"Tidak, aku tak akan membiarkan itu terjadi," ucapnya lirih dengan maksud mencegah konflik antara aku dan Maura.Lucu sekali mendengar bahwa ia melarangku pergi, sementara di sisi lain dia berusaha menandingi aku dengan wanita lain. Agak menggelikan mengetahui bahwa dia ingin berpaling tapi tetap serakah ingin memiliki diri ini. Di bagian yang mana aku akan bahagia."Kamu pikir bahwa aku akan membiarkan Maura menguasai di rumah ini? Aku belum begitu bodohnya, Mas. Tapi di satu sisi kadang lelah atas sikapmu mengajak diri ini untuk pasrah. Sekarang kamu sudah mendapatkan keinginanmu, kamu bisa menikahinya kapan saja," jawabku sambil menyusun pakaian dengan cepat."Jika itu amat menyiksamu ... aku tak akan melakukannya," ucapnya mencekal lenganku, tatapannya dalam seolah mengisyaratkan bahwa dia memang akan membatalkan niat jika aku tak setuju."Sudah cukup, lakukan saja apa maumu!" Kututup koper lalu meletakkannya di sudut ruangan, kurebahkan diri di kasur dan mematikan lampu, men
Dua hari berikutnya,Sejak aku mengucapkan izin untuk Mas Hamdan, di hari itulah semua anggota keluarganya bergerak cepat menyiapkan acara.*Tak banyak yang kulakukan pagi ini, Pagi menjelang pernikahan Mas Hamdan dan wanita pujaannya. Hanya menyiapkan sarapan untuk anak, lalu masuk ke kamar, berdiri di sisi jendela, menatap langit desa yang masih setia dengan mendungnya.Tak mau larut, tapi jujur saja, hatiku mulai hampa. Dulu ada ruang tersendiri yang kusimpan untuk Mas Hamdan di hati, tapi sekarang, ruang itu sudah kosong dirampok wanita lain.Air mataku jatuh, bersama dengan titik titik hujan yang masih tersisa sejak semalam.Ira, adik Mas Hamdan terdengar memanggil kedua keponakannnya untuk sarapan dan bersiap ke tempat acara, rumah ibu mertua.Kata anakku, di sana suasana dibuat meriah dengan dekorasi yang cantik. Ditambah kemarin malam adalah malam luluran Maura, semua orang datang, mereka meramaikan dan terpukau menyaksikan betapa cantiknya calon pengantin wanita.Tok ...
Kulangkahkan kaki dengan perasaan hancur luluh. Kutinggalkan tenda pernikahan suamiku dengan istri barunya sembari menguatkan batin bahwa, dunia tak berakhir tanpa kehadirannya.Kuusap sisa air mata yang menyuramkan wajahku, lalu kuambil motor, menghidupkan mesin dan bersiap pergi."Lho, Mbak Aisyah, Mbak gak mau masuk?" Tiba-tiba seseorang menyapa aku dari belakang dia adalah kerabat jauh mas Hamdan yang kebetulan datang untuk menghadiri pesta itu. Wanita cantik itu menghampiri dan menyalamiku dengan senyum ramahnya."Kok gak masuk?" Dia memperhatikan penampilan ku dari atas ke bawah masih dengan gamis rumahan dan jilbab biasa."Aku hanya ingin melihat dan memastikan bahwa acaranya berjalan lancar," jawabku sembari menyembunyikan kesedihan dan sisa air mata."Kamu kuat sekali Mbak, aku salut," ucapnya mengatakan itu sambil meraih tanganku. Dipandangnya mata ini sambil menggenggam kedua tanganku, wanita itu masih menyunggingkan senyum manisnya."Sabar ya, Mbak, semuanya akan baik-bai
Hujan menderu di pagi ini, tetesannya riuh rendah di atas rumah, cuaca kelabu dan angin lembab membawa kerinduan dan menimbulkan kesuraman tersendiri di hati ini. Dinginnya angin merebak, menusuk sampai ke tulang, aku menggigil di balik selimut, tubuhku demam. Air mataku tumpah merindukan seseorang, dia yang dulu penuh perhatian dan cintanya akan bertambah-tambah jika keadaanku sedang lemah.Rupanya tubuh ini menggigil bukan karena demam, tapi karena luka semalam.Luka yang ditorehkan Mas Hamdan."Mas Hamdan! YA ALLAH ...." Aku berteriak di antara sedu sedan hujan yang menangis bersamamu. Namun sayang, tidak ada yang mendengar peduli atau datang memelukku.Kubayangkan di belahan lain, di sudut desa sana, suamiku masih berpelukan hangat dengan istri barunya. Tubuh mereka menempel satu sama lain tanpa halangan sehelai benang pun. Mereka bertukar kehangatan, berciuman mesra lalu berpagutan dengan gelora asmara. Mereka akan bercinta mesra di pagi yang syahdu ini, mengulangi apa yang
