Aku kembali ke rumah bersama Mas Hamdan dengan mobil yang sama. Setelah kubuka pintu aku langsung melampiaskan kemarahan. Kujatuhkan semua foto dengan bingkai-bingkai cantik yang tertata di bufet dekor ruang tamu dengan emosi yang sudah tak terkendali.
"Kupikir kita sudah bahagia dan utuh sebagai keluarga yang tidak akan terpisahkan, namun kenyataannya hatimu terbagi dua!"Prang!"Katamu, Mas tak akan meninggalkan atau menduakan cintaku!"Prang!Mas Hamdan yang kaget melihat kemarahanku dan terpana melihat perabotan yang bergulir dipecahkan, langsung mendekat dan menangkap kedua tangan ini, dia berusaha merangkulku tapi aku sudah muak dengannya."Tenang Aisyah!""Bagaimana aku bisa tenang, bagaimana aku meredam gejolak emosi cemburu melihatmu melindungi wanita itu, aku merasa kecil, rendah dan dicampakkan oleh sikapmu, Mas.""Itu hanya sudut pandangmu, kau tak pernah tahu isi hatiku!""Kau sudah menunjukkannya. Kau sudah memperlihatkan padaku hatimu condong kemana! Kau bilang kau akan Adil, itu mustahil!" jawabku berapi-api."Aku janji untuk memuliakan istriku, aku janji akan menjadi suami yang baik. Asal kau merestui hatiku makin kuat jadi milikmu Aisyah!""Cukup! Jangan melempar omong kosong! Simpan saja puisimu untuk wanita itu. Kau sudah menikam jantung dan mencabik hatiku, Mas. Kau sudah meruntuhkan kepercayaan dan cinta ini," jawabku sambil menangis."Mari duduk dan tenangkan dirimu," ujarnya sambil menguncang bahuku."Tidak, maaf, aku mau pergi saja.""Aku mohon, Aisyah, aku mohon, hanya kamu yang kumiliki," pintanya sambil menjatuhkan diri dan memegang lututku."Jika kau tahu hanya aku yang kau miliki, lalu kenapa kau ingin menjauhkanku darimu?!" teriakku."Aku hanya .... Maaf, Aisyah... Maafkan aku, kupikir aku bisa melelehkan hatimu dengan permintaan itu. Kupikir aku bisa melakukan pendekatan dan meyakinkan bahwa tidak ada yang berubah setelah itu.""Ya Allah ...." Lututku gemetar dan aku langsung terjatuh di ke atas sofa dengan pandangan mata terbelalak."Dengar Aisyah Aku tidak mau terjebak dalam hubungan gelap di mana istriku tidak mengetahui apapun tentang perasaan yang kupendam. Aku ingin jujur agar kau menerimanya. Aku jatuh cinta pada gadis itu, sungguh," ucapnya dengan pandangan mata tegas padaku, aku tahu, dia tidak sedang bercanda dengan ungkapannya. Dia serius."Aku keberatan Mas, itu yang coba kusampaikan. Jika kau berbagi hati maka akan ada hati yang selalu merasa sedih. Bayangkan kau ingin menyatukan kami, coba kita bertukar posisi, sanggupkah kamu melihatku bermesraan dengan pria lain di dalam rumah ini, sementara kita akan bersama selamanya, kau sanggup?"Pria itu terdiam, tak sanggup menjawab, bibirnya mengatup rapat dan pandangan matanya menunduk ke bawah. Dari bola mata hitam pekat itu, aku bisa melihat gumpalan lelehan bening yang siap meluncur. Aku tak tahu emosi apa yang sedang ia gambarkan, entah sadar dengan kata-kataku atau sedih karena memikirkan kekasih hatinya tak bisa ia rengkuh dalam pelukan. Yang pasti aku hanya mengutarakan ketegasan, bahwa aku menolak tegas poligami."Jadi, kau sama sekali tak mau memberiku kesempatan? Kenapa kita tidak coba saja dan kalau tidak cocok maka aku akan meninggalkannya?"tanyanya setelah mengusap air mata."Mas Hamdan pikir aku bodoh? Kurasa Mas tidak senaif itu! kurasa kamu paham betul bahwa pernikahan bukanlah hal yang bisa dipermainkan. Setelah bahagia dengan pengantin barumu, jika aku tak suka, kau akan menceraikannya? Kupikir itu tak akan terjadi karena daun muda lebih renyah dibanding daun kering," jawabku menggeleng tegas."Aku akan