“Bro!!!” Rendi berteriak sambil melambaikan tangan dari pintu kedatangan.
Narendra Alvaro Gunadhya atau yang kerap di sapa Rendra itu pun tersenyum ketika pandangannya berhasil menangkap sosok sang sahabat. Sesaat kemudian terdengar jeritan histeris dari para gadis yang sedang berbaris menunggu kerabat mereka di pintu kedatangan. Ternyata jeritan histeris itu ditujukan kepadanya, Rendra tidak mengerti kenapa yang pasti dirinya seperti aktor korea yang sedang mengunjungi Indonesia untuk konser. “Senyum-senyum sih, Lo! Jadi cewek-cewek pada histeris,” seloroh Rendi setelah pelukan masculin keduanya terurai. Seperti biasa, hanya senyuman yang diberikan Rendra sebagai balasan meski begitu merindukan sahabat kecilnya itu yang kini sedang melanjutkan pendidikan di Australia. “Kita jemput Alisha dulu di rumah sakit ya!” cetus Rendi dan sama seperti sebelumnya, Rendra membalas dengan anggukan. “Ndra! Gue heran deh, bokap lo ‘kan punya Privat Jet kenapa lo masih pake pesawat komersil sih?” celetuk Rendi yang fokus pada kemudi membawa mobil SUVnya keluar dari pelataran parkir Bandara Husein Sastranegara - Bandung. “Itu ‘kan punya bokap, Ren...bukan punya gue,” balas Rendra santai membuat Rendi merotasi bola matanya jengah. “By the way, lo langsung dari London ke sini?” Rendi kembali bertanya. “Nggak...gue pindah pesawat dari Jakarta karena tadinya mau ke rumah dulu tapi ternyata acara midodaremi Aura dipercepat jadi keluarga gue udah keburu ke Bandung,” tutur Rendra menjelaskan. “Si Aura anak sahabat keluarga Lo itu?” “Iya … anaknya tante Monica sama om Edward!” “Bukannya dia masih kuliah ya? Kenapa udah nikah?” kali ini pertanyaan Rendi lebih dalam karena sejujurnya dia pernah menaruh rasa pada Aura namun karena terpisah jarak, Rendi memilih mengubur perasaan itu. “Mana gue tau! Gue ‘kan jarang pulang,” jawab Rendra seraya mengendikan bahu. Rendi menyengir seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal kemudian kembali fokus setelah melirik Rendra yang ternyata sedang menatapnya dari samping dengan mata memicing skeptis. Rendi berdeham menetralkan suasana canggung yang terasa pekat, karena insting Rendra mulai bekerja. “Lo naksir si Aura ya,” tembak Rendra tepat sasaran. “Tuh pujaan hati, lo!” Rendi berseru mengalihkan pembicaraan dan bersyukur kepada Alisha yang sudah berdiri di gerbang rumah sakit, entah sejak kapan menanti mereka. Alisha adalah sahabat Rendra dan Rendi yang merupakan anak dari panti asuhan tempat di mana kedua orang tua Rendi dan Rendra mendermakan sebagian rezekinya. “Lama banget sih! Aku sampe digodain mamang jualan cilok,” omel Alisha setelah menghempaskan bokongnya di kursi penumpang belakang tanpa berniat menanyakan kabar dua pria tampan yang sudah terlebih dahulu duduk di kabin depan. “Maaf Non...gue harus jemput tuan muda ini dulu,” ujar Rendi seraya menyikut lengan Rendra. “Apakabar Alisha ....” Lain halnya dengan gadis itu, Rendra malah menanyakan kabar. “Baik...grandma Mery sama granpa Salim apa kabar?” Alisha balik bertanya. “Eh...cangkir bandrek, Lo ditanya Rendra kabar, bukannya tanya balik gimana kabar Rendra malah nanya kabar grandma sama grandpanya! Sakiiiiiit...hati Abang, Dek.” Rendi berkelakar, dia berakting seolah menghujamkan pisau tak kasat mata tepat di jantungnya. Alisha terkekeh mendengarnya, ada benarnya ucapan Rendi namun gadis tangguh seperti