Pagi ini, akan kutemui dia Mas," ucapku sambil bangun dan menuju ke dalam.
"Jangan Aisyah, kalau bisa kita temui dia bersama-sama. Aku belum mengutarakan perasaan sukaku, aku ingin kamulah yang menyampaikannya," kata Mas Hamdan dari ruang tamu. Langkahku langsung tertahan mendengar dia mengucapkan hal itu. Jika dulu aku tak pernah mencela suami, maka hari ini aku ingin menyebutnya semena-mena dan seenaknya. Apa iya, aku yang akan menemui gadis muda itu dan mengatakan jika mas Hamdan menyukainya lalu dengan manisnya memakaikan cincin?Oh ... apa dunia terbalik sekarang?!"Tolong lepaskan aku, Mas. Jika kamu mencintaiku dan menghargaiku sebagai seorang istri dan wanita yang pernah melahirkan anak anakmu tolong hargai perasaanku, aku sungguh telah tersiksa dengan luka semalam yang kau torehkan, Mas."Mendengarku menegaskan kalimat itu Mas Hamdan langsung terdiam, Dia terlihat tidak mau mendapatku lagi. Hanya mendengkus panjang dan menggeleng.*Satu jam kemudian,Suamiku yang masih tampan dan tetap memperhatikan penampilan yaitu keluar dari kamar, dia nampak mengenakan jam tangan dan merapikan penampilannya di depan kaca."Sebaiknya tak usah bawa mobil, Raihan dan adiknya cukup kuat di atas motor," ucapku dingin. Aku tahu pasti jika suamiku mengendarai Terios hitam miliknya maka gadis impiannya, bisa jadi telah menunggu di ujung jalan desa, dengan alasan ke pasar juga."Tapi, aku takut hujan ....""Ada ketakutanku yang lebih besar dari hujan, aku khawatir fitnahkan mengenai dirimu dan mencoreng nama baikmu," jawabku sambil beralih ke wastafel dapur."Mungkin karena terbiasa bertemu dengan gadis itu setiap pagi aku merasa hari-hariku menjadi bersemangat dan sempurna, aku lupa bahwa aku sudah dewasa memiliki 2 anak dan istri yang menunggu di rumah. Perasaan cinta itu datang begitu saja tanpa bisa kuhalangi, jujur meninggikan posisimu kuungkapkan kejujuran ini dengan tegas," jawabnya yang datang menyusulku ke tempat cuci piring.Tak sadar, dia kembali menusuk hatiku dengan belati bergerigi, dia menambahkan sayatan baru di atas luka yang sudah bernanah, luka itu mengeluarkan darah yang deras, membuatku kembali menjatuhkan air mata."Kalau begitu, aku akan pergi ke pasar juga," jawabku dengan suara gemetar, kuusap air mata dengan jilbab dan beralih ke dalam kamar untuk mengganti baju dan menyembunyikan tangisanku.Kututup pintu kamar, membuka lemari dan mencari pakaianku. Dari jajaran pakaian lama aku sadar sudah tak ada lagi pakaian yang cukup bagus, yang bisa menarik hati Mas Hamdan agar tatapan matanya kembali teralihkan padaku. Kuambil gantungan pakaian satu-persatu melihat bajunya, lalu melemparnya ke ranjang.Semakin berpikir untuk cantik semakin frustasi diri ini karena sadar selama ini aku tak mementingkan kecantikan. Kupikir suamiku akan setia seperti apapun rupa istrinya, tapi ternyata ... dia sama saja dengan pria pria lain di luar sana."Argggg, mengapa ini terjadi padaku ..." Aku menangis dengan suara tertahan menarik semua gantungan di dalam lemari dalam satu tarikan, aku terduduk dalam keadaan putus asa dan menangis sejadi-jadinya sambil membekap mulutku dengan tumpukan baju.Apa salahku, menjelang ulang tahun pernikahan yang ketiga belas dia memutuskan menduakanku. Apakah semudah itu baginya? Tidak bernilaikah kesetiaan dan semua pengorbananku selama ini. Aku bahkan tidak bekerja lagi demi oermintaannya, jarang keluar rumah demi memikirkan layanan terbaik untuk keluarga ini. Mengapa semudah itu dia meminta keikhlasanku untuk membagi cintanya.