berusaha bersikap bijak, tak condong pada satu cinta." Karena tak tahan dengan segala ungkapan permintaan yang tak tahu kapan ujungnya akhirnya aku memutuskan untuk mengambil ketegasan."Bukan tentang cinta saja Mas. Uang, perhatian dan waktu juga harus dibagi rata. Sikapmu juga tak bisa berbeda, Dan ya, tentang uang .. belakangan kebutuhan keluarga kita melonjak, anak-anak yang punya banyak kegiatan dan bimbingan belajar. Biaya sehari-hari, belum lagi cicilan, uang saku dan tabungan. Jika kemarin-kemarin aku berusaha untuk berhemat dan mencukupi pengeluaran dari nafkah yang kau berikan, maka sekarang aku harus bagaimana? Jika uang itu pas-pasan bahkan kurang untuk keluarga kita, bagaimana itu akan dibagi dua, haruskah kami makan sekali sehari agar gajimu cukup dimakan sebulan?!""Hah?!" Suamiku melongo, entah baru sadar bahwa selama ini aku prihatin dan mengencangkan ikat pinggang demi cicilan mobil impiannya, atau bagaimana? Aku tak tahu.Yang pasti ucapanku langsung membuat Mas Hamdan mendongak terkejut, dia yang tadinya memelas dengan segala harapannya tentang cinta seakan ditampari dengan pukulan menyakitkan."Jadi, pikirkanlah! bukan siksa batin saja yang akan kau berikan pada kami semua, tapi derita diatas segala derita.". Aku langsung bangkit dari tempat duduk dan beralih ke dalam kamar, kuturunkan cover dari atas lemari dan mengisinya dengan pakaian pakaian serta barang berharga milikku.Dia yang tahu gelagat istrinya berniat pergi langsung mendekat dan merebut pakaian itu dari tanganku."Apa yang kau lakukan?""Aku akan pergi, akan kubawa serta anak-anak bersamaku!""Tidak bisa!""Kenapa tidak? melihat penyiksaan sudah di pelupuk mata mengapa aku harus bertahan seperti orang bodoh? hidupku sangat berharga Mas, Aku tidak akan membuang sedeti pun hanya untuk menyaksikan kau melukaiku!""Ini bisa dibicarakan baik-baik ...." Dia terus mengejarku yang berada di kamar anak-anak dan mengisi koper dengan pakaian mereka."Kalau begitu katakan dengan tega, kau pilih aku atau Maura! katakan!" bentakku dngan nada tinggi, tak peduli tetangga dengar atau tidak, yang jelas wajahku panas menahan murka."Ini tak bisa ....""Kenapa tak bisa ... atau, kau memang pilih dia kan?""Tidak, aku mencintaimu!""Kalau begitu perdebatan usai. Kau tidak akan menemui gadis itu dan kita akan bahagia lagi seperti dulu. Mungkin berita bahwa kau menyukai wanita muda akan tersebar di seluruh desa ini dan membuat dirimu dicibir, tapi seiring berjalannya waktu semua kisah itu akan terlupakan. Lupakan dia dan aku juga akan melupakan bahwa peristiwa hari ini tak pernah terjadi."Seketika saja suamiku langsung lemas dan melungsur terduduk ke lantai, dia terguncang bungkam, sedang tubuhnya merapat ke dinding.jSejak aku mengutarakan semua keberatan itu suamiku tidak pernah lagi membahas tentang Maura dan keinginannya untuk menikah lagi. Kami menjadi dua orang asing yang berdiam di dalam perang dingin.Kami memang tinggal dalam satu atap namun rasa benci yang berkelindan di dalam hati sangat sulit dinetralkan hingga aku dan Mas Hamdan bisa kembali berhubungan normal seperti semula.Aku dan dia tidur di ranjang dan makan di meja yang sama, tapi tanpa bicara, kami lebih sering sibuk dengan pikiran masing-masing. Anakku yang bungsu tidak merasa terganggu tapi aku tahu bahwa kakaknya, Raihan, merasakan permusuhan tersebulung yang terjadi pada kami orang tuanya.Aku tidak hendak menyapanya dan dia pun terlihat sungkan untuk mengajakku bicara. Kami habiskan waktu hanya untuk mengerjakan kegiatan masing-masing, kadang saling memandang tapi itu hanya beberapa detik saja.Kutunggu permintaan maaf dan kata-kata yang biasa merayu membujukku agar aku bisa kembali tersenyum dan tenang, namun itu tida