Alisha akan selalu memiliki jawaban. “Eh...kobokan rumah makan padang! Rendra ‘kan ada disini ya pasti dia baik-baik aja lah,” balasnya tidak mau kalah. Rendra tertawa pelan mendengar pertengkaran lucu kedua sahabatnya. Mereka bertiga memutuskan untuk langsung menonton film hollywood yang menceritakan tentang beberapa superhero yang tergabung dalam suatu organisasi penyelamat dunia sebelum pulang ke rumah sebab setelah bertemu keluarga pasti Rendra akan terus dikintilin para sepupu atau berada dalam pelukan sang mama. Keseruan mereka masih berlanjut setelah film berakhir, ketiganya memutuskan untuk menyantap hidangan steak sebagai makan malam. Banyak hal yang tiga sekawan itu bicarakan, kelakar lucu pun sering terlontar dari mulut Rendi yang selalu bisa mencairkan suasana. “Ndra! Lo anter Alisha pulang ya, gue ada perlu sama adek gue dulu! Mobil, besok gue ambil di rumah Kakek, lo!” Rendi yang baru saja mengakhiri panggilan telepon, berkata demikian. “Oke!” balas Rendra seraya menerima kunci mobil dari Rendi yang langsung pergi setelah berpamitan. “Well...Tinggal kita berdua,” cetus Rendra membuat Alisha mendongak dari orange jusnya. “Pulang sekarang yuk! Udah malem, nanti bunda Neni nyariin.” Gadis yang sudah menghabiskan dua gelas orange jus itu pun berdiri diikuti Rendra. Seperti pria sejati, Rendra membuka pintu mobil untuk Alisha lalu gadis itu langsung membungkuk dengan menekuk satu kakinya ke belakang layaknya seorang putri Kerajaan dan tidak lupa mengucapkan terimakasih. Lagi-lagi Rendra dibuat tersenyum oleh tingkah Alisha. Keheningan terasa pekat selama perjalanan pulang, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. “Sha.…” “Ndra.…” Panggil keduanya berbarengan, memecah keheningan namun malah menimbulkan kecanggungan. “Kamu dulu,” ujar keduanya bersamaan lagi. Rendra dan Alisha tertawa renyah.” Kamu dulu deh,” pinta Alisha yang sudah memiringkan tubuhnya agar bisa menatap Rendra. “Kamu aja dulu!” balas Rendra setelah melirik Alisha sekilas. “Sampai kapan kamu di London?” Satu pertanyaan akhirnya keluar dari bibir Alisha. Terdengar biasa saja namun sarat makna. Rendra menginjak rem ketika trafficlight menunjukan warna merah. “Kenapa?” Bukannya menjawab, Rendra malah balik bertanya. “Kamu betah banget di London...,” balas Alisha sama sekali tidak menjawab pertanyaan Rendra. Rendra terkekeh, kemudian menginjak pedal gas karena lampu lalu lintas sudah berubah hijau. “Aku juga enggak tau sampai kapan, yang pasti aku ingin punya perusahaan sendiri sebelum pindah ke Indonesia,” tutur Rendra yang malah membuat Alisha kembali bertanya. “Kenapa? Papa Andra punya banyak perusahaan dan pastinya papa Andra mengharapkan kamu sebagai pemimpinnya.” Alisha memanggil papanya Rendra dengan sebutan papa Andra karena Alisha sudah diangkat anak oleh kedua orang tua Rendra dengan dibiayai segala kebutuhan hidup dan sekolahnya hanya saja tidak tinggal serumah karena pertimbangannya adalah Alisha bukan muhrim bagi papa Andra dan Rendra. “Hanya ingin membuktikan kalau aku bisa tanpa bayang-bayang papa.” Rendra menjawab penuh percaya diri. “Kereeeen....” Alisha mengangkat kedua jempolnya lantas mereka berdua tertawa. “Setelah itu apa?” entah kenapa Alisha bertanya demikian karena yang pasti, dia merasa jawaban Rendra tadi belum lengkap. “Setelah itu, aku akan melamar seorang gadis,” jawab Rendra