***Mobil kami berjalan pelan di aspal kasar yang masih diselingi batu karena tidak rata, kuedarkan pandangan ke sisi kanan kiri jalan untuk memindai apakah pelakor alim itu menunggu suamiku di sana. Sebenarnya aku tak mau menyebutnya begitu, tapi rasa sakit dan kebencian di hati ini tak terbendung lagi. Aku cemburu dan iri, mengapa dia, mengapa harus gadis muda yang cantik, serta memiliki akhlak yang baik. Rasanya aku berada dalam dilema yang mau dicegah pun tak bisa. Aku ingin marah, tapi tak tahu harus pada siapa.Di ujung gerbang desa, wanita itu terlihat berjalan dengan keranjang di tangannya. Kerudung merah muda dengan baju kurung selutut membuat gadis itu seperti mawar yang sedang mekar. Menatapnya membuatku menelan ludah, aku mengakui dia memang lebih cantik dariku, aku sedih, dadaku sesak dan hatiku makin merasa kecil.Tanpa kuberi aba-aba, seakan otak suamiku sudah diprogram, dia mengerem dan menurunkan kaca mobilnya."Mbak, ayo barengan," tawar Mas Hamdan.Wanita itu berbinar, dia tersenyum dan mengangkat wajahnya dari kerudungnya yang berenda. Tapi, binar cinta itu berubah redup ketika dia mendapatiku ada di sebelah Ma Hamdan.Gadis itu jadi takut dan mundur sambil menggelengkan kepalanya."Ti-tidak, Mas, saya duluan saja."" Ayolah, kita searah, Maura," bujuk Suamiku tanpa menimbang keberadaanku di sisinya."Eng-engggak, Mas. Maura jalan saja, hanya satu kilometer, kok, jawab gadis itu sambil memandangku.Aku yang kehilangan kesabaran melihatnya seperti bermain lemah di hadapan Mas Hamdan langsung turun dan mendekat dan ...Plak!Kutampari gadis itu dengan sekuat tenaga yang kumiliki. Dia nyaris terjatuh anda tak menahan keseimbangannya, dia memegangi pipinya sambil menatap terkejut padaku."Sejak kapan kamu mulai dengan dengan suamiku?"Dia yang ditanyai seperti itu langsung mundur dan takut, bahunya gemetar dan terus memandagi belahan jiwaku."Sa-saya gak dekat, Mbak, hanya kebetulan beberapa kali diantar oleh Mas Hamdan," jawabnya."Oh ya, apa suamiku sudah mengutarakan niatnya untuk menikahimu?!" tanyaku berkacak pinggang.Gadis itu makin takut, dia melihat Mas Hamdan yang mulai turun dari mobil dengan mata berkaca-kaca dan kembali menundukkan kepala."Jawab aku!""Jangan ganggu dia, aku akan menikahinya dengan atau tanpa izinmu!"Malam dan langsung menarik wanita itu ke dalam pelukannya membuatku terkesiap, sikapnya yang terang-terangan menunjukkan cinta telah menambah harga diriku, dadaku langsung berkobar kobar oleh amarah dengan pemandangan seorang gadis muda menangis sesenggukan di pelukan pria yang bukan miliknya.Jangan tanya lagi ekspresi anak-anak yang kebetulan menyaksikan semua itu dari mobil.Menyaksikan Mas Hamdan memeluk wanita itu dengan penuh perhatian dan iba, hati ini menjadi semakin membara jadinya. Seakan lampunyang dituang minyak, hatiku berkobar tak terkendali.Betapa teganya dia terang-terangan menunjukan simpati dan cintanya. Gadis itu juga tahu sekali kapan harus bersikap manja dan cari muka."Mas maafkan, saya, saya ...." Wanita itu mulai menangis takut, membenamkan dadanya ke kemeja Mas Hamdan yang pagi tadi