Menyaksikan Mas Hamdan memeluk wanita itu dengan penuh perhatian dan iba, hati ini menjadi semakin membara jadinya. Seakan lampunyang dituang minyak, hatiku berkobar tak terkendali.
Betapa teganya dia terang-terangan menunjukan simpati dan cintanya. Gadis itu juga tahu sekali kapan harus bersikap manja dan cari muka."Mas maafkan, saya, saya ...." Wanita itu mulai menangis takut, membenamkan dadanya ke kemeja Mas Hamdan yang pagi tadi kusetrika."Tenang... ini bukan salahmu," bisik Mas Hamdan membelai pipinya yang kemerahan, wajah putih merona gadis itu menjadi semburat terkena panas mentari."Jadi salah siapa, salahmu yang tak mampu mengendalikan diri untuk jatuh cinta dan menggodanya?""Hentikan Aisyah! Kau sudah melukai perasaannya.""Lalu bagaimana hatiku?"Mas Hamdan terdiam, bibirnya seakan dikunci kebungkaman dan rasa malu, nampak jelas di raut wajahnya bahwa dia menyesali perbuatan barusan, dia nampak bingung menentukan harus bagaimana, berdiri di antara dua wanita membuatnya serba salah."Jika memang itu keputusanmu, ceraikan aku, dan tinggalkan anak anak bersamaku aku tak Sudi membiarkan mereka melihat kemesraan kalian!" Aku langsung mengusap air mata dan menyusuri aspal kasar untuk melanjutkan perjalanan ke pasar. Kulewati kebun penduduk dan tebing yang ditumbuhi pohon rindang dengan jiwa remuk redam, air mataku terus mengalir seolah tak bisa dihentikan. Hancur hati ini sehancur-hancurnya.Aku merutuk sambil berteriak dalam hatiku, aku tahu, bahwa lama lagi mobil Pajero suamiku akan melewati diri ini terbayang olehku bagaimana acuhnya mereka ketika berpapasan denganku, terbayang bagaimana beritanya batin ini menyaksikan mereka yang seakan jadi keluarga bahagia. Oh bukankah Maura sudah dekat dengan anak anak, berarti tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan atau mereka akan butuh proses pendekatan.Mas Hamdan telah menyiapkan wanita itu dan segala strateginya untuk memenangkan keinginannya itu, apa pun caranya. Mengalahkanku, menekan dan membuatku seakan tidak punya pilihan itulah kecerdikan Mas Hamdan. Ditambah juga dia permalukan aku di depan wanita itu, lengkap sudah derita yang dia berikan.Dari kejauhan lama-lamat kudengarkan suara motor mendekat. Siapapun yang lewat mereka pasti heran mengapa seorang wanita membawa keranjang dan berjalan kaki sementara penampilannya tidak seperti petani.Memang di musim hujan seperti ini jalanan becek dan berlumpur membuat laju kendaraan melambat. Sebenarnya untuk menuju ke pasar dan sekolah anak-anak agak jauh karena jaraknya tiga kilometer dari rumah, tapi karena Kami punya mobil yang cukup tangguh jadi semua gangguan itu seakan tidak berpengaruh pada suamiku.Dan ya, jangan lupakan dia punya penyemangat setiap hari, yaitu gadis pemalu berwajah merona dengan keranjang rotan di tangannya.Andai tidak berdosa inginku sayat sayat wajah yang pura-pura lugu itu atau jika tidak ingin berbuat kriminal akan ku santet dia sehingga penyakit gatal akan mampir ke tubuhnya dan membuatnya tersiksa, borok lalu busuk hingga dia malu tinggal di pemukiman dan lari ke pegunungan.Ah, tapi aku wanita taat, aku juga akan mencoreng ibadahku dengan semua kebencian itu. Hamdan adalah pria dia adalah suami cukup mapan dan dihormati tidak ada yang menghalangi pria itu untuk berpoligami, slime hanya aku wanita yang tidak berdaya ingin selalu memiliki dia seutuhnya.