membuat Alisha refleks bertanya, “Siapa?” “Kamu!” balas Rendra cepat tanpa perlu berpikir. Tentu saja mata Alisha melebar sempurna, dia tidak percaya dengan indera pendengarannya sendiri. “Siapa?” Alisha mengulang pertanyaannya. “Kamu...Alisha Prameswari Putri,” jawab Rendra mantap. “Kenapa? Kamu menyukai pria lain?” Rendra mematikan mesin setelah memarkirkan mobilnya di halaman panti, lalu menyerongkan tubuh menghadap Alisha menuntut jawaban. Alisha menggelengkan kepalanya disertai senyum malu-malu dan wajah merona. Beberapa saat keduanya tenggelam dalam tatapan satu sama lain sambil saling melempar senyum. Selama ini Rendra memang tidak pernah menyatakan cinta meski sudah sejak kecil menyukai Alisha yang memiliki sikap bersahaja dan kagum dengan ketegarannya meski dibuang oleh kedua orang tua sejak kecil. Rendra merasa kalau menyatakan cinta kepada Alisha tidak bisa main-main karena gadis itu adalah saudara angkatnya. “Oke...aku tunggu!” Tidak disangka gayung bersambut, Alisha berkata demikian disertai senyum merekah di bibirnya. Alisha bergegas turun dari mobil setelah membuka pintu, tidak ingin Rendra melihat wajahnya yang pasti sudah merah seperti tomat. Jantung Alisha berdegub kencang dengan perasaan membuncah bahagia, gadis mana yang tidak menyukai pria tampan, pintar, cerdas dan merupakan anak Konglomerat seperti Rendra bahkan Alisha sudah menyukai Rendra semenjak pertama kali mereka bertemu dua puluh tahun yang lalu tapi bukan karena semua yang tadi disebutkan, tapi karena Rendra memiliki hati yang baik dan tulus meski dia memiliki semua yang disebutkan barusan. “Apa tadi dia lagi ngelamar aku? Apa dia serius? Jadi selama ini dia menyimpan rasa suka padaku? Pantas saja dia selalu perhatian.” Alisha bicara sendiri saat sudah sampai di kamarnya. “Aaarrrrggghhh....” Alisha membenamkan wajahnya pada bantal untuk meredam teriakan bahagia. Sementara di luar sana, Rendra masih menatap kamar Alisha yang tampak terang setelah gadis itu masuk. Ucapan Alisha yang terakhir sebelum turun dari mobil masih berdengung di telinganya. Kedua sudut bibir Rendra tertarik ke atas membentuk lengkung senyum merasa lega karena mengetahui bahwa ternyata Alisha pun merasakan hal yang sama. Tidak berapa lama lampu di kamar Alisha pun padam, barulah Rendra menyalakan mesin mobil kemudian menginjak pedal gas menuju rumah sang kakek tersayang namun baru saja akan memasuki komplek perumahan Kakeknya, ponsel Rendra berbunyi nyaring. “Abang di mana?” suara lembut sang mama terdengar. “Udah dekat rumah kakek, Ma.…” “Putar balik sayang, Kita semua ada di rumah oma Reta...Abang ke sini ya, kami tunggu .”Ucapan sang Mama terdengar aneh, bahkan suara lembut itu bergetar seperti habis menangis. Dan apa maksud Mama Rena yang menyebutkan mereka semua menunggunya di sana? Kami yang dimaksud mama Rena itu siapa? Beragam pertanyaan berputar di benak Rendra namun hanya keberadaannya di sana lah yang bisa menjawab itu semua, maka dia memacu kendaraannya lebih kencang agar bisa cepat sampai di rumah oma Reta-neneknya Aura. Banyak mobil sudah terparkir rapih di garasi rumah oma Reta yang luas dan Rendra hapal betul siapa pemilik mobil tersebut. Senya keluarganya sedang berkumpul di sini, tapi kenapa? Bukannya acara adat yang dilakukan sebelum pernikahan akan dimulai besok? Ketika Rendra baru melangkahkan kaki memasuki rumah oma Reta