kusetrika."Tenang... ini bukan salahmu," bisik Mas Hamdan membelai pipinya yang kemerahan, wajah putih merona gadis itu menjadi semburat terkena panas mentari."Jadi salah siapa, salahmu yang tak mampu mengendalikan diri untuk jatuh cinta dan menggodanya?""Hentikan Aisyah! Kau sudah melukai perasaannya.""Lalu bagaimana hatiku?"Mas Hamdan terdiam, bibirnya seakan dikunci kebungkaman dan rasa malu, nampak jelas di raut wajahnya bahwa dia menyesali perbuatan barusan, dia nampak bingung menentukan harus bagaimana, berdiri di antara dua wanita membuatnya
Kucari dia, kususul Mas Hamdan dengan penampilan yag sudah berantakan. Tak mampu kukendalikan diri untuk menunda mencarinya, karena semakin lama aku buang waktu semakin leluasa mereka untuk.Mungkin warga desa heran melihat diriku yang lalu lalang dengan muka bingung. Bisa jadi mereka tidak habis pikir mengapa ketua Balai Perempuan di desanya terlihat amat bingung seakan kehilangan akal./ Nyatanya, rasa gemas yang mengaduk aduk dalam hatiku membuat diri ini kehilangan prioritas untuk memperbaiki penampilan.Kulewati rumah juragan Bono, dan seperti tebakanku, mobil Mas Hamdan ada di sana.Entah apa tujuannya suamiku sampai nekat menemui juragan bengis itu, yang pasti dia kehilangan pikiran dan sudah dibutakan cinta oleh gadis muda.Aku ingin masuk ke sana tapi aku kembali melirik bawa gamisku yang penuh dengan lumpur rasanya memalukan sekali memaksa masuk dalam keadaan kotor seperti ini. Sambil berjingkat-jingkat ingin memeriksa dan mencuri dengar kira kira Mas Hamdan sedang apa,
Aku kembali ke rumah bersama Mas Hamdan dengan mobil yang sama. Setelah kubuka pintu aku langsung melampiaskan kemarahan. Kujatuhkan semua foto dengan bingkai-bingkai cantik yang tertata di bufet dekor ruang tamu dengan emosi yang sudah tak terkendali."Kupikir kita sudah bahagia dan utuh sebagai keluarga yang tidak akan terpisahkan, namun kenyataannya hatimu terbagi dua!"Prang!"Katamu, Mas tak akan meninggalkan atau menduakan cintaku!"Prang!Mas Hamdan yang kaget melihat kemarahanku dan terpana melihat perabotan yang bergulir dipecahkan, langsung mendekat dan menangkap kedua tangan ini, dia berusaha merangkulku tapi aku sudah muak dengannya."Tenang Aisyah!""Bagaimana aku bisa tenang, bagaimana aku meredam gejolak emosi cemburu melihatmu melindungi wanita itu, aku merasa kecil, rendah dan dicampakkan oleh sikapmu, Mas.""Itu hanya sudut pandangmu, kau tak pernah tahu isi hatiku!""Kau sudah menunjukkannya. Kau sudah memperlihatkan padaku hatimu condong kemana! Kau bilang kau aka
Sejak aku mengutarakan semua keberatan itu suamiku tidak pernah lagi membahas tentang Maura dan keinginannya untuk menikah lagi. Kami menjadi dua orang asing yang berdiam di dalam perang dingin.Kami memang tinggal dalam satu atap namun rasa benci yang berkelindan di dalam hati sangat sulit dinetralkan hingga aku dan Mas Hamdan bisa kembali berhubungan normal seperti semula.Aku dan dia tidur di ranjang dan makan di meja yang sama, tapi tanpa bicara, kami lebih sering sibuk dengan pikiran masing-masing. Anakku yang bungsu tidak merasa terganggu tapi aku tahu bahwa kakaknya, Raihan, merasakan permusuhan tersebulung yang terjadi pada kami orang tuanya.Aku tidak hendak menyapanya dan dia pun terlihat sungkan untuk mengajakku bicara. Kami habiskan waktu hanya untuk mengerjakan kegiatan masing-masing, kadang saling memandang tapi itu hanya beberapa detik saja.Kutunggu permintaan maaf dan kata-kata yang biasa merayu membujukku agar aku bisa kembali tersenyum dan tenang, namun itu tida
