Tempat terakhir GPS itu menyala adalah showroom mobil.
“Memang perempuan ini yang menjual pada kami, tapi kami juga tidak tahu kemana dia pergi setelah itu.”Tentu saja mereka tak akan peduli kemana orang yang telah menjual mobil padanya pergi setelah ini dan digunakan untuk apa uang yang mereka hasilkan.Sampai di sini Pandu menemui jalan buntu, Sekar juga sudah menonakifkan ponselnya dan menarik sejumlah besar uang tunai yang ada di rekeningnya.Pelarian ini sudah direncanakan ternyata. Padahal statusnya belum menjadi tersangka, tapi dengan begini akan membuatnya tidak kooperatif dan makin memberatkan hukumannya.Akan tetapi bukan hal itu yang menganggu Pandu dia khawatir dengan keselamatan Alisya dan Bisma, putranya, kemarin saja Sekar nekad mendatangi Alisya di rumahnya.Pandu tahu kalau Alisya bukan wanita lemah dan manja tapi tetap saja, Sekar orang yang nekad dan akan melakukan segala cara agar tujuannya tercapai.Sekar melempar ponselnya hingga membentur pembatas jalan dan pecah berantakan. Baru seminggu dia membeli ponsel itu dan sekarang harus membeli baru. Untung saja dia tadi tidak sengaja mendengar Benk menelpon, kalau tidak dia pasti sudah tertangkap. Sekar puas sekali tadi memukul kepalanya dan dia sangat berharap laki-laki itu mati karena pukulannya. Berani-beraninya dia mengkhianatinya. Padahal sekar sudah mengeluarkan banyak uang untuk pengkhianatan itu. Kemarahan benar-benar menguasai wanita itu, mukanya menjadi merah dan nafasnya terdengar keras seperti banteng. Seharusnya memang sejak awal Sekar tidak menemuinya, sekarang dia harus lari kemana lagi? mobilnya pasti sudah dikenali dan uang di didompetnya juga menipis, untuk mengambil uang lagi di atm pun dia tidak berani, mereka pasti akan bisa langsung melacaknya dengan mudah. Kepalanya terasa sangat pusing efek belum makan sejak tadi tapi untuk berhenti di salah satu restoran dia tidak berani, jadi pilihannya jatuh ke sebua
Sudah dua hari Sekar tinggal di rumah ini dan merasa nyaman seperti rumah sendiri sampai...Brak!Brak!“Buka! Atau kami dobrak!” Sekar buru-buru menutup tubuhnya dengan selimut, begitu juga dengan laki-laki di sampingnya. Matanya melotot tajam pada laki-laki di sebelahnya yang masih seperti orang linglung “Ada apa itu?” tanya Sekar dengan wajah pucat. Laki-laki yang menjadi patnernya itu menggeleng dan buru-buru memakai bajunya, begitu pun Sekar yang langsung menggunakan bajunya tapi belum juga selesai pintu kamar sudah dibuka dengan kasar, spontan Sekar langsung menyambar selimut lagi dan melilitkan ke tubuhnya yang setengah telanjang. “Seret mereka keluar!” “Arak ke balai desa!” Suara riuh kembali terdengar membuat wajah keduanya makin pucat, Sekar merapat ke tembok. Mereka makin beringas dan tak segan-segan menarik tangan Sekar dengan kasar. “Lepaskan! Kami tidak bersalah!” kata wanita itu dengan beran
Karena pekerjaannya, Alan bsduah banyak melihat kematian, bahkan kematian paling menyedihkan sekalipun. Akan tetapi kali ini dia begitu tak rela jika wanita itu mati begitu saja, itu terlalu mudah untuk orang yang begitu jahat pada orang lain seperti itu. Dia berhak merasakan penderitaan yang sama dengan yang dialami Alisya bahkan lebih. "Tolong selamatkan dia," kata Alan begitu dokter UGD menyambutnya yang baru saja keluar dari ambulance bersama Sekar yang bersimbah darah tapi masih hidup. Setidaknya itulah kata laki-laki yang mengaku dokter yang memeriksa tadi. Alan duduk menunggu dengan tenang, dia membuka ponselnya dan kembali menghubungi Pandu dan menceritakan apa yang terjadi. "Benar kata dokter nyonya Sekar kritis, tuan bisa langsung datang ke sini," kata Alan dengan datar, sebenarnya dokter belum mengatakan apapun terkait kondisi Sekar tapi sengaja dia mengatakan itu, dia ingin tahu bagaimana reaksi pandu. Dia adalah salah satu saksi hidup bagaimana Pandu begitu