dari pintu utama yang terbuka lebar, suara tangis pilu seorang wanita terdengar menggema di rumah megah itu. Oma Reta sedang tidak sadarkan diri dikelilingi oleh para keluarganya sementara tante Monica-mamanya Aura sedang menangis tersedu dalam pelukan om Edward-suaminya. Suara ambulan membuat semua yang ada di ruangan itu menoleh dan sorot mata mereka langsung tertuju pada Rendra yang berdiri mematung tanpa suara di ambang pintu. “Abaaaang...,” panggil mama Rena seraya melangkah mendekat. “Sini Mama sama papa mau bicara ....” Mama Rena menarik tangan si sulung untuk duduk di ruang tamu sementara om Edward dan perawat yang baru saja turun dari ambulan membawa oma Reta ke rumah sakit. “Ada apa Pa? Ma?” Rendra yang sudah duduk di singel sofa menatap kedua orang tuanya secara bergantian. Di sofa lainnya ada sang kakek Rony-ayah dari mama Rena, om Ricko-sahabat papanya sekaligus adik ipar dari mama Rena dan ada juga om Aras-adik bungsu mama Rena yang menatapnya dengan tatapan seolah bumi sedang dalam invasi alien dan hanya Rendra lah yang bisa menyelamatkan. Andra berdehem sebelum membuka suaranya. “Abang...calon suami Aura pergi begitu saja dengan mantan pacarnya keluar Negri. Lelaki itu meninggalkan Aura di detik-detik hari pernikahan sedangkan persiapan acara sudah seratus persen rampung, tidak mungkin kalau pesta ini batal hanya akan membuat malu dan mencoreng nama baik om Reta dan om Edward juga tante Monica,” tutur papa Andra menjelaskan dan Rendra semakin tidak mengerti kenapa sang papa harus repot-repot menjelaskan hal ini kepadanya. “Sebagai anak paling besar, Papa minta dengan sangat agar Abang bersedia menjadi calon suami pengganti untuk Aura menyelamatkan nama baik keluarga mereka juga demi mempererat tali persahabatan keluarga kita dengan keluarga om Edward,” sambung papa Andra dan seketika tubuh Rendra menegang. “Aura anak yang baik dan cantik, dia juga pinter, Bang...kamu enggak akan menyesal menikah sama dia, Mau ya Bang!” Sang Mama membujuk dengan nada memohon yang sulit untuk Rendra tolak. “Tapi Maaa....” Tapi Rendra berusaha menolak meski tak sanggup menyempurnakan kalimatnya. “Mama mohon sayang...menikah dengan Aura, ya? Ya? Ya?”Setelah Rendra mengiyakan dengan berat hati keinginan seluruh anggota keluarganya, rangkaian acara pernikahan itu pun akhirnya bisa dilangsungkan. Seluruh keluarga tentunya sangat berbahagia karena Rendra menikah dengan gadis yang sudah mereka kenal dengan sangat baik. Mereka tidak pernah tau jika Rendra harus mengorbankan perasaan dan cintanya untuk membuat mereka bahagia. Untuk pertama kalinya Rendra menitikan air mata setelah puluhan tahun tidak merasakan kesedihan karena selama ini hidupnya selalu dinaungi kebahagiaan yang melimpah ruah. Keluarga yang harmonis, materi yang berlebihan dan kasih sayang semua orang. Namun saat ini hati kecil Rendra merasa bila dirinya sedang dikorbankan dan dia harus mengorbankan cintanya kepada Alisha. Rendra menatap cermin di hadapannya, beskap putih dengan kancing yang berada di samping dada dan juga jarik di bagian bawah sudah begitu rapih membalut tubuhnya. Angkin atau stagen—kain panjang untuk melilit bagian perut—dan ikat pinggang
