Gadis itu masih muda, umurnya masih 18 tahun, beda sedikit usianya nyaris sama dengan anak kami, Raihan. Malah jika disandingkan dengan putraku yang bertubuh tinggi, Maura terlihat seperti kakaknya.
Jadi, bagaimana bisa dia akan dijadikan istri suamiku yang umurnya nyaris empat puluh? bagaimana aku bisa menyetujui gagasan Mas Hamdan?"Lama-lama aku sungguh akan kehilangan kewarasan," gumamku sambil mengeluh pada Yang Kuasa.Sepanjang malam, kulabuhkan sujudku di atas sajadah, terus bertanya, memprotes mengapa Allah memberi naluri menaklukkan bagi pria. Mereka makhluk visual itu, sangat mudah dialihkan dengan sedikit kecantikan wajah dan kemolekan tubuh."Tidak adakah lelaki di dunia ini yang benar benar setia?" aduku pada Allah. Tanganku kuat mencengkeram sajadah.Gadis bernama Maura itu adalah anak Pak Yuandi, pengusaha beras yang kemudian mati kecelakaan. Dia tumbuh dibesarkan oleh neneknya yang tua, harta miliknya dikuasai pamannya membuat gadis bermata indah itu hidup dalam kekurangan, yang kutahu kemudian, dia dikirim ke pesantren sejak sang Nenek mangkat ke hadapan Sang Pencipta.Kemudian setelah lulus sekolah dia kembali ke kampung dan kini terjebak di rumah juragan Bono sebagai pembantu rumah tangga.Itulah sekelumit kisah hidupnya, kisah hidup yang membuatnya dikenal, ditambah dengan kecantikan serta suaranya yang merdu ketika melantunkan ayat Alquran, maka benarlah Maura disebut sebut sebagai bunganya desa ini.Dulu, kalau aku berpapasan dengannya, gadis itu selalu menunduk, dan menyapa dengan sapaan halus. Jujur, aku mengagumi kesabaran dan ketegarannya saat mau saja melayani juragan Bono dan istri mudanya yang bertabiat kasar.Lalu putra juragan Bono yang bernama Hilman, dia selalu mabuk-mabukan, konon kata tetangga yang mendengar, dia selalu melakukan kekerasan jika pembantu telat mengambilkan permintaannya. "Oh, sungguhb... mungkin itulah yang membuat suamiku merasa jatuh iba pada Maura, di samping ketertarikan fisiknya tadi." Aku membatin dalam diamku.Akan tetapi, bukankah gadis yang sangat mirip keturunan Pakistan itu punya banyak harta warisan yang dulu dirampas keluarganya yang serakah, apa Mas Hamdan juga merencanakan sesuatu dengan itu? Menikahinya lalu membantu Maura mendapatkan kembali haknya?"Ah, tidak, suamiku adalah pria yag taat pada agama, pantang baginya memakan sesuatu atau mendambakan barang yang tak layak jadi miliknya."Jadi, kesimpulannya, Mas Hamdan memang jatuh hati pada gadis muda itu."**Lama aku terduduk di atas sajadah, berzikir sembari menjernihkan pikiran liar yang mengoyak rasa kantuk. Semakin ditepis, bayangan Maura dan suamiku jadi pengantin semakin jelas di depan mata. Gadis pemalu itu seolah digendong Mas Hamdan ke kamar penuh bunga, dan mereka bercinta, membuatku terus menggelengkan kepala, menolak imajinasi jahat yang belum tentu terjadi itu."Aku masih punya waktu mencegah," gumamku sambil mengemas tasbih dan sejadah.Kutekadkan diri untuk menolak dan menyadarkan Mas Hamdan.