Akhirnya wanita itu tertangkap juga. "Akan aku bunuh kalian! kalian yang membuatku cacat!" "Jangan masuk dia bisa melukaimu," cegah Pram. Suara teriakan marah dan barang-barang yang dilempar memang memenuhi ruangan itu. Baik Alisya tahu Sekar sangat bangga akan kecantikan fisiknya, tentu saja itu akan menjadi neraka untuknya jika itu hilang. Alisya bukannya Tidak kasihan dengan nasib buruk yang menimpa wanita itu, tapi saat dia ingat lagi putri kecilnya yang harus meregang nyawa bahkan sebelum bisa melihat indahnya dunia, dia merasa hukuman ini sangat pantas untuknya. "Baiklah mungkin aku akan datang lain kali," kata Alisya sambil menghela napas. Dia bukannya takut pada amukan Sekar, akan tetapi dia tidak ingin menambah masalah dengan bersikap kekanak-kanakan. "Memangnya kenapa kamu ingin menemui dia ingin nyukurin nasibnya?" tanya Pram sambil mengangkat alisnya. Alisya langsung berdecak kesal. "Aku tidak serendah itu, meski dia sudah jahat aku tidak mungkin menertawakan n
“Kamu datang.” Alisya yang sedang memeriksa ponselnya, memastikan Bisma tidak rewel langsung mendongak. Dia terpaku sejenak menatap mata hitam yang menatapnya dengan lembut dengan senyum yang tersungging di bibir, rasanya Alisya terlempar ke masa di mana saat dia pertama kali bertemu Pandu dulu di kantor dan membuatnya jatuh cinta pada laki-laki itu hingga tidak berpikir panjang saat memiliki kesempatan untuk memilikinya. “Iya, mas baru dari kantor polisi?” tanya Alisya dengan canggung. Mereka seperti dua orang asing yang baru saja saling mengenal, bukan sepasang mantan suami istri yang sudah dikarunia anak-anak yang lucu. Ini bukan kali pertama Alisya bertemu Pandu setelah kecelakaan itu, pun ini bukan kali pertama mereka bicara berdua setelah mereka berpisah tapi ini kali pertama mereka bertemu setelah semuanya selesai. Alisya memang menganggap demikian, polisi apalagi Pandu tidak mungkin tega memenjarakan orang yang belum bisa menerima kenyataan kehilangan satu bagian tubuh ya
Jika saat bersama Pram Alisya diam saja seperti patung, kemungkinan ada dua sakit atau sedang ada masalah. Keduanya tentu saja bukan hal yang baik. “Kamu kenapa?” tanya Pram entah untuk yang keberapa kalinya. Sesekali laki-laki itu melirik penumpang di sampingnya, tapi Alisya masih terdiam seperti patung yang tak mau bergerak sama sekali. “Al! Woi! Ada topeng monyet!” teriak Pram yang membuat Alisya kaget dan spontan menatap keluar jendela mobil. “Mana?” “Ckk masih saja suka nonton topeng monyet, padahal tampangmu sekarang sudah mirip monyet,” kata Pram sambil tertawa terbahak-bahak. Sadar telah masuk jebakan laki-laki itu Alisya menggeplak bahu Pram tak terima. “Nggak lucu,” katanya kesal. “Siapa bilang itu nggak lucu, itu lucu sekali,” kata Pram tak terlihat berusaha sama sekali mengendalikan tawanya. Melihat Pram tertawa seperti itu mau tak mau Alisya ikut tertawa juga. “Nah gitu tertawa ja