Kian hari kian jauh aku dengannya, kebungkaman yang seolah membangun sebuah dinding pembatas di antara kami berdua. Belakangan teman-temannya juga menelpon untuk mengungkapkan protes bahwa kinerja kerja Mas Hamdan tidak lagi seperti dulu."Apa beliau sakit karena saya lihat setiap harinya lesu dan sedikit bicara," ucap salah seorang pekerja di tempat Mas Hamdan."Tidak juga, mungkin suami saya memang sedang banyak pikiran."Saya yakin beliau sakit, pekerjaannya banyak yang tertunda, sering terlihat bingung di meja kerja juga tubuhnya mulai kurus dan wajahnya pucat," sambung karyawan yang posisinya di bawah suamiku itu.Aku tahu persis bahwa sakit yang diderita Mas Hamdan adalah sakit rindu yang tidak tersampaikan dia terluka karena aku dan segenap anggota keluarganya menentang rencana poligaminya itu.Dia memang kehilangan berat badan karena jarang makan dan selalu termenung sedih, kadang melihatnya membuatku kesal, aku gemas dan ingin sekali berteriak agar dia sadar dan berhenti t
Aku bawa anakku ke Puskesmas terdekat dan langsung ditangani oleh tim medis.Tubuhnya yang sudah dingin dan gemetar membuatku panik dan takut, dan bukannya apa ... bisa saja hal-hal yang tidak diinginkan terjadi karena Putri sudah berjam-jam terkena hujan dan cuaca dingin."Nak, Bunda sudah bawa kamu ke puskesmas, sekarang dokter akan memberi obat dan kita akan ganti pakaianmu," ucapku sambil menggenggam tangannya dengan tanganku yang gemetar cemas. Aku tetap bersaha tegar menyalin pakaian anakku dengan selimut hangat yang diberikan perawat."Maafkan saya sekali lagi, Bu. Saya sungguh mengira bahwa dia pulang bersama teman-temannya dan sudah dijemput ayahnya," ucap gurunya dengan raut bersalah."Itu bukan salahnya, Bu guru," jawabku tersenyum tipis. Meski aku coba menenangkan diri tapi perasaanku masih saja galau dan takut.Kucoba meraih ponsel tapi ternyata benda itu mati karena terkena air dan habis batrainya. Hendak menghubungi Mas Hamdan dari ponsel Guru Putri tapi wanita itu juga
Sepanjang malam aku tak mampu memejamkan mata, pikiran dalam benakku saling tumpang tindih, bertumpuk tidak karuan. Tekanan di kepalaku menghimpit antara cemas dengan keadaan putri dan memikirkan suami yang kini tidur lelap dalam selimut tebalnya."Bisa-bisanya dia tak datang untuk melihat keadaan kami, tega-teganya dia tidak datang kemari lantaran berlindung dibalik rasa malu padaku, dasar pria bejat!" Aku meninju dinding di mana aku bersandar. Kupandangi anakku yang tertidur pulas, juga detak jam dinding yang bergulir lambat, rasanya tak sabar menunggu esok, mengeluarkan putri dari rumah sakit dan pulang melampiaskan kemarahanku pada ayahnya yang tak peka."Ah, ya Allah, andai bisa, tolong berikan aku ketenagan pikiran, keluasan hati dan keikhlasan agar aku tak gelisah seperti ini," gumamku dalam hati. Aku tak tahu cara membuat hati ini berhenti berdebar selain mengucapkan istighfar."Bund ...." Tiba tiba anakku tersadar."Iya, Nak ...?" kuhampiri dia di tempat tidurnya lalu mem
