali perhatiannya ke layar televisi lantas mengeraskan volumenya dengan kencang."Kenapa kamu memaksaku Mas, di saat aku tak bahagia lagi denganmu, kenapa kita tidak saling melepaskan?""Waduh! kamu gak diri banget ya ... aku sudah kasih semua rumah, kebun dan mobil, juga fasilitas banyak, kamu masih mau minta cerai?""Aku gak tahan Mas!" Aku terpaksa berontak atas semua aturan yang dibuatnya sesuka hati."Kalo gitu, balikin semua aset yang kamu pegang!" Dia mengulurkan tangan, dengan tantangan di wajahnya."Kembalikan semua hal yang kau miliki, semua itu adalah hasil jerih payah dan keringatku siang malam. Kau hanya istri yang menunggu di rumah dan menikmati hasil," ungkapny
Mungkinkah sikap arogan Mas Irsyad ditengarai oleh kecemburuannya yang begitu besar kepada Hamdan atau mungkinkah karena dendamnya padaku karena sudah menyakiti Elsa, entahlah, aku tak tahu, yang jelas aku merasa sangat sakit dan tersinggung. Air mataku berurai pedih dan menyesal. "Andai aku tidak termakan kata kata manis dan bujukan sejak awal, mungkin aku tidak akan pernah menikahi pria busuk seperti Irsyad. Dia hanya baik di awal dan kejam di akhir, dia benar benar membalikkan persepsiku tentang perilaku dan sifatnya."Pagi menjelang, matahari menyapa, tapi aku enggan menatapnya. Diri ini masih terbaring di ranjang meski waktu sudah menunjukkan pukul tujuh."Kamu tidak bangun untuk menyiapkan sarapanku dan anak-anak?""Aku sedang tidak enak badan dan kalian bisa beli makanan di drive thru, anak anak akan senang," jawabku dari balik selimut."Aneh sekali sikapmu hari ini Aisyah," gumamnya."Memangnya aku tidak boleh sakit memangnya sesekali aku tidak boleh libur dari rutinitas rum
"Berani sekali istrimu memukulku, aku kesakitan Mas, aku kesakitan ...." Wanita itu meraung dan menjerit kesakitan sambil berusaha melindungi dirinya di belakang Mas Irsyad.Saat itu yang aku rasakan tidak ada lagi kewarasan, hanya sakit, panas hati dan amarah yang menggelegak. Saking tak tahannya aku dengan kekesalan, rasa-rasanya ubun-ubun ini ingin meleleh."Beraninya kau mengusik suamiku, menghapus ketentraman rumah tangga dan membuat hidupku tidak nyaman!" Aku melesat ke belakang Mas Irsyad, tanpa bisa dicegah aku langsung mencekik leher wanita itu sampai dia terdorong dan terdesak tepat di depan tangga rumah."To-tolong... Akh ... akkk ...." Wanita itu meronta "Aisyah, stop, ya Allah, Aish, please, lepasin Elsa." Mas Irsyad berusaha menengani tapi sia sia saja.Nafas wanita itu mulai sesak dan megap-megap, dia ingin mengatakan sesuatu tapi tidak bisa. Aku yang seakan dirasuki sebuah kekuatan besar terus menekan lehernya hingga nyaris saja wanita itu meregang nyawa dengan bola
Seminggu kami jalani hidup tanpa tegur sapa dan saling menjauhi. Lebih tepatnya aku yang menjaga jarak dan menjauhi Mas irsyad. Begitu dia mendekati, terlebih ketika di kamar, anak aku langsung bangun dan memasang jarak. Bukannya dia tak mencoba membujuk hanya saja aku yang menolak bujukannya.Seperti ketika suatu malam dia mendekat, mencoba memeluk dan menciumku dengan paksa seperti yang selama ini dia lakukan kala aku merajuk kecil. Sontak, aku berontak dan mendorongnya. Aku menghardik dengan kesal agar dia jangan memaksakan dirinya padaku."Aku bukan pelacur atau wanita yang bisa kau perkosa kapan pun. Enyahlah dari hadapanku.""Mengapa kau marah sekali, aish. Ini sudah hampir seminggu, gak takutkah kamu akan dosa menolak hasrat suami.""Kenapa tidak kau bagi saja hasrat itu kepada wanita yang masih kau cintai!" Tentu saja Mas Irsyad terkejut dan wajahnya langsung pucat. Pria itu mengigit bibir lalu bersurut mundur."Apa? Kenapa diam, Kenapa tidak kau temui mantan istrimu lalu ung
