Kucari dia, kususul Mas Hamdan dengan penampilan yag sudah berantakan. Tak mampu kukendalikan diri untuk menunda mencarinya, karena semakin lama aku buang waktu semakin leluasa mereka untuk.
Mungkin warga desa heran melihat diriku yang lalu lalang dengan muka bingung. Bisa jadi mereka tidak habis pikir mengapa ketua Balai Perempuan di desanya terlihat amat bingung seakan kehilangan akal./ Nyatanya, rasa gemas yang mengaduk aduk dalam hatiku membuat diri ini kehilangan prioritas untuk memperbaiki penampilan.Kulewati rumah juragan Bono, dan seperti tebakanku, mobil Mas Hamdan ada di sana.Entah apa tujuannya suamiku sampai nekat menemui juragan bengis itu, yang pasti dia kehilangan pikiran dan sudah dibutakan cinta oleh gadis muda.Aku ingin masuk ke sana tapi aku kembali melirik bawa gamisku yang penuh dengan lumpur rasanya memalukan sekali memaksa masuk dalam keadaan kotor seperti ini. Sambil berjingkat-jingkat ingin memeriksa dan mencuri dengar kira kira Mas Hamdan sedang apa, aku berusaha menghindari beberapa orang pekerja yang tengah sibuk di halaman rumahnya. Aku bersembunyi di belakang mobil dan menyelinap lewat garasi untuk mencari Mas Hamdan.Ternyata mereka tengah berbicara dengan serius di depan meja kerja pria tamak yang selalu menghisap rokoknya dengan pipa."Apa maksudmu, menyukai pembantuku?"tanya pria kasar itu degan tatapan curiga pada Mas Hamdan."Saya menyukainya dan ingin menikahinya. Sudi kiranya Juragan memberi izin agar saya bisa membawanya pergi," ucap suamiku dengan mantapnya.Kupikir dia tak akan seserius itu, tapi ternyata dia membuktikannya."Hehehe, bawa pergi kemana, dia pekerja di sini, hutangnya masih banyak padaku!" tolak pria itu sambil menggebrak meja. Gadis penakut yang terlihat seakan memiliki Rasa trauma pada pria bejat itu, langsung gemetar dan berdiri di belakang Mas Hamdan."Sa-saya, takut Mas. Ji-jika beliau menolak, Mas pergi saja, nanti jadi masalah!""Kamu adalah pekerja bukan budaknya! Kalau kamu punya utang maka saya akan membayarnya kita akan pergi dengan tenang kecuali jika kamu masih punya urusan yang tertinggal," teehadi suamiku yang terlihat tidak ragu sedikitpun. Mungkin benar, rasa iba yang bergejolak membuatnya kehilangan logika dia bingung membedakan antara simpati dan cinta karena sudah terlalu dalam tersesat dalam jebakan mata indah milik Maura.Kini Mas Hamdan tidak peduli istri dan anak. Dia menjadikan Maura sebagai tujuan hidupnya."Oh, kamu mau bayar hutang dia dan keluarganya.""Tentu, kamu dan keluarganya adalah orang-orang yang sama-sama tamak dan mendholimi orang lain. Tidak pantas rasanya kau memperbudak wanita Ini sementara keluarganya mengambil upah dan dia tidak mencicipi apa-apa dari hasil keringatnya. Mereka menjual Maura dan kau memerasnya!" rahang suamiku terlihat mengetik menahan buncahan emosinya. Aku tahu persis ciri kemarahannya seperti apa."Maaf, membayar hutangnya, membebaskannya, menikahinya dan membawanya pulang lalu menjadikan aku budak kalian?!" Aku langsung menyela diantara percakapan dua pria itu.Juragan Bono yang terus mengepulkan asap dari pipa langsung tertawa sinis melihat kedatanganku. Dia memicingkan mata dengan jijik dan seolah memberi penilaian liar, melihat penampilanku yang berantakan dengan wajah sembab."Apa sudah terjadi perang dunia?" ucapnya sinis.Mas Hamdan membalikkan badan dan menggeleng ke arahku."Sampai kapanpun aku tidak setuju dipoligami! Jika kau bawa wanita itu maka aku dengan anak-anak akan pergi. Silakan pilih aku atau ... dia!" tegasku di hadapan semua orang yang kini mengalihkan perhatiannya