Share

Menolak Untuk Siap

Setelah Rendra mengiyakan dengan berat hati keinginan seluruh anggota keluarganya, rangkaian acara pernikahan itu pun akhirnya bisa dilangsungkan.

Seluruh keluarga tentunya sangat berbahagia karena Rendra menikah dengan gadis yang sudah mereka kenal dengan sangat baik.

Mereka tidak pernah tau jika Rendra harus mengorbankan perasaan dan cintanya untuk membuat mereka bahagia.

Untuk pertama kalinya Rendra menitikan air mata setelah puluhan tahun tidak merasakan kesedihan karena selama ini hidupnya selalu dinaungi kebahagiaan yang melimpah ruah.

Keluarga yang harmonis, materi yang berlebihan dan kasih sayang semua orang.

Namun saat ini hati kecil Rendra merasa bila dirinya sedang dikorbankan dan dia harus mengorbankan cintanya kepada Alisha.

Rendra menatap cermin di hadapannya, beskap putih dengan kancing yang berada di samping dada dan juga jarik di bagian bawah sudah begitu rapih membalut tubuhnya.

Angkin atau stagen—kain panjang untuk melilit bagian perut—dan ikat pinggang juga diperlukan untuk menahan keris yang dipergunakan agar tidak lepas kini telah terpasang sempurna.

Selop berwarna senada senada dengan beskap dan blankon pun terpasang pada tempatnya.

Semua sudah siap hanya tinggal hatinya yang menolak untuk siap.

Ketukan di pintu membuat Rendra menoleh dan refleks meminta siapa pun di balik sana untuk masuk.

Tidak Rendra sangka, Om favoritenya yang merupakan papi dari gadis yang akan dinikahinya lah yang mengetuk pintu.

Setelah mengiyakan pernikahan ini, Rendra belum sempat bicara dengan om Edward karena beliau sibuk mengurus mama Reta yang harus dibawa ke rumah sakit karena syok berat setelah mendengar calon suami sang cucu kabur di detik-detik pernikahan akan berlangsung.

“Om...,” sapa Rendra sopan dengan sedikit senyum di bibirnya.

“Boleh Om bicara sebentar?”

Rendra mengangguk sebagai respon kemudian meminta sang om duduk di sofa yang berada di tengah kamar hotel tempat dilangsungkannya acara.

“Terimakasih Bang, udah mau menikahi putri Om...Menggantikan calon suaminya yang tidak bertanggung jawab ....” Tatapan om Edward tampak nanar, Rendra bisa mendengar suara bergetar lelaki yang masih tampan di usianya yang sudah tidak lagi muda itu.

“Om tidak akan berharap banyak dari Abang karena Om tau mungkin saat ini Abang belum bisa mencintai Aura tapi....” Edward menjeda kalimatnya menghirup oksigen untuk memenuhi paru-parunya yang terasa sesak.

“Tolong jangan sakiti Aura, bila Abang enggak bisa mencintainya tolong kembalikan Aura sama Om ...,” sambung Edward kemudian menatap lekat bola mata sang calon menantu membuat Rendra kehilangan kata-kata.

Rendra berdehem kemudian memutuskan tatapan dari om Edward dengan mengalihkannya memindai seluruh ruangan.

“Abang janji enggak akan sakitin Aura karena Aura udah seperti adik Abang sendiri,” balas Rendra seolah menjelaskan perasaannya saat ini.

Edward mengangguk disertai senyum, anak lelaki di hadapannya ini tidak pernah bisa berbohong dan selalu berpikiran logis.

Alih-alih berusaha menganggap Aura sebagai seorang calon istri, Rendra memilih tetap menganggap Aura seperti adiknya sendiri.

Padahal Edward berharap bila Rendra akan berusaha mencintai dan membahagiakan Aura sebagai seorang istri walau itu hanya janji yang belum tentu bisa Rendra tepati.

Pintu bercat putih itu kembali diketuk, kali ini seorang pria berjas yang merupakan anggota dari Wedding Organizer kepercayaan oma Reta menyembulkan kepala dari celah pintu setelah lelaki itu mendorong benda tersebut.

“Lima belas menit lagi acara dimulai,” katanya memberitahu.

“Oke...sebentar lagi saya keluar,” balas Rendra dan setelahnya lelaki itu pamit diikuti om Edward yang memberikan waktu kepada Rendra untuk merapihkan penampilannya.

Setelah om Edward keluar dari kamarnya, Rendra mencari ponsel yang dia simpan di atas nakas samping tempat tidur, jempolnya bergulir mencari nomor kontak sang sahabat kemudian menekannya.

“Ya Ndra!” Rendi menyaut santai dari sebrang sana.

Detik berikutnya mengalirlah cerita Rendra yang singkat dan padat mengenai apa yang tengah terjadi padanya.

Rendra belum sempat menghubungi sahabatnya apalagi Alisha mengenai masalah ini, dia masih berharap takdir berpihak padanya hingga akhirnya dia batal berkorban untuk menikahi Aura.

“Apa? Lo gila! Enggak mungkin gue nutupin pernikahan lo sementara lo orang terpandang di negri ini, apa lagi berita sangat cepat tersebar di media sosial...enggak mungkin Alisha enggak tau! Lo harusnya nolak, Ndra! Lo berhak!!” Rendi berseru dengan nafas tersengal karena emosi.

“Lo udah nyakitin Alisha, Ndra!! Harusnya lo bilang sama keluarga lo kalau lo secara enggak langsung udah ngelamar Alisha!! Sialan lo, Ndra!” umpat Rendi murka.

Sahabatnya itu tidak mengerti bila Rendra berada dalam posisi yang tidak bisa menolak.

“Ren...Dengerin gue dulu!” sergah Rendra namun sambungan telepon di ujung sana sudah diputus sepihak oleh Rendi.

Rendra memikirkan ucapan Rendi tadi yang menyebutkan bila dirinya berhak menolak tapi itu berarti akan mengecewakan kedua orang tuanya, kakek dan neneknyao terlebih om dan tante kesayangannya pun akan menanggung malu karena kejadian ini.

Andai Rendra tau Sigit berada di mana, dia pasti sudah mengejar pria kurang ajar itu dan menyeretnya ke sini untuk menikahi Aura.

Rendra kembali menatap cermin, bukan waktunya merutuki keadaan.

Dia harus melakukan apa yang sudah di sanggupinya dua malam lalu.

Menarik nafas dalam, Rendra keluar dari kamar hotel itu dengan perasaan bersalah yang mendalam kepada Alisha.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yeni Sipayung
lah Rendra kan tahu si rendi suka aura! knp gak kontak si rendi aja???
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status