*Kuraih gagang pintu kamar Raihan, putraku yang kini duduk di bangku kelas enam itu nampak masih belum tidur, padahal malam sudah larut"Kamu belum tidur, Nak?""Belum, masih mengatur tugas," balasnya."Apa tugas ujian akhir SD sangat berat?""Iya. Bund.""Bunda ingin tanya, apa kamu kenal dengan Maura?"Putraku mengernyitkan alis, dia memandangku dan beberapa saat ia terlihat mengerti apa yang ingin kuketahui."Iya, kenal dekat, tiap hari kami berjumpa dan kadang ayah mengantar kami ke sekolah bersama.""Maksudmu?""Mbak Maura sering diberi tumpangan dan diantar ke pasar oleh ayah.""Apa kamu tidak pernah curiga atau melihat gelagat aneh mereka." Sejujurnya menanyakan hal ini pada anak SD membuatku canggung."Mereka cuma bicara Bund. Ada apa?""Mohon maaf jika Bunda bertanya, bagaimana andai Maura menikah dengan ayah, apa kau setuju?"Putraku mengernyit lagi, dia menggeleng, menghela napas lalu merebahkan diri, menarik selimutnya sampai menutupi kepala dan menyuruhku pergi."Apa kau tahu sesuatu?" cecarku cepat."Aku ngantuk Bunda ....""Apa selama ini kau tahu sesuatu," ulangku dengan perasaan yang semakin sedih."Tidak."Sepertinya, iya! anakku memang tahu sesuatu tentang gadis muda itu dan ayahnya. Mungkin ada baiknya jika aku menemuinya besok dan bertanya.*Cahaya keemasan di ufuk timur membuatku tersentak, tak sadar bahwa kuhabiskan waktu sepanjang malam untuk duduk merenung dan berfikir. Aku tak tahu apa dampak panjang dari rencana poligami, tapi baru mendengar ungkapan keinginan Mas Hamdan saja aku sudah segelisah ini, bagaimana akhirnya jika nanti ...?"Selamat pagi," sapa suamiku yang baru keluar dari kamar. Dia nampak masih mengenakan baju kokoh dan terlihat habis salat subuh.Melihat wajahku sembab serta sendu sorot mataku membuatnya terdiam."Kalo kamu merasa tidak enak badan, aku yang akan membuatkan sarapan dan menyiapkan anak-anak.""Apa selama ini kau tak puas dengan layananku atau kau memang tak pernah bahagia, sehingga diam-diam menemui gadis itu dan kerap mengantarnya ke pasar?""Itu hanya kebetulan.""Lalu apa yang bukan kebetulan? Perasaanmu yang tumbuh subur bak teratai di kolam ikan?""Tolong jangan permalukan aku dengan kata kata sinis seperti itu," pintanya dengan nada rendah."Apa yang harus kulakukan untuk mencegahmu, apa yang harus kulakukan agar rumah tangga kita tak hancur. Aku putus asa Mas, aku hancur ..." Aku menangis lagi, dan lagi setiap kali berpapasan dan ingat keinginannya."Aku ingin menikah lagi bukan berarti, aku ingin menghancurkan rumah tangga kita.""Tapi kau akan melakukannya, Mas," jawabku dengan sedih, bahkan ketika anak-anak keluar dari kamar mereka aku masih tidak mampu membendung air mataku. Entah kenapa tak bisa kukumpulkan kembali puing-puing hati yang sudah retak dan berhamburan, aku hancur.Pagi ini, akan kutemui dia Mas," ucapku sambil bangun dan menuju ke dalam."Jangan Aisyah, kalau bisa kita temui dia bersama-sama. Aku belum mengutarakan perasaan sukaku, aku ingin kamulah yang menyampaikannya," kata Mas Hamdan dari ruang tamu. Langkahku langsung tertahan mendengar dia mengucapkan hal itu. Jika dulu aku tak pernah mencela suami, maka hari ini aku ingin menyebutnya semena-mena dan seenaknya. Apa iya, aku yang akan menemui gadis muda itu dan mengatakan jika mas Hamdan menyukainya lalu dengan manisnya memakaikan cincin?Oh ... apa dunia terbalik sekarang?!"Tolong lepaskan aku, Mas. Jika kamu mencintaiku dan menghargaiku sebagai seorang istri dan wanita yang pernah melahirkan anak anakmu tolong hargai perasaanku, aku sungguh telah tersiksa dengan luka semalam yang kau torehkan, Mas."Mendengarku menegaskan kalimat itu Mas Hamdan langsung terdiam, Dia terlihat tidak mau mendapatku lagi. Hanya mendengkus panjang dan menggeleng.* Satu jam kemudian,Suamiku yang masih ta