kepada kami."Tunggu dulu ... kalau kalian punya masalah keluarga, silahkan selesaikan di rumah kalian! ini adalah rumahku dan para pekerja sedang sibuk dengan tugas mereka, aku tidak mau mereka teralihkan dan terganggu karena drama cinta segitiga kalian. Maura, pergi kerjakan tugasmu," perintah juragan itu dengan tegas.Wanita yang berdiri di belakang Mas Hamdan masih gemetar, mencicit ketakutan bak tikus yang tersiram air panas."Maura, kembalilah ke dapur!" teriak juragan itu. Karena tak punya pilihan pelakor muda itu langsung beranjak dengan air mata berlinang. Mas Hamdan yang masih nekat tak mau kalah, dia menahan lengan Maura dan memberi isyarat agar wanita itu menolak dan ikut dengannya."Aku gak bisa Mas. Istrimu tak menerimaku, aku juga masih punya banyak hutang di rumah ini jadi aku tidak bisa kemana-mana," jawabnya dengan suara nyaris tak terdengar."Hei, kamu! mengapa dari sekian banyak lelaki di desa hari ini, kenapa kamu harus menjerat suamiku, kenapa kamu mau bertemu dengannya dan mencurahkan segala beban hidupmu. Apa karena tahu dia berhati lembut dan penyayang, sehingga kau menjebaknya dalam jaring-jaring cintamu?""Cukup Aisyah jangan menghinanya!" teriak Mas Hamdan dengan lantang."Jika dia wanita bermartabat, maka dia tidak akan mau berhubungan dengan suami orang! Nyatanya, pelakor bau kencur ini memang pandai membidik pria kaya.""Cukup Mbak, jangan hina saya, saya memang miskin dan lemah, tapi saya tak serendah itu. Saya memang susah tapi tidak sampai menjual harga diri. Saya memang mengakui tak sengaja dekat dan merasa nyaman padanya ....""Nyaman katamu!?"Kutampar wanita itu hingga kerudungnya berantakan dan bibirnya berdarah, Maura nyaris terjatuh andai Mas Hamdan tidak memegang kedua bahu."Lancang sekali kau bilang nyaman dengan ayah kedua anakku!"Wanita itu meringis, dipegangnya yang mulai menunjukkan lebam bekas pukulan, air matanya makin deras membasahi pipi."Saya sayang Mas Hamdan, juga anak-anaknya, saya sungguh tidak punya maksud menyakiti Mbak Aisyah," ucapnya di sela tangisan."Lalu apa yang kau tebak akan terjadi jika kau merebut suamiku, datang ke rumahku sebagai pengantin, dan berpura-pura jadi ibu sambung yang baik? Kau pikir aku akan melempar bunga ke udara dan merayakan kehadiranmu"Tiba-tiba para pekerja yang melihat langsung menyoraki dan tertawa, menertawai penuturan Gadis itu yang terdengar konyol.Mungkin karena tidak kuasa mendengar penghinaan atas dirinya, Maura langsung berlari dan menangis sejadi-jadinya ke bagian dalam rumah juragan Bono. Mas Hamdan dan ingin menyusul kekasihnya langsung ditahan lengannya oleh dua orang anak buah juragan itu, sambil menggelengkan kepala dan menegaskan bahwa itu bukanlah rumahnya.Aku kembali ke rumah bersama Mas Hamdan dengan mobil yang sama. Setelah kubuka pintu aku langsung melampiaskan kemarahan. Kujatuhkan semua foto dengan bingkai-bingkai cantik yang tertata di bufet dekor ruang tamu dengan emosi yang sudah tak terkendali."Kupikir kita sudah bahagia dan utuh sebagai keluarga yang tidak akan terpisahkan, namun kenyataannya hatimu terbagi dua!"Prang!"Katamu, Mas tak akan meninggalkan atau menduakan cintaku!"Prang!Mas Hamdan yang kaget melihat kemarahanku dan terpana melihat perabotan yang bergulir dipecahkan, langsung mendekat dan menangkap kedua tangan ini, dia berusaha merangkulku tapi aku sudah muak dengannya."Tenang Aisyah!""Bagaimana aku bisa tenang, bagaimana aku meredam gejolak emosi cemburu melihatmu melindungi wanita itu, aku merasa kecil, rendah dan dicampakkan oleh sikapmu, Mas.""Itu hanya sudut pandangmu, kau tak pernah tahu isi hatiku!""Kau sudah menunjukkannya. Kau sudah memperlihatkan padaku hatimu condong kemana! Kau bilang kau aka