Seminggu kami jalani hidup tanpa tegur sapa dan saling menjauhi. Lebih tepatnya aku yang menjaga jarak dan menjauhi Mas irsyad. Begitu dia mendekati, terlebih ketika di kamar, anak aku langsung bangun dan memasang jarak. Bukannya dia tak mencoba membujuk hanya saja aku yang menolak bujukannya.Seperti ketika suatu malam dia mendekat, mencoba memeluk dan menciumku dengan paksa seperti yang selama ini dia lakukan kala aku merajuk kecil. Sontak, aku berontak dan mendorongnya. Aku menghardik dengan kesal agar dia jangan memaksakan dirinya padaku."Aku bukan pelacur atau wanita yang bisa kau perkosa kapan pun. Enyahlah dari hadapanku.""Mengapa kau marah sekali, aish. Ini sudah hampir seminggu, gak takutkah kamu akan dosa menolak hasrat suami.""Kenapa tidak kau bagi saja hasrat itu kepada wanita yang masih kau cintai!" Tentu saja Mas Irsyad terkejut dan wajahnya langsung pucat. Pria itu mengigit bibir lalu bersurut mundur."Apa? Kenapa diam, Kenapa tidak kau temui mantan istrimu lalu ung
Tak mau terus menyiksa batinku sendiri dengan terus menguping pembicaraan Mas Irsyad dan mantan istrinya akhirnya kuputuskan untuk turun saja mengambil air minum dan kembali ke kamar.Namun sebelum aku melanjutkan langkah, kembali perasaan marahku meronta-ronta. Haruskah aku melabrak dan meneriakinya, lalu mencecarnya dengan banyak pertanyaan mengapa dia berani sekali menelepon wanita lain di tengah malam dan memberinya kata-kata yang indah. Oh Tuhan, hatiku dilema.Ingin kutahan diri tapi rasa haus seakan menusuk tenggorokan sehingga aku tidak punya pilihan.Dengan gaun tidur yang masih menjuntai ke lantai, aku berjalan ke dapur. Melihatku tiba-tiba datang pria itu terkesiap dan kaget. Dengan salah tingkah dia segera mematikan ponsel dan menyembunyikan benda itu di bawah dudukannya. Tapi sayang, aku melihatnya.Aku yang pura-pura tidak tahu apa-apa hanya berjalan dengan cuek lalu mengambil gelas dan memencet dispenser lantas kuteguk air sambil berusaha menahan diriku."Kok belum tid
Hal yang baru saja dia katakan memantik sebuah keheranan di hatiku. Di satu sisi dia ingin aku membiarkannya untuk berhubungan baik dengan Elsa namun sebaliknya ketika aku dan Mas Hamdan berkomunikasi dan hendak menjalin hubungan baik lagi, dia seakan sangat keberatan dan benci."Mungkinkah suamiku adalah penganut pernikahan terbuka di mana dia bebas melakukan apa saja dengan dunia dan teman wanita, sementara aku akan terjerat dan harus mematuhi semua aturan yang dibuat. Bukankah itu tidak adil?!"Alangkah arogan dirinya ketika mengatakan bahwa aku tidak boleh turut serta dalam acara aqiqah yang diselenggarakan Mas Hamdan sementara dia terus malah padaku agar bisa menemui mantan istrinya dengan berbagai alasan kurasa jika aku sudah jengah sendiri dan bosan, dia akan kutinggalkan.Kadang timbul kesesakan tersendiri di dalam hatiku, keheranan entah mengapa aku selalu gagal menjalin tali pernikahan. Apakah aku memang harus ditakdirkan punya suami ajaib yang tidak pernah sesuai dengan