Menyaksikan Mas Hamdan memeluk wanita itu dengan penuh perhatian dan iba, hati ini menjadi semakin membara jadinya. Seakan lampunyang dituang minyak, hatiku berkobar tak terkendali.Betapa teganya dia terang-terangan menunjukan simpati dan cintanya. Gadis itu juga tahu sekali kapan harus bersikap manja dan cari muka."Mas maafkan, saya, saya ...." Wanita itu mulai menangis takut, membenamkan dadanya ke kemeja Mas Hamdan yang pagi tadi kusetrika."Tenang... ini bukan salahmu," bisik Mas Hamdan membelai pipinya yang kemerahan, wajah putih merona gadis itu menjadi semburat terkena panas mentari."Jadi salah siapa, salahmu yang tak mampu mengendalikan diri untuk jatuh cinta dan menggodanya?""Hentikan Aisyah! Kau sudah melukai perasaannya.""Lalu bagaimana hatiku?"Mas Hamdan terdiam, bibirnya seakan dikunci kebungkaman dan rasa malu, nampak jelas di raut wajahnya bahwa dia menyesali perbuatan barusan, dia nampak bingung menentukan harus bagaimana, berdiri di antara dua wanita membuatnya
Kucari dia, kususul Mas Hamdan dengan penampilan yag sudah berantakan. Tak mampu kukendalikan diri untuk menunda mencarinya, karena semakin lama aku buang waktu semakin leluasa mereka untuk.Mungkin warga desa heran melihat diriku yang lalu lalang dengan muka bingung. Bisa jadi mereka tidak habis pikir mengapa ketua Balai Perempuan di desanya terlihat amat bingung seakan kehilangan akal./ Nyatanya, rasa gemas yang mengaduk aduk dalam hatiku membuat diri ini kehilangan prioritas untuk memperbaiki penampilan.Kulewati rumah juragan Bono, dan seperti tebakanku, mobil Mas Hamdan ada di sana.Entah apa tujuannya suamiku sampai nekat menemui juragan bengis itu, yang pasti dia kehilangan pikiran dan sudah dibutakan cinta oleh gadis muda.Aku ingin masuk ke sana tapi aku kembali melirik bawa gamisku yang penuh dengan lumpur rasanya memalukan sekali memaksa masuk dalam keadaan kotor seperti ini. Sambil berjingkat-jingkat ingin memeriksa dan mencuri dengar kira kira Mas Hamdan sedang apa,
Aku kembali ke rumah bersama Mas Hamdan dengan mobil yang sama. Setelah kubuka pintu aku langsung melampiaskan kemarahan. Kujatuhkan semua foto dengan bingkai-bingkai cantik yang tertata di bufet dekor ruang tamu dengan emosi yang sudah tak terkendali."Kupikir kita sudah bahagia dan utuh sebagai keluarga yang tidak akan terpisahkan, namun kenyataannya hatimu terbagi dua!"Prang!"Katamu, Mas tak akan meninggalkan atau menduakan cintaku!"Prang!Mas Hamdan yang kaget melihat kemarahanku dan terpana melihat perabotan yang bergulir dipecahkan, langsung mendekat dan menangkap kedua tangan ini, dia berusaha merangkulku tapi aku sudah muak dengannya."Tenang Aisyah!""Bagaimana aku bisa tenang, bagaimana aku meredam gejolak emosi cemburu melihatmu melindungi wanita itu, aku merasa kecil, rendah dan dicampakkan oleh sikapmu, Mas.""Itu hanya sudut pandangmu, kau tak pernah tahu isi hatiku!""Kau sudah menunjukkannya. Kau sudah memperlihatkan padaku hatimu condong kemana! Kau bilang kau aka
Sejak aku mengutarakan semua keberatan itu suamiku tidak pernah lagi membahas tentang Maura dan keinginannya untuk menikah lagi. Kami menjadi dua orang asing yang berdiam di dalam perang dingin.Kami memang tinggal dalam satu atap namun rasa benci yang berkelindan di dalam hati sangat sulit dinetralkan hingga aku dan Mas Hamdan bisa kembali berhubungan normal seperti semula.Aku dan dia tidur di ranjang dan makan di meja yang sama, tapi tanpa bicara, kami lebih sering sibuk dengan pikiran masing-masing. Anakku yang bungsu tidak merasa terganggu tapi aku tahu bahwa kakaknya, Raihan, merasakan permusuhan tersebulung yang terjadi pada kami orang tuanya.Aku tidak hendak menyapanya dan dia pun terlihat sungkan untuk mengajakku bicara. Kami habiskan waktu hanya untuk mengerjakan kegiatan masing-masing, kadang saling memandang tapi itu hanya beberapa detik saja.Kutunggu permintaan maaf dan kata-kata yang biasa merayu membujukku agar aku bisa kembali tersenyum dan tenang, namun itu tida