Sejak aku mengutarakan semua keberatan itu suamiku tidak pernah lagi membahas tentang Maura dan keinginannya untuk menikah lagi. Kami menjadi dua orang asing yang berdiam di dalam perang dingin.Kami memang tinggal dalam satu atap namun rasa benci yang berkelindan di dalam hati sangat sulit dinetralkan hingga aku dan Mas Hamdan bisa kembali berhubungan normal seperti semula.Aku dan dia tidur di ranjang dan makan di meja yang sama, tapi tanpa bicara, kami lebih sering sibuk dengan pikiran masing-masing. Anakku yang bungsu tidak merasa terganggu tapi aku tahu bahwa kakaknya, Raihan, merasakan permusuhan tersebulung yang terjadi pada kami orang tuanya.Aku tidak hendak menyapanya dan dia pun terlihat sungkan untuk mengajakku bicara. Kami habiskan waktu hanya untuk mengerjakan kegiatan masing-masing, kadang saling memandang tapi itu hanya beberapa detik saja.Kutunggu permintaan maaf dan kata-kata yang biasa merayu membujukku agar aku bisa kembali tersenyum dan tenang, namun itu tida
Kian hari kian jauh aku dengannya, kebungkaman yang seolah membangun sebuah dinding pembatas di antara kami berdua. Belakangan teman-temannya juga menelpon untuk mengungkapkan protes bahwa kinerja kerja Mas Hamdan tidak lagi seperti dulu."Apa beliau sakit karena saya lihat setiap harinya lesu dan sedikit bicara," ucap salah seorang pekerja di tempat Mas Hamdan."Tidak juga, mungkin suami saya memang sedang banyak pikiran."Saya yakin beliau sakit, pekerjaannya banyak yang tertunda, sering terlihat bingung di meja kerja juga tubuhnya mulai kurus dan wajahnya pucat," sambung karyawan yang posisinya di bawah suamiku itu.Aku tahu persis bahwa sakit yang diderita Mas Hamdan adalah sakit rindu yang tidak tersampaikan dia terluka karena aku dan segenap anggota keluarganya menentang rencana poligaminya itu.Dia memang kehilangan berat badan karena jarang makan dan selalu termenung sedih, kadang melihatnya membuatku kesal, aku gemas dan ingin sekali berteriak agar dia sadar dan berhenti t
Aku bawa anakku ke Puskesmas terdekat dan langsung ditangani oleh tim medis.Tubuhnya yang sudah dingin dan gemetar membuatku panik dan takut, dan bukannya apa ... bisa saja hal-hal yang tidak diinginkan terjadi karena Putri sudah berjam-jam terkena hujan dan cuaca dingin."Nak, Bunda sudah bawa kamu ke puskesmas, sekarang dokter akan memberi obat dan kita akan ganti pakaianmu," ucapku sambil menggenggam tangannya dengan tanganku yang gemetar cemas. Aku tetap bersaha tegar menyalin pakaian anakku dengan selimut hangat yang diberikan perawat."Maafkan saya sekali lagi, Bu. Saya sungguh mengira bahwa dia pulang bersama teman-temannya dan sudah dijemput ayahnya," ucap gurunya dengan raut bersalah."Itu bukan salahnya, Bu guru," jawabku tersenyum tipis. Meski aku coba menenangkan diri tapi perasaanku masih saja galau dan takut.Kucoba meraih ponsel tapi ternyata benda itu mati karena terkena air dan habis batrainya. Hendak menghubungi Mas Hamdan dari ponsel Guru Putri tapi wanita itu juga