Kian hari kian jauh aku dengannya, kebungkaman yang seolah membangun sebuah dinding pembatas di antara kami berdua. Belakangan teman-temannya juga menelpon untuk mengungkapkan protes bahwa kinerja kerja Mas Hamdan tidak lagi seperti dulu."Apa beliau sakit karena saya lihat setiap harinya lesu dan sedikit bicara," ucap salah seorang pekerja di tempat Mas Hamdan."Tidak juga, mungkin suami saya memang sedang banyak pikiran."Saya yakin beliau sakit, pekerjaannya banyak yang tertunda, sering terlihat bingung di meja kerja juga tubuhnya mulai kurus dan wajahnya pucat," sambung karyawan yang posisinya di bawah suamiku itu.Aku tahu persis bahwa sakit yang diderita Mas Hamdan adalah sakit rindu yang tidak tersampaikan dia terluka karena aku dan segenap anggota keluarganya menentang rencana poligaminya itu.Dia memang kehilangan berat badan karena jarang makan dan selalu termenung sedih, kadang melihatnya membuatku kesal, aku gemas dan ingin sekali berteriak agar dia sadar dan berhenti t
Aku bawa anakku ke Puskesmas terdekat dan langsung ditangani oleh tim medis.Tubuhnya yang sudah dingin dan gemetar membuatku panik dan takut, dan bukannya apa ... bisa saja hal-hal yang tidak diinginkan terjadi karena Putri sudah berjam-jam terkena hujan dan cuaca dingin."Nak, Bunda sudah bawa kamu ke puskesmas, sekarang dokter akan memberi obat dan kita akan ganti pakaianmu," ucapku sambil menggenggam tangannya dengan tanganku yang gemetar cemas. Aku tetap bersaha tegar menyalin pakaian anakku dengan selimut hangat yang diberikan perawat."Maafkan saya sekali lagi, Bu. Saya sungguh mengira bahwa dia pulang bersama teman-temannya dan sudah dijemput ayahnya," ucap gurunya dengan raut bersalah."Itu bukan salahnya, Bu guru," jawabku tersenyum tipis. Meski aku coba menenangkan diri tapi perasaanku masih saja galau dan takut.Kucoba meraih ponsel tapi ternyata benda itu mati karena terkena air dan habis batrainya. Hendak menghubungi Mas Hamdan dari ponsel Guru Putri tapi wanita itu juga
Sepanjang malam aku tak mampu memejamkan mata, pikiran dalam benakku saling tumpang tindih, bertumpuk tidak karuan. Tekanan di kepalaku menghimpit antara cemas dengan keadaan putri dan memikirkan suami yang kini tidur lelap dalam selimut tebalnya."Bisa-bisanya dia tak datang untuk melihat keadaan kami, tega-teganya dia tidak datang kemari lantaran berlindung dibalik rasa malu padaku, dasar pria bejat!" Aku meninju dinding di mana aku bersandar. Kupandangi anakku yang tertidur pulas, juga detak jam dinding yang bergulir lambat, rasanya tak sabar menunggu esok, mengeluarkan putri dari rumah sakit dan pulang melampiaskan kemarahanku pada ayahnya yang tak peka."Ah, ya Allah, andai bisa, tolong berikan aku ketenagan pikiran, keluasan hati dan keikhlasan agar aku tak gelisah seperti ini," gumamku dalam hati. Aku tak tahu cara membuat hati ini berhenti berdebar selain mengucapkan istighfar."Bund ...." Tiba tiba anakku tersadar."Iya, Nak ...?" kuhampiri dia di tempat tidurnya lalu mem