Di Ballroom besar sebuah hotel mewah bertempat di Kota Kembang Bandung, semua orang telah menanti. Grandma Mery dan grandpa Salim telah berada di tengah-tengah keluarganya dengan wajah penuh binar bahagia. Rendra yakin granpa dan grandmanya langsung terbang dari Inggris ke Indonesia setelah mendengar kabar pernikahannya yang tiba-tiba. Sedangkan oma Reta yang beberapa hari lalu tampak pucat dan sakit-sakitan kini wajah cantiknya memancarkan begitu banyak kebahagiaan. Semua tersenyum ke arahnya namun di hari yang seharusnya bahagia ini Rendra begitu sulit melengkungkan sebuah senyum meski samar sekalipun. Rendra dituntun petugas Wedding Organizer menuju sebuah meja kecil yang terdapat enam kursi memenuhi sisinya. Om Edward lebih dulu berada di sana, duduk di sebelah lelaki tua yang Rendra yakini sebagai penghulu. Om Rikcko dan om Kavin juga terlihat hadir di sana duduk di ujung meja, bertindak sebagai saksi pernikahan. Dan …. Seorang wanita mengenakan kebaya p
“Bang...senyum donk, jangan kaya kepaksa gitu!” tegur mama Rena yang baru saja masuk ke dalam membuat Rendra yang sedang berganti pakaian, menoleh. “Tau nih, Abang masa cemberut gitu di hari pernikahan.” Zeline yang mengikuti mama Rena dari belakang, menimpali pura- pura tidak tahu kalau pernikahan ini bukanlah pernikahan yang diharapkan sang kakak. “Bang, andai papa bisa...papa yang akan berada di posisi kamu tadi,” kelakar papa Andra dari belakang Zeline membuat mama Rena mendaratkan capitan panas di perut beliau. Papa Andra berakting mengaduh kemudian menarik tangan Rena sampai tubuh mungil wanita yang melahirkan Rendra dan Zeline itu menubruk dadanya yang bidang. Kedua tangan kekar itu kemudian melingkar di tubuh Rena dan kecupan demi kecupan Andra hadiahkan untuk sang istri tercinta. Rendra tersenyum samar melihat kemesraan kedua orang tuanya yang tidak lekang oleh waktu. Mungkinkah dia bisa mengalami hal seperti itu dengan gadis yang baru saja dinikahinya? Rendra me
Rendra masih enggan bicara dengan istrinya walau sebenarnya dalam kasus ini Aura tidak bersalah bahkan gadis itu pun salah satu korban dari keegoisan para orang tua. Hanya saja Rendra masih butuh waktu untuk menetralkan perasaannya dan menerima takdir yang telah di tetapkan untuknya. Setan dalam hatinya sempat memberi ide untuk mengakhiri pernikahan ini hanya dalam waktu beberapa tahun saja. “Bang....” suara yang hampir tidak terdengar itu memanggilnya dan Rendra tau berasal dari mana karena hanya dirinyalah dan Aura yang berada di kamar pengantin ini. “Abang mau mandi duluan atau Aura dulu?” sang istri bertanya namun Rendra yang semenjak masuk ke dalam kamar hotel memilih untuk menjatuhkan tubuhnya di sofa seraya menengadah dengan mata terpejam, begitu enggan menjawab. “Ya udah, Aura dulu ya Bang!” karena tidak ada jawaban, gadis itu memilih untuk menjawab sendiri pertanyaannya. Aura memutar tubuh memasuki kamar mandi, ia memilih membersihkan tubuh menggunakan shower
Pagi ini semua keluarga berkumpul di restoran hotel untuk santap pagi.“Bang, Grandpa sudah mengurus kepindahan kuliah Aura ke London jadi besok kamu dan Aura bisa kembali ke London...” Grandpa yang duduk di ujung meja membuka suara.Rendra mengangguk samar setelah menoleh menatap wajah sang Grandpa sebagai rasa hormat.“Abang ga bisa ambil cuti bulan madu, sebulan ajaaaa...Mama masih kangen sama Abang!” Mama Rena yang duduk disamping Rendra berkata demikian kemudian memeluk pundak sang anak dari samping.“Ga bisa Ma, kerjaan Abang udah terlalu lama di tinggal...” balas Rendra lembut dengan senyum dan tatapan hangat membuat Aura mendongak.Ia tidak pernah menyangka bila pria dingin dan ketus itu bisa bersikap hangat.Perbincangan mereka berlanjut dengan membicarakan sesuatu yang ringan, kedua orang tua Aura dan Rendra nampak larut dalam canda tawa pagi itu.Moment ini adalah moment dimana mereka semua berkumpul dengan personil lengkap, semua Kakek dan Neneknya ada disana juga para Om