**Tidak lama kemudian motor itu mendekat, rupanya itu adalah Karman tetanggaku yang profesinya seorang tukang ojek. Dia terlihat membawa Raihan dan adiknya,. mengantar mereka ke madrasah ibtidaiyah yang letaknya ada di kecamatan."Permisi Mbak, kenapa jalan kaki?""Tidak ada," jawabku sambil menyembunyikan wajah, mencoba tidak menunjukkan bahwa aku baru saja selesai menangis."Baru saja Mas Hamdan menelpon saya dan meminta saya untuk mengantar anak-anak ke sekolah mereka," jawab Karman sambil mengangguk penuh hormat padaku."Mas Hamdannya kemana?""Memutar balik mobilnya dan saya tadi lihat ada seorang gadis di jok depan bersama beliau."Mendengar pemberitahuan Karman tentu saja perasaan marahku semakin meronta-ronta. Aku yang tadinya ingin menetralisir panas hati langsung murka dan membalikan badan kembali ke desa."Loh Mbak, nggak jadi ke pasar? Kenapa gak sekalian sama saya?""Tidak jadi, aku harus menyusul Mas Hamdan," jawabku tanpa mengentikan langkah, berjibaku dengan lumpur yang kemudian menahan kakiku hingga ke lutut, mengotori gamis dan membuatku makin kesal saja."Memangnya yang tadi bersama dia, bukan Mbak Dira adiknya Mas Hamdan?""Bukan, itu adalah Maura, pembantu juragan Bono, calon maduku!"Sengaja aku tegaskan demikian agar dia tidak lagi bertanya. Aku juga sudah muak menyembunyikan."Ah, sungguhkah ...?" Tetangga yang sudah kuanggap seperti saudara sendiri itu langsung terkesiap dan tidak tahu harus berkata apa-apa lagi.Entah ke mana Mas Hamdan membawa gadis itu, tapi lihat, betapa pentingnya dia untuk tidak jadi mengantarku ke pasar dan anak-anak, hanya demi bisa mengantarkan wanita itu ke rumah majikannya.Apakah sekarang posisi Maura lebih tinggi dari istri sah? Apakah pengabdianku selama 12 tahun sudah tidak ada artinya di mata ayah kedua anakku?Apakah aku dan nilai diri ini hanya sampah rongsokan yang siap untuk dilempar ke mana saja? Betapa semakin hancurnya diri ini mengetahui kenyataan itu, betapa kecewa dan menyesalnya mengapa aku setelah menikah dengannya. Mengapa dulu, aku mempercayai semua ucapan dan janji sucinya di hadapan penghulu. Katanya, bahwa hanya maut yang akan memisahkan kami, tapi lihat nyatanya, semua itu palsu.Kucari dia, kususul Mas Hamdan dengan penampilan yag sudah berantakan. Tak mampu kukendalikan diri untuk menunda mencarinya, karena semakin lama aku buang waktu semakin leluasa mereka untuk.Mungkin warga desa heran melihat diriku yang lalu lalang dengan muka bingung. Bisa jadi mereka tidak habis pikir mengapa ketua Balai Perempuan di desanya terlihat amat bingung seakan kehilangan akal./ Nyatanya, rasa gemas yang mengaduk aduk dalam hatiku membuat diri ini kehilangan prioritas untuk memperbaiki penampilan.Kulewati rumah juragan Bono, dan seperti tebakanku, mobil Mas Hamdan ada di sana.Entah apa tujuannya suamiku sampai nekat menemui juragan bengis itu, yang pasti dia kehilangan pikiran dan sudah dibutakan cinta oleh gadis muda.Aku ingin masuk ke sana tapi aku kembali melirik bawa gamisku yang penuh dengan lumpur rasanya memalukan sekali memaksa masuk dalam keadaan kotor seperti ini. Sambil berjingkat-jingkat ingin memeriksa dan mencuri dengar kira kira Mas Hamdan sedang apa,