Setelah percakapan semalam keesokan harinya suamiku menggigil demam. Entah apa yang telah terjadi padanya tapi dia jatuh sakit wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar.Ketika ku bangunkan dia tidak menjawabku hanya rintihan pelan yang terucap dari bibirnya bahwa dia kesakitan.Aku heran padahal kemarin akulah yang berjibaku dengan hujan lebat, beberapa saat menunggui Putri dengan baju basah, tapi tidak terjadi apa-apa. Tapi kenapa dengannya."Kamu kenapa?" tanyaku Yang penasaran dengan keadaannya."A-aku sakit, dingin, a-ambilkan selimut," pintanya merintih.Aku hanya mendengkus mendengarnya, kesal sekaligus iba, bagaimana pun dia suamiku, tapi aku kecewa padanya. Kuraih selimut bulu dari dalam lemari lalu meletakkan benda itu menutupi tubuhnya. "Di saat seperti ini, istrilah yang paling berguna, kamu tidak bisa pergi ke tempat kekasihmu dan meminta dia memelukmu," rutukku dengan kesal."Ma-maaf, Aisyah.""Hah, maaf lagi," gumamku sambil menjauh." ... jangan sekeluarga sakit, aku suda
Mungkinkah sikap arogan Mas Irsyad ditengarai oleh kecemburuannya yang begitu besar kepada Hamdan atau mungkinkah karena dendamnya padaku karena sudah menyakiti Elsa, entahlah, aku tak tahu, yang jelas aku merasa sangat sakit dan tersinggung. Air mataku berurai pedih dan menyesal. "Andai aku tidak termakan kata kata manis dan bujukan sejak awal, mungkin aku tidak akan pernah menikahi pria busuk seperti Irsyad. Dia hanya baik di awal dan kejam di akhir, dia benar benar membalikkan persepsiku tentang perilaku dan sifatnya."Pagi menjelang, matahari menyapa, tapi aku enggan menatapnya. Diri ini masih terbaring di ranjang meski waktu sudah menunjukkan pukul tujuh."Kamu tidak bangun untuk menyiapkan sarapanku dan anak-anak?""Aku sedang tidak enak badan dan kalian bisa beli makanan di drive thru, anak anak akan senang," jawabku dari balik selimut."Aneh sekali sikapmu hari ini Aisyah," gumamnya."Memangnya aku tidak boleh sakit memangnya sesekali aku tidak boleh libur dari rutinitas rum
"Berani sekali istrimu memukulku, aku kesakitan Mas, aku kesakitan ...." Wanita itu meraung dan menjerit kesakitan sambil berusaha melindungi dirinya di belakang Mas Irsyad.Saat itu yang aku rasakan tidak ada lagi kewarasan, hanya sakit, panas hati dan amarah yang menggelegak. Saking tak tahannya aku dengan kekesalan, rasa-rasanya ubun-ubun ini ingin meleleh."Beraninya kau mengusik suamiku, menghapus ketentraman rumah tangga dan membuat hidupku tidak nyaman!" Aku melesat ke belakang Mas Irsyad, tanpa bisa dicegah aku langsung mencekik leher wanita itu sampai dia terdorong dan terdesak tepat di depan tangga rumah."To-tolong... Akh ... akkk ...." Wanita itu meronta "Aisyah, stop, ya Allah, Aish, please, lepasin Elsa." Mas Irsyad berusaha menengani tapi sia sia saja.Nafas wanita itu mulai sesak dan megap-megap, dia ingin mengatakan sesuatu tapi tidak bisa. Aku yang seakan dirasuki sebuah kekuatan besar terus menekan lehernya hingga nyaris saja wanita itu meregang nyawa dengan bola