Sepanjang malam aku tak mampu memejamkan mata, pikiran dalam benakku saling tumpang tindih, bertumpuk tidak karuan. Tekanan di kepalaku menghimpit antara cemas dengan keadaan putri dan memikirkan suami yang kini tidur lelap dalam selimut tebalnya."Bisa-bisanya dia tak datang untuk melihat keadaan kami, tega-teganya dia tidak datang kemari lantaran berlindung dibalik rasa malu padaku, dasar pria bejat!" Aku meninju dinding di mana aku bersandar. Kupandangi anakku yang tertidur pulas, juga detak jam dinding yang bergulir lambat, rasanya tak sabar menunggu esok, mengeluarkan putri dari rumah sakit dan pulang melampiaskan kemarahanku pada ayahnya yang tak peka."Ah, ya Allah, andai bisa, tolong berikan aku ketenagan pikiran, keluasan hati dan keikhlasan agar aku tak gelisah seperti ini," gumamku dalam hati. Aku tak tahu cara membuat hati ini berhenti berdebar selain mengucapkan istighfar."Bund ...." Tiba tiba anakku tersadar."Iya, Nak ...?" kuhampiri dia di tempat tidurnya lalu mem
Setelah percakapan semalam keesokan harinya suamiku menggigil demam. Entah apa yang telah terjadi padanya tapi dia jatuh sakit wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar.Ketika ku bangunkan dia tidak menjawabku hanya rintihan pelan yang terucap dari bibirnya bahwa dia kesakitan.Aku heran padahal kemarin akulah yang berjibaku dengan hujan lebat, beberapa saat menunggui Putri dengan baju basah, tapi tidak terjadi apa-apa. Tapi kenapa dengannya."Kamu kenapa?" tanyaku Yang penasaran dengan keadaannya."A-aku sakit, dingin, a-ambilkan selimut," pintanya merintih.Aku hanya mendengkus mendengarnya, kesal sekaligus iba, bagaimana pun dia suamiku, tapi aku kecewa padanya. Kuraih selimut bulu dari dalam lemari lalu meletakkan benda itu menutupi tubuhnya. "Di saat seperti ini, istrilah yang paling berguna, kamu tidak bisa pergi ke tempat kekasihmu dan meminta dia memelukmu," rutukku dengan kesal."Ma-maaf, Aisyah.""Hah, maaf lagi," gumamku sambil menjauh." ... jangan sekeluarga sakit, aku suda
"Tidak, meski aku terlihat egois dan kejam, berbagi suami adalah pilihan yang tak sanggup kulakukan, berilah aku hukuman lain, tapi jangan menuntutku untuk menyerahkan Mas Hamdan pada Maura."Kuhampiri ibu mertua lalu bersimpuh di hadapannya, aku menangis, memohon pengertian agar wanita itu tidak merestui keinginan anaknya."Saya sudah lama bersamanya, inikah balasan untuk semua pengabdian saya, haruskah sepahit ini, Bu?""Aku tidak setuju, tapi aku juga mempedulikan kesehatan anakku, bagaimana jika setelah ini sakitnya semakin parah?""Aku akan merawatnya dengan baik, aku berjanji bahwa dia akan pulih dan melupakan impiannya," jawabku bersungguh-sungguh."Jika kau sanggup, aku tak bisa mencegahnya, biarlah ayah mertuamu yang akan bicara pada Hamdan," jawab Ibu."Terima kasih," balasku lirih.Setelah kedua mertua dan ayahku pamit, kini tinggal aku dan Ibu yang duduk berhadapan dan membisu di ruang tamu.Mas Hamdan Mash tertidur, juga anak anak sudah berada di kamar mereka masing-
"Tolong jelaskan padaku, jelaskan dengan kata-kata yang kira-kira tidak akan membuatku berteriak marah!" ucapku dengan urat leher yang sudah menegang.Sekuat tenaga kutahan dorongan untuk tidak memukul orang. Bayangkan dia menghianatiku membelikan wanita itu sebuah kalung emas sementara gaji pekerja tidak dibayarkannya, dia mengabaikan kami dan lupa segalanya."Aku minta maaf," ucapnya sambil menelan ludah."Baiklah, aku menerima permintaan maafmu, tapi tolong katakan, kau kemanakan uang untuk gaji pekerja, aku yakin jika kau berani memberikan wanita itu perhiasan, kurasa kamu juga punya cadangan untuk aku, anak-anak dan juga para buruh tani.""Maafkan aku," ucapnya lemah. Andai tak sakit akan kubotaki kepalanya."Apakah permintaan maaf itu artinya kau mengakui semua perbuatanmu dan membenarkan bahwa kamu sudah tidak punya uang lagi?!""Aku memang lalai .....""Baik, terima kasih, akan kutahan emosiku, aku akan ambil wudhu, salat Dhuha dan meminta agar Allah mencabut nyawamu!" ter