Dia pulang kembali ke kampung halamannya.Ke rumah yang menjadi saksi masa kecilnya, saat mereka adalah keluarga kecil yang bahagia sebelum badai keserakahan datang menerpa.Dia pulang ke tempat di mana semua orang yang dia cintai sudah menjadi gundukan tanah merah. “Aku tidak tahu kamu bisa menyiapkan semua sendiri?” tanya Pram begitu mereka turun dari mobil di depan sebuah rumah sederhana bergaya klasik yang terlihat bersih dan asri. Dengan halaman yang luas ditumbuhi berbagai macam tanaman untuk keperluan dapur.Rumah yang sangat Alisya sekali. Masa kecil yang keras membuatnya tahu sekali apa arti kerja keras, dan kepahitan membuatnya harus selalu bersyukur meski hidup dalam kesederhanaan hal itu terbawa sampai dia dewasa bahkan setelah saldo rekeningnya menggelembung dan bisa membeli rumah mewah dengan sekali gesek. “Mbak Sasti membantuku,” kata Alisya sambil tersenyum pada Pram. Dan dia mengakui selera Sasti memang jempolan. Laki-laki itu menyipitkan matanya. Dia menatap tak
Apa ada kalimatnya yang menyinggung bulek Par? Alisya sudah menunggu hampir setengah jam tapi wanita paruh baya itu tak balik juga. Ini hari pertamanya datang ke desa ini, masak dia harus kehilangan orang terdekatnya karena alasan yang dia sendiri sama sekali tak tahu. “Nenek kenapa ya, Nak? Katanya mau jagain Bisma di sini?” tanya Alisya pada si kecil yang sudah bisa merespon dengan bahasa bayi saat diajak bicara. “Atau kita susul nenek ke rumahnya saja, dan mama minta maaf? Tapi apa salah mama?” tanya Alisya bingung dia tertawa kecil melihat reaksi si kecil yang seperti mengerti apa yang dia bicarakan bayi mungil itu mengoceh sambil mengangkat tangannya, seolah bilang mau ikut menyusul. Alisya menggendong Bisma dengan gendongan bayi yang dibelikan oleh Pandu. “Yuk kita ke rumah nenek,” katanya pada bayi mungil itu. Alisya bersiap mengambil payung untuk melindungi anaknya dari sengatan panas sinar matahari saat melihat bul
Beberapa kali Pram menengok Arlojinya dengan gelisah. Ini sudah hampir jam sepuluh malam, dia lalu menengok ponselnya tidak ada pesan sama sekali. Kemana dia? Padahal Pram sudah ada di rumah tepatnya di ruang kerjanya sejak selesai makan malam, malam ini dia makan sendiri di meja makan besar itu. Laras belum kembali sejak minta izin meninggalkan kantor lebih cepat tadi siang. Dan Clara wanita yang katanya baru sembuh dari sakit itu menghilang entah kemana, bahkan dia juga tidak mengatakan apapun pada para pembantu. “Tuan, nyonya sudah pulang.” Pram menghela napas lega. “Baiklah terima kasih, Bi. Tolong siapkan makanan untuknya dan juga susu hangat dia pasti sangat lelah.” “Ehm... tuan. Tapi nyonya sama sekali tidak makan setelah jam tujuh malam, biasanya hanya makan buah saja itupun kalau benar-benar lapar.” “Apa maksudmu dia pemakan segala, bahkan kami pernah makan nasi goreng di pinggir jalan
Clara tak ingin seperti ini. Dia mencintai Pram. Belum pernah dia memiliki rasa cinta seperti pada laki-laki itu. Tapi dia juga realistis, dia tentu saja memilih ayah Pram yang lebih royal padanya dan memanjakannya dengan kasih sayang. Pram memang sesekali mengajaknya jalan tapi tak sekalipun memberikan barang-barang mahal, apalagi waktu itu sang papa butuh suntikan dana dan ayah Pram mau memberikannya asalkan mereka menikah. Clara tak punya pilihan lain, ayah Pram memang masih tampan meski sudah berumur. Clara tentu saja tak menolak, tapi lambat laun dia sadar kalau cintanya hanya untuk Pram seorang dan dia bertekad akan mengejarnya tak peduli kalau statusnya saat itu ibu tiri laki-laki yang dia cintai. “Kenapa kamu membuatnya mati lebih cepat! Seharusnya kamu memastikan dulu isi surat wasiatnya!” “Kenapa papa menyalahkan aku, surat wasiatnya semula aku menerima dua puluh lima persen kekayaannya tapi dia mengubahnya, dan pengacara itu sama sekali tidak bisa diandalkan, harusnya