Seminggu kami jalani hidup tanpa tegur sapa dan saling menjauhi. Lebih tepatnya aku yang menjaga jarak dan menjauhi Mas irsyad. Begitu dia mendekati, terlebih ketika di kamar, anak aku langsung bangun dan memasang jarak. Bukannya dia tak mencoba membujuk hanya saja aku yang menolak bujukannya.Seperti ketika suatu malam dia mendekat, mencoba memeluk dan menciumku dengan paksa seperti yang selama ini dia lakukan kala aku merajuk kecil. Sontak, aku berontak dan mendorongnya. Aku menghardik dengan kesal agar dia jangan memaksakan dirinya padaku."Aku bukan pelacur atau wanita yang bisa kau perkosa kapan pun. Enyahlah dari hadapanku.""Mengapa kau marah sekali, aish. Ini sudah hampir seminggu, gak takutkah kamu akan dosa menolak hasrat suami.""Kenapa tidak kau bagi saja hasrat itu kepada wanita yang masih kau cintai!" Tentu saja Mas Irsyad terkejut dan wajahnya langsung pucat. Pria itu mengigit bibir lalu bersurut mundur."Apa? Kenapa diam, Kenapa tidak kau temui mantan istrimu lalu ung
Seminggu kami jalani hidup tanpa tegur sapa dan saling menjauhi. Lebih tepatnya aku yang menjaga jarak dan menjauhi Mas irsyad. Begitu dia mendekati, terlebih ketika di kamar, anak aku langsung bangun dan memasang jarak. Bukannya dia tak mencoba membujuk hanya saja aku yang menolak bujukannya.Seperti ketika suatu malam dia mendekat, mencoba memeluk dan menciumku dengan paksa seperti yang selama ini dia lakukan kala aku merajuk kecil. Sontak, aku berontak dan mendorongnya. Aku menghardik dengan kesal agar dia jangan memaksakan dirinya padaku."Aku bukan pelacur atau wanita yang bisa kau perkosa kapan pun. Enyahlah dari hadapanku.""Mengapa kau marah sekali, aish. Ini sudah hampir seminggu, gak takutkah kamu akan dosa menolak hasrat suami.""Kenapa tidak kau bagi saja hasrat itu kepada wanita yang masih kau cintai!" Tentu saja Mas Irsyad terkejut dan wajahnya langsung pucat. Pria itu mengigit bibir lalu bersurut mundur."Apa? Kenapa diam, Kenapa tidak kau temui mantan istrimu lalu ung
Tak mau terus menyiksa batinku sendiri dengan terus menguping pembicaraan Mas Irsyad dan mantan istrinya akhirnya kuputuskan untuk turun saja mengambil air minum dan kembali ke kamar.Namun sebelum aku melanjutkan langkah, kembali perasaan marahku meronta-ronta. Haruskah aku melabrak dan meneriakinya, lalu mencecarnya dengan banyak pertanyaan mengapa dia berani sekali menelepon wanita lain di tengah malam dan memberinya kata-kata yang indah. Oh Tuhan, hatiku dilema.Ingin kutahan diri tapi rasa haus seakan menusuk tenggorokan sehingga aku tidak punya pilihan.Dengan gaun tidur yang masih menjuntai ke lantai, aku berjalan ke dapur. Melihatku tiba-tiba datang pria itu terkesiap dan kaget. Dengan salah tingkah dia segera mematikan ponsel dan menyembunyikan benda itu di bawah dudukannya. Tapi sayang, aku melihatnya.Aku yang pura-pura tidak tahu apa-apa hanya berjalan dengan cuek lalu mengambil gelas dan memencet dispenser lantas kuteguk air sambil berusaha menahan diriku."Kok belum tid
Hal yang baru saja dia katakan memantik sebuah keheranan di hatiku. Di satu sisi dia ingin aku membiarkannya untuk berhubungan baik dengan Elsa namun sebaliknya ketika aku dan Mas Hamdan berkomunikasi dan hendak menjalin hubungan baik lagi, dia seakan sangat keberatan dan benci."Mungkinkah suamiku adalah penganut pernikahan terbuka di mana dia bebas melakukan apa saja dengan dunia dan teman wanita, sementara aku akan terjerat dan harus mematuhi semua aturan yang dibuat. Bukankah itu tidak adil?!"Alangkah arogan dirinya ketika mengatakan bahwa aku tidak boleh turut serta dalam acara aqiqah yang diselenggarakan Mas Hamdan sementara dia terus malah padaku agar bisa menemui mantan istrinya dengan berbagai alasan kurasa jika aku sudah jengah sendiri dan bosan, dia akan kutinggalkan.Kadang timbul kesesakan tersendiri di dalam hatiku, keheranan entah mengapa aku selalu gagal menjalin tali pernikahan. Apakah aku memang harus ditakdirkan punya suami ajaib yang tidak pernah sesuai dengan