Aku kembali ke rumah bersama Mas Hamdan dengan mobil yang sama. Setelah kubuka pintu aku langsung melampiaskan kemarahan. Kujatuhkan semua foto dengan bingkai-bingkai cantik yang tertata di bufet dekor ruang tamu dengan emosi yang sudah tak terkendali."Kupikir kita sudah bahagia dan utuh sebagai keluarga yang tidak akan terpisahkan, namun kenyataannya hatimu terbagi dua!"Prang!"Katamu, Mas tak akan meninggalkan atau menduakan cintaku!"Prang!Mas Hamdan yang kaget melihat kemarahanku dan terpana melihat perabotan yang bergulir dipecahkan, langsung mendekat dan menangkap kedua tangan ini, dia berusaha merangkulku tapi aku sudah muak dengannya."Tenang Aisyah!""Bagaimana aku bisa tenang, bagaimana aku meredam gejolak emosi cemburu melihatmu melindungi wanita itu, aku merasa kecil, rendah dan dicampakkan oleh sikapmu, Mas.""Itu hanya sudut pandangmu, kau tak pernah tahu isi hatiku!""Kau sudah menunjukkannya. Kau sudah memperlihatkan padaku hatimu condong kemana! Kau bilang kau aka
Sejak aku mengutarakan semua keberatan itu suamiku tidak pernah lagi membahas tentang Maura dan keinginannya untuk menikah lagi. Kami menjadi dua orang asing yang berdiam di dalam perang dingin.Kami memang tinggal dalam satu atap namun rasa benci yang berkelindan di dalam hati sangat sulit dinetralkan hingga aku dan Mas Hamdan bisa kembali berhubungan normal seperti semula.Aku dan dia tidur di ranjang dan makan di meja yang sama, tapi tanpa bicara, kami lebih sering sibuk dengan pikiran masing-masing. Anakku yang bungsu tidak merasa terganggu tapi aku tahu bahwa kakaknya, Raihan, merasakan permusuhan tersebulung yang terjadi pada kami orang tuanya.Aku tidak hendak menyapanya dan dia pun terlihat sungkan untuk mengajakku bicara. Kami habiskan waktu hanya untuk mengerjakan kegiatan masing-masing, kadang saling memandang tapi itu hanya beberapa detik saja.Kutunggu permintaan maaf dan kata-kata yang biasa merayu membujukku agar aku bisa kembali tersenyum dan tenang, namun itu tida
Kian hari kian jauh aku dengannya, kebungkaman yang seolah membangun sebuah dinding pembatas di antara kami berdua. Belakangan teman-temannya juga menelpon untuk mengungkapkan protes bahwa kinerja kerja Mas Hamdan tidak lagi seperti dulu."Apa beliau sakit karena saya lihat setiap harinya lesu dan sedikit bicara," ucap salah seorang pekerja di tempat Mas Hamdan."Tidak juga, mungkin suami saya memang sedang banyak pikiran."Saya yakin beliau sakit, pekerjaannya banyak yang tertunda, sering terlihat bingung di meja kerja juga tubuhnya mulai kurus dan wajahnya pucat," sambung karyawan yang posisinya di bawah suamiku itu.Aku tahu persis bahwa sakit yang diderita Mas Hamdan adalah sakit rindu yang tidak tersampaikan dia terluka karena aku dan segenap anggota keluarganya menentang rencana poligaminya itu.Dia memang kehilangan berat badan karena jarang makan dan selalu termenung sedih, kadang melihatnya membuatku kesal, aku gemas dan ingin sekali berteriak agar dia sadar dan berhenti t
Aku bawa anakku ke Puskesmas terdekat dan langsung ditangani oleh tim medis.Tubuhnya yang sudah dingin dan gemetar membuatku panik dan takut, dan bukannya apa ... bisa saja hal-hal yang tidak diinginkan terjadi karena Putri sudah berjam-jam terkena hujan dan cuaca dingin."Nak, Bunda sudah bawa kamu ke puskesmas, sekarang dokter akan memberi obat dan kita akan ganti pakaianmu," ucapku sambil menggenggam tangannya dengan tanganku yang gemetar cemas. Aku tetap bersaha tegar menyalin pakaian anakku dengan selimut hangat yang diberikan perawat."Maafkan saya sekali lagi, Bu. Saya sungguh mengira bahwa dia pulang bersama teman-temannya dan sudah dijemput ayahnya," ucap gurunya dengan raut bersalah."Itu bukan salahnya, Bu guru," jawabku tersenyum tipis. Meski aku coba menenangkan diri tapi perasaanku masih saja galau dan takut.Kucoba meraih ponsel tapi ternyata benda itu mati karena terkena air dan habis batrainya. Hendak menghubungi Mas Hamdan dari ponsel Guru Putri tapi wanita itu juga