Mungkin aktivitas romantis yang kami lakukan semalam yang membuat moodku membaik di pagi hari. Aku bangun, menyibak tirai jendela membiarkan matahari menghangatkan setiap sisi ruangan rumah. Aku beranjak ke dapur untuk menjerang air dan membuat sarapan keluarga. Selagi menunggu air mendidih luperiksa ponsel yang Alhamdulillah tidak ada notifikasi apa apa. Ya, bagiku kehadiran notifikasi selalu membuat diri ini berdebar dan cemas. Selalu, setiap kali ada yang menghubungi pasti ada masalah atau apa saja yang berkemungkinan merepotkan diri ini."Ah, andai setiap hari hidup kita seperti ini, pasti akan menyenangkan sekali," gumamku sambil menakar bubuk kopi dan gula ke dalam cangkir suami."Bunda ...." Anak anak turun lebih pagi, mereka terlihat sudah rapi degan seragam dan sunggingan senyum yang ceria. "Bagaimana malam tadi, apa kalian tidur dengan nyenyak?""Tentu, kami tidur dengan nyaman dan pulas sekali, Icha tidur bersamaku dan kami sempat membaca buku cerita dan dongeng. Oh ya
"Tidak perlu harus sedramatis itu, Aish, wanita itu sudah demikian tersakiti," ujar Mas Irsyad sambil menutup pintu mobilnya."Jadi kau membelanya?""Bukan begitu?""Mas ... Kalau kamu memang merasa kasihan dan sayang pada wanita itu maka tinggalkan aku dan pilihlah dia, aku tidak akan keberatan sama sekali.""Aisyah, kamu hanya salah paham.""Cukup, jangan mengulur pembicaraan dan mengulang situasi yang sama. Situasi yang pernah aku rasakan bersama Mas Hamdan, aku sudah bosan, demi tuhan, aku ingin menghindarinya," jawabku sambil beranjak masuk ke dalam rumah."Bisa kita pura pura baik baik saja setidaknya di depan Icha, kasihan anakku, dia pasti bingung ....""Aku juga tidak mau membuat anakmu bingung tapi dia pun harus diberi pengertian dan harus tahu seperti ini kondisi orang tuanya sekarang, anak itu harus menyadarinya, Mas.""Jangan terkesan memaksa " Mas Irsyad memburuku di tangga."Lebih cepat tahu lebih baik. Anak anak harus diajari dari sekarang contoh bahwa kita tidak boleh
Akhirnya aku dan anak tiriku berkendara satu mobil menuju rumah ibunya. Aku sebenarnya punya rencana sendiri untuk membongkar apa yang sebenarnya terjadi. Besar keyakinanku bahwa wanita itu hanya pura pura amnesia untuk meraih perhatian semua orang.Sepuluh menit kemudian kami sampai di rumah bercat cream dengan taman kecil dan pohon palem di depannya. Elsa terlihat menunggu di depan teras, senyumannya terkembang saat melihat Fortuner milik Mas Irsyad. Meski tertatih namun semangat dan visual ceria terlihat sekali di wajahnya. Melihat ibunya mendekat, Aisyah membuka pintu dan menyambut, mereka berpelukan dan hendak masuk. Alangkah terkejut Elsa saat mendapati diri ini duduk di kursi depan di dekat mantan suaminya. Raut wajahnya berubah syok dan tidak nyaman."Hai, Elsa," sapaku sambil melambai kecil, bahagia sekali melihat wanita kesal."Siapa dia Mas?"Mas Irsyad nampak ragu, tapi aku yang tidak suka mengulur waktu segera memberi tahu bahwa aku istrinya. Biasanya reaksi orang yang