Setelah percakapan semalam keesokan harinya suamiku menggigil demam. Entah apa yang telah terjadi padanya tapi dia jatuh sakit wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar.Ketika ku bangunkan dia tidak menjawabku hanya rintihan pelan yang terucap dari bibirnya bahwa dia kesakitan.Aku heran padahal kemarin akulah yang berjibaku dengan hujan lebat, beberapa saat menunggui Putri dengan baju basah, tapi tidak terjadi apa-apa. Tapi kenapa dengannya."Kamu kenapa?" tanyaku Yang penasaran dengan keadaannya."A-aku sakit, dingin, a-ambilkan selimut," pintanya merintih.Aku hanya mendengkus mendengarnya, kesal sekaligus iba, bagaimana pun dia suamiku, tapi aku kecewa padanya. Kuraih selimut bulu dari dalam lemari lalu meletakkan benda itu menutupi tubuhnya. "Di saat seperti ini, istrilah yang paling berguna, kamu tidak bisa pergi ke tempat kekasihmu dan meminta dia memelukmu," rutukku dengan kesal."Ma-maaf, Aisyah.""Hah, maaf lagi," gumamku sambil menjauh." ... jangan sekeluarga sakit, aku suda
"Tidak, meski aku terlihat egois dan kejam, berbagi suami adalah pilihan yang tak sanggup kulakukan, berilah aku hukuman lain, tapi jangan menuntutku untuk menyerahkan Mas Hamdan pada Maura."Kuhampiri ibu mertua lalu bersimpuh di hadapannya, aku menangis, memohon pengertian agar wanita itu tidak merestui keinginan anaknya."Saya sudah lama bersamanya, inikah balasan untuk semua pengabdian saya, haruskah sepahit ini, Bu?""Aku tidak setuju, tapi aku juga mempedulikan kesehatan anakku, bagaimana jika setelah ini sakitnya semakin parah?""Aku akan merawatnya dengan baik, aku berjanji bahwa dia akan pulih dan melupakan impiannya," jawabku bersungguh-sungguh."Jika kau sanggup, aku tak bisa mencegahnya, biarlah ayah mertuamu yang akan bicara pada Hamdan," jawab Ibu."Terima kasih," balasku lirih.Setelah kedua mertua dan ayahku pamit, kini tinggal aku dan Ibu yang duduk berhadapan dan membisu di ruang tamu.Mas Hamdan Mash tertidur, juga anak anak sudah berada di kamar mereka masing-
"Tolong jelaskan padaku, jelaskan dengan kata-kata yang kira-kira tidak akan membuatku berteriak marah!" ucapku dengan urat leher yang sudah menegang.Sekuat tenaga kutahan dorongan untuk tidak memukul orang. Bayangkan dia menghianatiku membelikan wanita itu sebuah kalung emas sementara gaji pekerja tidak dibayarkannya, dia mengabaikan kami dan lupa segalanya."Aku minta maaf," ucapnya sambil menelan ludah."Baiklah, aku menerima permintaan maafmu, tapi tolong katakan, kau kemanakan uang untuk gaji pekerja, aku yakin jika kau berani memberikan wanita itu perhiasan, kurasa kamu juga punya cadangan untuk aku, anak-anak dan juga para buruh tani.""Maafkan aku," ucapnya lemah. Andai tak sakit akan kubotaki kepalanya."Apakah permintaan maaf itu artinya kau mengakui semua perbuatanmu dan membenarkan bahwa kamu sudah tidak punya uang lagi?!""Aku memang lalai .....""Baik, terima kasih, akan kutahan emosiku, aku akan ambil wudhu, salat Dhuha dan meminta agar Allah mencabut nyawamu!" ter
Pada akhirnya, luka dan sakit yang terakumulasi di hati menimbulkan rasa bosan, muak dan lelah. Rasanya, tak percaya hati ini mengapa sampai Mas Hamdan rela menukar nyawa demi cinta. Sampai sakit dan tidak bertenaga karena merindukan kekasihnya.Dibanding aku terus terus makan hati berulang jantung, lebih baik, aku menyerah pada keinginan terbodohnya. "Ibu, aku ingin menyerah," ucapku pada Ibu di rumahnya."Menyerah bagaimana?""Membiarkan dia menikah.""Bolehkan saja dia menikah, tapi rumah dan semua aset harus jadi milikmu. Juga sebagian besar gaji Hamdan," ucap ibu dengan tatapan lurus ke depan."Sungguhkah ibu tidak peduli dengan perasaanku?" tanyaku sedih."Kesedihan Ibu melebihi dari apa yang kau bayangkan, tapi Ibu berusaha tegar agar kau juga bisa berpikir luas dan realistis. Membawa emosi pergi jauh dengan luka hati tanpa memikirkan masa depan dan kelanjutan hidup bukanlah jalan yang bijak Aisyah," ucap ibu meraih tanganku dengan lembutnya."Jadi, aku harus bagaimana Bu.""