Sepanjang malam aku tak mampu memejamkan mata, pikiran dalam benakku saling tumpang tindih, bertumpuk tidak karuan. Tekanan di kepalaku menghimpit antara cemas dengan keadaan putri dan memikirkan suami yang kini tidur lelap dalam selimut tebalnya."Bisa-bisanya dia tak datang untuk melihat keadaan kami, tega-teganya dia tidak datang kemari lantaran berlindung dibalik rasa malu padaku, dasar pria bejat!" Aku meninju dinding di mana aku bersandar. Kupandangi anakku yang tertidur pulas, juga detak jam dinding yang bergulir lambat, rasanya tak sabar menunggu esok, mengeluarkan putri dari rumah sakit dan pulang melampiaskan kemarahanku pada ayahnya yang tak peka."Ah, ya Allah, andai bisa, tolong berikan aku ketenagan pikiran, keluasan hati dan keikhlasan agar aku tak gelisah seperti ini," gumamku dalam hati. Aku tak tahu cara membuat hati ini berhenti berdebar selain mengucapkan istighfar."Bund ...." Tiba tiba anakku tersadar."Iya, Nak ...?" kuhampiri dia di tempat tidurnya lalu mem
Setelah percakapan semalam keesokan harinya suamiku menggigil demam. Entah apa yang telah terjadi padanya tapi dia jatuh sakit wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar.Ketika ku bangunkan dia tidak menjawabku hanya rintihan pelan yang terucap dari bibirnya bahwa dia kesakitan.Aku heran padahal kemarin akulah yang berjibaku dengan hujan lebat, beberapa saat menunggui Putri dengan baju basah, tapi tidak terjadi apa-apa. Tapi kenapa dengannya."Kamu kenapa?" tanyaku Yang penasaran dengan keadaannya."A-aku sakit, dingin, a-ambilkan selimut," pintanya merintih.Aku hanya mendengkus mendengarnya, kesal sekaligus iba, bagaimana pun dia suamiku, tapi aku kecewa padanya. Kuraih selimut bulu dari dalam lemari lalu meletakkan benda itu menutupi tubuhnya. "Di saat seperti ini, istrilah yang paling berguna, kamu tidak bisa pergi ke tempat kekasihmu dan meminta dia memelukmu," rutukku dengan kesal."Ma-maaf, Aisyah.""Hah, maaf lagi," gumamku sambil menjauh." ... jangan sekeluarga sakit, aku suda
"Tidak, meski aku terlihat egois dan kejam, berbagi suami adalah pilihan yang tak sanggup kulakukan, berilah aku hukuman lain, tapi jangan menuntutku untuk menyerahkan Mas Hamdan pada Maura."Kuhampiri ibu mertua lalu bersimpuh di hadapannya, aku menangis, memohon pengertian agar wanita itu tidak merestui keinginan anaknya."Saya sudah lama bersamanya, inikah balasan untuk semua pengabdian saya, haruskah sepahit ini, Bu?""Aku tidak setuju, tapi aku juga mempedulikan kesehatan anakku, bagaimana jika setelah ini sakitnya semakin parah?""Aku akan merawatnya dengan baik, aku berjanji bahwa dia akan pulih dan melupakan impiannya," jawabku bersungguh-sungguh."Jika kau sanggup, aku tak bisa mencegahnya, biarlah ayah mertuamu yang akan bicara pada Hamdan," jawab Ibu."Terima kasih," balasku lirih.Setelah kedua mertua dan ayahku pamit, kini tinggal aku dan Ibu yang duduk berhadapan dan membisu di ruang tamu.Mas Hamdan Mash tertidur, juga anak anak sudah berada di kamar mereka masing-