Aura tidak mengerti kenapa Rendra seakan begitu membenci dirinya.Padahal lelaki itu bisa menolak bila memang tidak ingin menikah dengannya.Keterdiaman Rendra sungguh membuat Aura jengah, maka ia beranjak dari kursinya di kabin bagian belakang pesawat kemudian berjalan mendekati Rendra dan mendudukan tubuh tepat di depan Rendra yang sedang fokus memindai Macbook ditangan.“Bang...Aura mau bicara,” kata Aura pelan hampir tidak terdengar oleh Rendra.Rendra mendongak dengan ekspresi wajah datar dan tatapan dingin bukan tatapan tajam yang seperti kemarin lelaki itu layangkan namun mampu membuat Aura merinding karenanya.Rendra menghembuskan nafas perlahan kemudian menyimpan MacBook di meja tanda bahwa ia sedang memfokuskan perhatiannya pada Aura.Aura yang sedang di tatap seperti itu jadi terkesiap dan kehilangan kata-kata bahkan sempat lupa apa yang akan dibicarakannya dengan Rendra.Gadis yang masih perawan setelah dua hari menikah itu berdehem untuk menetralkan jantung yang mu
“Bang ....” “Hem ....” Walau lelaki itu memejamkan mata dengan tangan yang disimpannya di atas kening namun masih mau menjawab panggilan Aura membuatnya merasa bahagia.“Tidur di kasur aja, kasurnya luas kok...kita pake guling sebagai penghalang.”Aura menawarkan solusi tanpa maksud merayu.Rendra membuka mata menatap Aura yang kemudian tersenyum memamerkan deretan gigi putih dan bersihnya.Rendra menggelengkan kepala kemudian memejamkan kembali matanya.“Bang...Aura enggak enak hati kalau Abang tidur di sofa terus,” ungkapnya lalu menjatuhkan tubuh duduk di karpet bulu yang melapisi lantai marmer di kamar Rendra.Punggungnya bersandar di kaki sofa kemudian menengadahkan kepala sampai mengenai betis Rendra membuat lelaki itu terhenyak dan refleks mengangkat kakinya.“Baaaang....Tidur di kasur, yoooo …,” rengek Aura seperti sedang merengek kepada Kenzi sementara Rendra merasa sedang menghadapi Zeline.Rendra berdecak pelan namun tak ayal, menurunkan kakinya kemudian beranjak
Obat penahan rasa sakit yang diresepkan dokter ternyata membuat Aura mengantuk setelah makan malam tadi.Jam menunjukan pukul sebelas malam ketika Aura terbangun karena merasakan tenggorokannya kering.Dia hendak menurunkan kakinya namun suara bas seorang pria mendadak menghentikan niat tersebut.“Mau apa?” “Haus...” jawab Aura setelah menoleh pada asal suara yang ternyata sosok suaminya yang sedang duduk di sofa.Lelaki itu sedang menonton film Hollywood di saluran televisi berbayar.Rendra beranjak dari sofa melangkah keluar dan tidak perlu dijelaskan lagi kalau lelaki irit bicara itu tidak mengatakan sepatah kata pun walau hanya sekedar meminta Aura menunggu karena saat ini Rendra sedang menuju dapur mengambil air mineral untuk Aura.Rumah Granpa Salim yang begitu besar membutuhkan waktu bagi Rendra menjangkau dapur, beruntung sebelum sampai di dapur lelaki itu berpapasan dengan seorang pelayan dan meminta untuk membawa air mineral ke kamar.Setelah mendapat anggukan dari