Laras menatap rantang yang dia bawa. Dia sengaja masak daging dan juga ayam hari ini. Sejujurnya dia sama sekali tak tahu apa makanan kesukaannya. Lebih dari seperempat abad dia mengenalnya tapi mereka bahkan bisa dibilang orang asing dalam satu rumah. Ini akan canggung, tentu saja. Laras tidak pernah bersikap baik pada ayahnya seumur hidupnya pun demikian dengan sang ayah. Yang dia ingat dari sosok itu hanya bentakan dan pukulan, tak ada yang lain. Tapi hari ini dia mau menyempatkan diri untuk menjenguk serta membawakan makanan. Bukan karena dia memaafkannya atau ingin minta maaf karena laki-laki itu harus terlibat masalah seperti ini. Laras tidak bersalah dia selalu menekankan hal itu pada dirinya sendiri. Ini salah ayahnya sendiri kenapa begitu lancang meminta uang pada mertuanya, kenapa ayahnya begitu tak tahu malu melakukan itu semua. Padahal uang milyaran yang diberikan Pram saja sudah dia berikan semua. Laras tahu meski kecil dalam hati kecilnya dia masih menyayang
Pram menatap Alisya yang makan dengan tenang. “Tumben suamimu membiarkanmu lepas seperti ini.” Alisya tak menanggapi dia mengaduk jusnya dan menyerutnya dengan tenang, Clara sudah pergi sepuluh menit yang lalu tak tahan dengan sikap dingin Alisya dan juga sikap Laras yang menganggap wanita itu tak ada di sana. Hanya Pram yang masih sesekali berbicara dengannya, meski itu juga seolah terpaksa, wanita itu merajuk. Pram tahu itu tapi dia tidak wajib membujuknya, tentu saja jadi yang dia lakukan adalah meneruskan makan siang mereka dengan tenang. Baik Laras maupun Alisya seperti tak peduli dengan kepergian Clara, hanya saja saat Laras pergi ke kamar mandi Pram tidak tahan dalam keadaan seperti ini, hubungan keduanya sangat baik dan hangat tentu saja Pram tak ingin membuat masalah dengan Alisya. Karena bagaimanapun dia menyayangi wanita itu. Alisya melambaikan tangan pada pelayan yang lewat dan memesan dua mangkuk ice cream strawberry dan setelah pelayan menghidangkannya dia memberika
“Aku suka caramu membuat format laporan simple dan praktis, aku minta kamu melakukan hal yang sama untuk laporan yang masuk siang ini.” Ini pengalaman pertamanya bekerja dengan Pram, ternyata suaminya itu sangat teliti dan perfecsionis, untung saja Laras bukan tipe orang yang menye-menye bahkan tadi Pram menegurnya dengan keras saat membuat kesalahan tapi tak segan memuji jika pekerjaan Laras memuaskan. Pram di kantor dan di rumah sangat berbeda, Laras tak tahu dia lebih menyukai versi suaminya yang mana, tapi yang jelas Laras sangat tidak menyukai suaminya saat ada di dekat wanita ini. “Pram apa semua baik-baik saja? kamu sepertinya sangat sibuk apa perlu aku juga bekerja di sini?” Laras langsung mengangkat kepalanya dan menatap Clara yang tiba-tiba datang lalu memeluk Pram seolah mereka sepasang kekasih. Pram yang tak enak hati langsung melepaskan pelukan Clara tapi wanita itu sepertinya urat malunya sudah putus bahkan beberapa karyawan yang melintas sempat menoleh pada ruangan
