Kian hari kian jauh aku dengannya, kebungkaman yang seolah membangun sebuah dinding pembatas di antara kami berdua. Belakangan teman-temannya juga menelpon untuk mengungkapkan protes bahwa kinerja kerja Mas Hamdan tidak lagi seperti dulu."Apa beliau sakit karena saya lihat setiap harinya lesu dan sedikit bicara," ucap salah seorang pekerja di tempat Mas Hamdan."Tidak juga, mungkin suami saya memang sedang banyak pikiran."Saya yakin beliau sakit, pekerjaannya banyak yang tertunda, sering terlihat bingung di meja kerja juga tubuhnya mulai kurus dan wajahnya pucat," sambung karyawan yang posisinya di bawah suamiku itu.Aku tahu persis bahwa sakit yang diderita Mas Hamdan adalah sakit rindu yang tidak tersampaikan dia terluka karena aku dan segenap anggota keluarganya menentang rencana poligaminya itu.Dia memang kehilangan berat badan karena jarang makan dan selalu termenung sedih, kadang melihatnya membuatku kesal, aku gemas dan ingin sekali berteriak agar dia sadar dan berhenti t
Aku bawa anakku ke Puskesmas terdekat dan langsung ditangani oleh tim medis.Tubuhnya yang sudah dingin dan gemetar membuatku panik dan takut, dan bukannya apa ... bisa saja hal-hal yang tidak diinginkan terjadi karena Putri sudah berjam-jam terkena hujan dan cuaca dingin."Nak, Bunda sudah bawa kamu ke puskesmas, sekarang dokter akan memberi obat dan kita akan ganti pakaianmu," ucapku sambil menggenggam tangannya dengan tanganku yang gemetar cemas. Aku tetap bersaha tegar menyalin pakaian anakku dengan selimut hangat yang diberikan perawat."Maafkan saya sekali lagi, Bu. Saya sungguh mengira bahwa dia pulang bersama teman-temannya dan sudah dijemput ayahnya," ucap gurunya dengan raut bersalah."Itu bukan salahnya, Bu guru," jawabku tersenyum tipis. Meski aku coba menenangkan diri tapi perasaanku masih saja galau dan takut.Kucoba meraih ponsel tapi ternyata benda itu mati karena terkena air dan habis batrainya. Hendak menghubungi Mas Hamdan dari ponsel Guru Putri tapi wanita itu juga
Sepanjang malam aku tak mampu memejamkan mata, pikiran dalam benakku saling tumpang tindih, bertumpuk tidak karuan. Tekanan di kepalaku menghimpit antara cemas dengan keadaan putri dan memikirkan suami yang kini tidur lelap dalam selimut tebalnya."Bisa-bisanya dia tak datang untuk melihat keadaan kami, tega-teganya dia tidak datang kemari lantaran berlindung dibalik rasa malu padaku, dasar pria bejat!" Aku meninju dinding di mana aku bersandar. Kupandangi anakku yang tertidur pulas, juga detak jam dinding yang bergulir lambat, rasanya tak sabar menunggu esok, mengeluarkan putri dari rumah sakit dan pulang melampiaskan kemarahanku pada ayahnya yang tak peka."Ah, ya Allah, andai bisa, tolong berikan aku ketenagan pikiran, keluasan hati dan keikhlasan agar aku tak gelisah seperti ini," gumamku dalam hati. Aku tak tahu cara membuat hati ini berhenti berdebar selain mengucapkan istighfar."Bund ...." Tiba tiba anakku tersadar."Iya, Nak ...?" kuhampiri dia di tempat tidurnya lalu mem
Setelah percakapan semalam keesokan harinya suamiku menggigil demam. Entah apa yang telah terjadi padanya tapi dia jatuh sakit wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar.Ketika ku bangunkan dia tidak menjawabku hanya rintihan pelan yang terucap dari bibirnya bahwa dia kesakitan.Aku heran padahal kemarin akulah yang berjibaku dengan hujan lebat, beberapa saat menunggui Putri dengan baju basah, tapi tidak terjadi apa-apa. Tapi kenapa dengannya."Kamu kenapa?" tanyaku Yang penasaran dengan keadaannya."A-aku sakit, dingin, a-ambilkan selimut," pintanya merintih.Aku hanya mendengkus mendengarnya, kesal sekaligus iba, bagaimana pun dia suamiku, tapi aku kecewa padanya. Kuraih selimut bulu dari dalam lemari lalu meletakkan benda itu menutupi tubuhnya. "Di saat seperti ini, istrilah yang paling berguna, kamu tidak bisa pergi ke tempat kekasihmu dan meminta dia memelukmu," rutukku dengan kesal."Ma-maaf, Aisyah.""Hah, maaf lagi," gumamku sambil menjauh." ... jangan sekeluarga sakit, aku suda