Kian hari kian jauh aku dengannya, kebungkaman yang seolah membangun sebuah dinding pembatas di antara kami berdua. Belakangan teman-temannya juga menelpon untuk mengungkapkan protes bahwa kinerja kerja Mas Hamdan tidak lagi seperti dulu."Apa beliau sakit karena saya lihat setiap harinya lesu dan sedikit bicara," ucap salah seorang pekerja di tempat Mas Hamdan."Tidak juga, mungkin suami saya memang sedang banyak pikiran."Saya yakin beliau sakit, pekerjaannya banyak yang tertunda, sering terlihat bingung di meja kerja juga tubuhnya mulai kurus dan wajahnya pucat," sambung karyawan yang posisinya di bawah suamiku itu.Aku tahu persis bahwa sakit yang diderita Mas Hamdan adalah sakit rindu yang tidak tersampaikan dia terluka karena aku dan segenap anggota keluarganya menentang rencana poligaminya itu.Dia memang kehilangan berat badan karena jarang makan dan selalu termenung sedih, kadang melihatnya membuatku kesal, aku gemas dan ingin sekali berteriak agar dia sadar dan berhenti t
Aku bawa anakku ke Puskesmas terdekat dan langsung ditangani oleh tim medis.Tubuhnya yang sudah dingin dan gemetar membuatku panik dan takut, dan bukannya apa ... bisa saja hal-hal yang tidak diinginkan terjadi karena Putri sudah berjam-jam terkena hujan dan cuaca dingin."Nak, Bunda sudah bawa kamu ke puskesmas, sekarang dokter akan memberi obat dan kita akan ganti pakaianmu," ucapku sambil menggenggam tangannya dengan tanganku yang gemetar cemas. Aku tetap bersaha tegar menyalin pakaian anakku dengan selimut hangat yang diberikan perawat."Maafkan saya sekali lagi, Bu. Saya sungguh mengira bahwa dia pulang bersama teman-temannya dan sudah dijemput ayahnya," ucap gurunya dengan raut bersalah."Itu bukan salahnya, Bu guru," jawabku tersenyum tipis. Meski aku coba menenangkan diri tapi perasaanku masih saja galau dan takut.Kucoba meraih ponsel tapi ternyata benda itu mati karena terkena air dan habis batrainya. Hendak menghubungi Mas Hamdan dari ponsel Guru Putri tapi wanita itu juga
Sepanjang malam aku tak mampu memejamkan mata, pikiran dalam benakku saling tumpang tindih, bertumpuk tidak karuan. Tekanan di kepalaku menghimpit antara cemas dengan keadaan putri dan memikirkan suami yang kini tidur lelap dalam selimut tebalnya."Bisa-bisanya dia tak datang untuk melihat keadaan kami, tega-teganya dia tidak datang kemari lantaran berlindung dibalik rasa malu padaku, dasar pria bejat!" Aku meninju dinding di mana aku bersandar. Kupandangi anakku yang tertidur pulas, juga detak jam dinding yang bergulir lambat, rasanya tak sabar menunggu esok, mengeluarkan putri dari rumah sakit dan pulang melampiaskan kemarahanku pada ayahnya yang tak peka."Ah, ya Allah, andai bisa, tolong berikan aku ketenagan pikiran, keluasan hati dan keikhlasan agar aku tak gelisah seperti ini," gumamku dalam hati. Aku tak tahu cara membuat hati ini berhenti berdebar selain mengucapkan istighfar."Bund ...." Tiba tiba anakku tersadar."Iya, Nak ...?" kuhampiri dia di tempat tidurnya lalu mem