Pram tahu kalau sang istri ingin sekali pergi dari tempat ini secepatnya, tapi dia tidak akan membiarkan hal itu. Pram tak perlu obat tidur untuk membuat sang istri tidur lelap. Kekenyangan adalah obat tidur paling mujarab untuk Laras, Pram bahkan yakin istrinya itu tidak akan bangun meski ada gempa saat sudah tidur. Hidup bersama dalam satu atap beberapa bulan ini membuat Pram tahu sekali kebiasaan istrinya itu. Setelah yakin Laras tertidur Pram masuk ke kamar bibi yang ditempati wanita itu, bukan masalah jika kamar itu terkunci, Pram tahu dimana letak kunci cadangannya. “Wah kamu benar-benar seperti beruang yang sedang hibernasi,” gumam Pram yang melihat Laras sudah pulas padahal baru saja mereka berdebat. Perlahan dia mengangkat tubuh sang istri dan memindahkannya ke kamar utama, benar dugaannya jangankan terbangun saat dipindahkan terganggu saja tidak. “Astaga benar-benar kamu ini,” kata Pram sambil menggeleng
Laras tak bisa tidur malam ini, bahkan setelah meminum pil pereda nyeri. Padahal badannya sakit semua serasa baru dipukuli orang satu kampung.Tapi...Perutnya lapar dan itu berbahaya. Karena Laras tidak suka kelaparan. Tapi kali ini dia akan bertahan di dalam kamar ini. Dia tidak pernah kembali kekamar utama dan memilih tidur di kamar bibi, agak sempit memang dan tentu saja fasilitasnya tidak seperti kamar utama, tapi tentu saja kamar ini lebih baik dari kontrakan Laras dan ibunya dulu paling tidak kasurnya sangat empuk dan atapnya tidak bocor dan yangpaling penting... tempat tidurnya kecil. Pram tidak akan mau tidur di sini. Bukan Laras terlalu percaya diri kalau sekarang Pram memang mau tidur dengannya. Laki-laki itu sendiri yang mengatakan, terutama setelah kejadian tadi. Sayangnya perutnya benar-benar tak bisa kompromi, dengan kesal Laras bangun dan mengendap masuk ke dapur, dia tidak tahu apa masih ada sisa bahan makanan atau tidak. “Sabar ya, Sayang. Kita cari dulu,” ka
"Apa kamu bermaksud ingin menggodaku." Laras berbalik untung saja dia tidak refleks menyiramkan air yang dia pegang pada Pram. "Apa maksudmu dengan menggoda, aku sedang minum?" Pram tersenyum miring dan menatap Laras dari atas ke bawah terang-terangan, Laras yang mengikuti arah pandangan Pram langsung sadar kalau sekarang dia hanya menggunakan baju tidur kurang bahan. "Sialan! Mau aku colok matamu," jawab Laras ketus. Laras meletakkan gelasnya dengan kasar dan buru-buru lari ke kamar sial kenapa dia bisa lupa. Tapi Pram tak membiarkan sang istri untuk pergi dari hadapannya. "Siapa yang menyuruhmu pergi, kamu harus tanggung jawab." "Apa maksudmu?" tanya Laras sambil menelan ludah. "Tentu saja karena membuat aku menginginkanmu," kata Pram sambil tersenyum jahil. Laki-laki itu menarik tangan sang istri kuat. Kalah tenaga, Laras teerhuyung ke depan dan jatuh tepat dipelukan suaminya. "Lepas! ini pelecehan!" "Hahaha... kamu lupa kita suami istri bahkan aku berhak m
"Percaya diri sekali aku. Pram tidak akan masuk ke kamar ini, kami tidak perlu pura-pura di sini." Laras memilih baju-baju yang tergantung di sana, bukan seleranya memang tapi dia tidak mungkin memakai baju yang tadi untuk tidur. Lagi pula ada selimut, dia bisa menggulung tubuhnya seperti kepompong dan tidur nyenyak sampai pagi. Laras mengangguk itu rencana yang sangat bagus menurutnya. Dia segeraa mengambil satu baju asal saja, dan membawanya ke kamar mandi saat keluar dari kamar mandi Laras langsung berlari ke atas ranjang dan menggulung dirinya dengan selimut tebal, tapi tak lama dia kembali membuka selimut itu karena panas dan pengap, akhirnya dia hanya menutupi tubuhnya dengan selimut meski masih kepanasan tapi dia harus bisa bertahan, menurunkan suhu ruangan menjadi pilihannya. Laras menunggu dengan tegang di dalam kamar, dia memang sudah mengunci pintu kamar ini khawatir Pram tiba-tiba masuk dan melihatnya yang sedang berpakaian tak layak. Sampai jauh malam Laras sama se