"Tidak, meski aku terlihat egois dan kejam, berbagi suami adalah pilihan yang tak sanggup kulakukan, berilah aku hukuman lain, tapi jangan menuntutku untuk menyerahkan Mas Hamdan pada Maura."Kuhampiri ibu mertua lalu bersimpuh di hadapannya, aku menangis, memohon pengertian agar wanita itu tidak merestui keinginan anaknya."Saya sudah lama bersamanya, inikah balasan untuk semua pengabdian saya, haruskah sepahit ini, Bu?""Aku tidak setuju, tapi aku juga mempedulikan kesehatan anakku, bagaimana jika setelah ini sakitnya semakin parah?""Aku akan merawatnya dengan baik, aku berjanji bahwa dia akan pulih dan melupakan impiannya," jawabku bersungguh-sungguh."Jika kau sanggup, aku tak bisa mencegahnya, biarlah ayah mertuamu yang akan bicara pada Hamdan," jawab Ibu."Terima kasih," balasku lirih.Setelah kedua mertua dan ayahku pamit, kini tinggal aku dan Ibu yang duduk berhadapan dan membisu di ruang tamu.Mas Hamdan Mash tertidur, juga anak anak sudah berada di kamar mereka masing-
"Tolong jelaskan padaku, jelaskan dengan kata-kata yang kira-kira tidak akan membuatku berteriak marah!" ucapku dengan urat leher yang sudah menegang.Sekuat tenaga kutahan dorongan untuk tidak memukul orang. Bayangkan dia menghianatiku membelikan wanita itu sebuah kalung emas sementara gaji pekerja tidak dibayarkannya, dia mengabaikan kami dan lupa segalanya."Aku minta maaf," ucapnya sambil menelan ludah."Baiklah, aku menerima permintaan maafmu, tapi tolong katakan, kau kemanakan uang untuk gaji pekerja, aku yakin jika kau berani memberikan wanita itu perhiasan, kurasa kamu juga punya cadangan untuk aku, anak-anak dan juga para buruh tani.""Maafkan aku," ucapnya lemah. Andai tak sakit akan kubotaki kepalanya."Apakah permintaan maaf itu artinya kau mengakui semua perbuatanmu dan membenarkan bahwa kamu sudah tidak punya uang lagi?!""Aku memang lalai .....""Baik, terima kasih, akan kutahan emosiku, aku akan ambil wudhu, salat Dhuha dan meminta agar Allah mencabut nyawamu!" ter
Pada akhirnya, luka dan sakit yang terakumulasi di hati menimbulkan rasa bosan, muak dan lelah. Rasanya, tak percaya hati ini mengapa sampai Mas Hamdan rela menukar nyawa demi cinta. Sampai sakit dan tidak bertenaga karena merindukan kekasihnya.Dibanding aku terus terus makan hati berulang jantung, lebih baik, aku menyerah pada keinginan terbodohnya. "Ibu, aku ingin menyerah," ucapku pada Ibu di rumahnya."Menyerah bagaimana?""Membiarkan dia menikah.""Bolehkan saja dia menikah, tapi rumah dan semua aset harus jadi milikmu. Juga sebagian besar gaji Hamdan," ucap ibu dengan tatapan lurus ke depan."Sungguhkah ibu tidak peduli dengan perasaanku?" tanyaku sedih."Kesedihan Ibu melebihi dari apa yang kau bayangkan, tapi Ibu berusaha tegar agar kau juga bisa berpikir luas dan realistis. Membawa emosi pergi jauh dengan luka hati tanpa memikirkan masa depan dan kelanjutan hidup bukanlah jalan yang bijak Aisyah," ucap ibu meraih tanganku dengan lembutnya."Jadi, aku harus bagaimana Bu.""
"Tidak, aku tak akan membiarkan itu terjadi," ucapnya lirih dengan maksud mencegah konflik antara aku dan Maura.Lucu sekali mendengar bahwa ia melarangku pergi, sementara di sisi lain dia berusaha menandingi aku dengan wanita lain. Agak menggelikan mengetahui bahwa dia ingin berpaling tapi tetap serakah ingin memiliki diri ini. Di bagian yang mana aku akan bahagia."Kamu pikir bahwa aku akan membiarkan Maura menguasai di rumah ini? Aku belum begitu bodohnya, Mas. Tapi di satu sisi kadang lelah atas sikapmu mengajak diri ini untuk pasrah. Sekarang kamu sudah mendapatkan keinginanmu, kamu bisa menikahinya kapan saja," jawabku sambil menyusun pakaian dengan cepat."Jika itu amat menyiksamu ... aku tak akan melakukannya," ucapnya mencekal lenganku, tatapannya dalam seolah mengisyaratkan bahwa dia memang akan membatalkan niat jika aku tak setuju."Sudah cukup, lakukan saja apa maumu!" Kututup koper lalu meletakkannya di sudut ruangan, kurebahkan diri di kasur dan mematikan lampu, men