Mungkin aktivitas romantis yang kami lakukan semalam yang membuat moodku membaik di pagi hari. Aku bangun, menyibak tirai jendela membiarkan matahari menghangatkan setiap sisi ruangan rumah. Aku beranjak ke dapur untuk menjerang air dan membuat sarapan keluarga. Selagi menunggu air mendidih luperiksa ponsel yang Alhamdulillah tidak ada notifikasi apa apa. Ya, bagiku kehadiran notifikasi selalu membuat diri ini berdebar dan cemas. Selalu, setiap kali ada yang menghubungi pasti ada masalah atau apa saja yang berkemungkinan merepotkan diri ini."Ah, andai setiap hari hidup kita seperti ini, pasti akan menyenangkan sekali," gumamku sambil menakar bubuk kopi dan gula ke dalam cangkir suami."Bunda ...." Anak anak turun lebih pagi, mereka terlihat sudah rapi degan seragam dan sunggingan senyum yang ceria. "Bagaimana malam tadi, apa kalian tidur dengan nyenyak?""Tentu, kami tidur dengan nyaman dan pulas sekali, Icha tidur bersamaku dan kami sempat membaca buku cerita dan dongeng. Oh ya
"Tidak perlu harus sedramatis itu, Aish, wanita itu sudah demikian tersakiti," ujar Mas Irsyad sambil menutup pintu mobilnya."Jadi kau membelanya?""Bukan begitu?""Mas ... Kalau kamu memang merasa kasihan dan sayang pada wanita itu maka tinggalkan aku dan pilihlah dia, aku tidak akan keberatan sama sekali.""Aisyah, kamu hanya salah paham.""Cukup, jangan mengulur pembicaraan dan mengulang situasi yang sama. Situasi yang pernah aku rasakan bersama Mas Hamdan, aku sudah bosan, demi tuhan, aku ingin menghindarinya," jawabku sambil beranjak masuk ke dalam rumah."Bisa kita pura pura baik baik saja setidaknya di depan Icha, kasihan anakku, dia pasti bingung ....""Aku juga tidak mau membuat anakmu bingung tapi dia pun harus diberi pengertian dan harus tahu seperti ini kondisi orang tuanya sekarang, anak itu harus menyadarinya, Mas.""Jangan terkesan memaksa " Mas Irsyad memburuku di tangga."Lebih cepat tahu lebih baik. Anak anak harus diajari dari sekarang contoh bahwa kita tidak boleh
Akhirnya aku dan anak tiriku berkendara satu mobil menuju rumah ibunya. Aku sebenarnya punya rencana sendiri untuk membongkar apa yang sebenarnya terjadi. Besar keyakinanku bahwa wanita itu hanya pura pura amnesia untuk meraih perhatian semua orang.Sepuluh menit kemudian kami sampai di rumah bercat cream dengan taman kecil dan pohon palem di depannya. Elsa terlihat menunggu di depan teras, senyumannya terkembang saat melihat Fortuner milik Mas Irsyad. Meski tertatih namun semangat dan visual ceria terlihat sekali di wajahnya. Melihat ibunya mendekat, Aisyah membuka pintu dan menyambut, mereka berpelukan dan hendak masuk. Alangkah terkejut Elsa saat mendapati diri ini duduk di kursi depan di dekat mantan suaminya. Raut wajahnya berubah syok dan tidak nyaman."Hai, Elsa," sapaku sambil melambai kecil, bahagia sekali melihat wanita kesal."Siapa dia Mas?"Mas Irsyad nampak ragu, tapi aku yang tidak suka mengulur waktu segera memberi tahu bahwa aku istrinya. Biasanya reaksi orang yang