Pria yang kuteriaki langsung terbangun, terkesiap sembari mengumpulkan ruh dan kesadarannya. Dia mengucak mata, lamat lamat menyaksikan diriku di depannya. "Mas Hamdan, Mas melalaikan salat subuh hanya karena menikmati percintaan dengan wanita ini?"Suamiku hanya melongo saja mendengar aku bertemu memarahinya. Si wanita terkejut malu lalu menutupi dirinya dengan selimut, canggung sekali."Mbak, rasanya gak perlu gitu deh, gak enak sama mertua, beliau sekarang adalah suami saya," ucap wanita itu mendekatiku sambil tetap memegang selimut di dadanya.Plak!Kutampari wanita itu sampai dia terkejut, Mas Hamdan kaget dan mengulurkan tangannya tapi tak tergapai."Sebagai istri, harusnya kamu mengajak suami kearah kebaikan, mengingatkan ke jalan yang benar. Mas Hamdan menikahimu karena dia ingin menyempurnakan agama dan melindungi dari orang-orang yang ingin menghinakanmu! Mengapa kamu tidak membangunkannya?"Aku memang terkesan membuat buat drama, tapi biarkan saja. Aku ingin mereka jadi p
Tahukah kamu bila seseorang membuat dosa besar, dan menunjukkan rasa bersalah dan penyesalan, sebaiknya jangan mudah memberikan mereka maaf. Biarkan waktu berjalan, jaga 'image' tetap elegan, agar mereka bisa lebih banyak belajar untuk berusaha mengambil hati dan memperoleh pengampunan. Biar mereka menyadari bahwa nilai dari kata maaf itu tidak semudah dengan pengucapannya. Ya, 'maaf' satu kata dengan sejuta makna. Sekali hati tersakiti lalu berdarah karena luka, maka akan sulit menyembuhkan. Kalaupun sembuh maka, tidak akan semudah itu untuk menghilangkan bekasnya. Itu yang sedang kualami saat ini.Setelah selesai membantu semua orang, memastikan bahwa rumah orang yang sudah kuanggap seperti ayah dan ibu sendiri rapi kembali, aku segera mengambil jeda untuk beristirahat dan duduk di meja makan. Selagi aku sedang duduk dan meneguk airku, tiba-tiba Maura masuk ke dapur, mengambil piring, dia tidak menyadari kehadiranku di meja makan karena terus menunduk. Gadis itu membuka lemari m
Siang hari aku kembali dari rumah mertua, ku buka pintu kalau mengedarkan pandanganku pada rumah yang memiliki banyak jendela kaca dan desain interior kayu klasih yang dibuat sehangat mungkin. Ada sofa besar, karpet bulu di ruang keluarga sebuah perapian dan TV besar melengkapi suasana kami membangun kebahagiaan keluarga.Kututup kembali pintu, suaranya menggema, memantul ke dinding merefleksikan suasana yang memiliki sensasi ketakutan tersendiri. Semuanya sepi dan kesepian itu terasa menusuk di dalam dada ini. Pukul 12 lewat dua puluh siang anak-anak belum kembali dari sekolah mereka, jadi kuputuskan untuk pergi berwudhu dan membentangkan sajadah menunaikan salat zuhur.Selepas salat, banyak kuucapkan istigfar dan doa memohon pengampunan atas sikapku pagi tadi pada dua pasangan pengantin baru yang berbahagia.Sebenarnya dari lubuk hati terdalam aku bukanlah tipe wanita kejam dan suka cari masalah seperti tadi, tapi tidak tahu mengapa, hati ini tergerak untuk membalaskan dendam d
Mungkin karena merasa tidak ada yang perlu dibahas lagi, daripada hanya duduk dalam diam dan saling memandang, akhirnya mereka memutuskan pergi."Kalau begitu kami pulang, ya, Aisyah?"pamit Mas Hamdan kepadaku."Ya ... silakan. Tapi dengar Mas jangan lupa pembagian waktu yang akan kau habiskan bersamaku dan dengannya. Mungkin aku harus mengambil jatah empat hari karena kita harus membimbing anak dan menghabiskan waktu dengan mereka. Tapi karena kau pengantin baru yang harus bulan madu ... aku akan memaklumi kau ingin tinggal lebih lama dengan Maura. Pergilah, keberadaan kalian di sini juga membuatku risih," ungkapku.Mas Hamdan mengangguk dan mengajak istri barunya menjauh dariku, mereka berjalan beriringan menuju pintu sambil saling menggenggam tangan. Melihat kemesraan itu aku hanya bisa tertawa sinis,"Hah, mau keluar saja bergandengan, berlebihan sekali," gumamku.Mungkin benar aku iri, tapi perasaan yang dominan lebih kepada jijik."Saya tidak mengira, bahwa Mbak Aisyah a